5. | KEJUTAN |

15K 1.8K 197
                                    

KEJUTAN

***

Aku menemukan kejutan yang menyesakkan dada. Bagaimana kejutan versi kamu?

***


"Aku kurang apa coba! Dasar laki-laki buaya! Nggak tau diri! Padahal tukang minta bayarin setiap jalan sama aku!" Aku terus berteriak di taman Kupu-kupu---taman kompleks---dengan air mata yang sudah tak terhitung jumlahnya. Bersyukur saja karena jumat sore ini, taman dalam keadaan benar-benar sepi. Kalaupun ramai, i don't even care. Aku sedang patah hati. "Dan-dan sekarang dia bilang kalau aku ngebosenin? Jahat! Dia bilang aku kekanakan? Jahaaaaat!"

"Lo nangis gitu jelek banget, Wil. Sumpah."

Mulutku berhenti mengoceh, saat menemukan sapu tangan marun di depan wajah. Kudongakkan kepala, lelaki ini lagi, sedang menunduk dengan eskpresi datar. Kenapa dia bisa di taman ini sore-sore begini? Aku menerima sapu tangannya dengan kasar. "Ini gue nggak minta, lho, ya." Aku membuang ingus dan mengelapnya dengan sapu tangan itu, lalu menyodorkannya kembali pada dia. "Lo yang maksa ngasih. Minggir, ah! Jangan liatin muka gue. Ntar lo nggak naksir lagi sama gue."

"Bukannya lo seneng?"

Aku segera membalik badan. Tetap dalam keadaan bersimpuh di tanah yang ditumbuhi oleh rumput hijau, bagaimana aku menyebutnya, ya? "Maksud lo?"

Lelaki yang kusebut kumal ini ikut duduk bersila di hadapanku. Memasukkan sapu tangannya ke dalam saku jeans hitam yang sekarang ia padukan dengan kaus putih dan jaket biru dongker. Ia melepas jaket itu, lalu menutupkannya di pahaku. "Kalau mau bikin show, penampilan juga diperhatiin, Wil. Lo nggak malu nanti kalau cowok lo liat?"

"Jangan ngomongin dia! Gue benci! Ih, nggak suka!" Aku kembali berteriak, kemudian menunduk, meletakkan kedua tangan di tanah, sebagai penopang. "Semua cowok sama aja! Bilangnya cinta nanti juga ujung-ujungnya aku dibuang! Apa karena rambutku keriting, ya, Raf?"

"Mungkin."

"Bilang enggak, sih?!"

"Enggak."

Aku diam. Memperhatikan wajah Rafa dalam jarak sedekat ini. Wahai, Tuhan, apa Rafa baru saja selesai melakukan perombakan pada wajahnya? Ke mana wajah dekilnya? Sekarang yang kulihat hanya ada sosok lelaki tampan, gentle, duduk di hadapanku dengan tatapan mata yang hangat. Namun, aku bisa melihat ada luka di sana.

"Kalau diputusin sama cowok, putusin balik, Ge. Katanya udah nggak akan manja lagi. Udah jadi Gea, sarjana ilmu komunikasi." Dia kembali mengeluarkan sapu tangannya saat aku selesai mengelap cairan dari hidung dengan punggung tangan. "Cowok, sebenernya lebih milih diputusin, biar dia tau kalau ceweknya baik-baik aja setelah bubar."

"Kalau baik-baik aja nggak akan putus!" Aku membentaknya. Dan, mata Rafa membeliak, ia sampai menarik sedikit wajahnya menjauh. Aku kembali diam saat ia mengelap hidungku dengan sapu tangan itu. Kok, Rafa nggak dekil lagi, sih? Ini mataku kenapa? "Raaaaaaf, semua cowok gitu, ya? Penginnya dikasih semua yang pertama, pas udah dapet kita dibuang. Terus---"

"Lo diapain?!" Aku tak menjawab, masih terisak. Rasanya sakit sekali di dalam dada. Patah hati, kalau aku tahu rasanya begini, aku tidak akan pernah mau menerima lelaki kupret satu itu. "Gea, lo diapain?"

"Gue diputusin, Bawel! Gue udah kasih dia apapun. Uang, perhatian, kasih sayang, cinta, tapi dia malah bilang gue belum layak pacaran. Dia bilang gue masih bocaaaah." Aku langsung berhenti menangis, mengingat sesuatu yang lebih penting. "Lo kok bisa di sini?"

DALAM DETAK (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang