Semburat Merah

17K 934 147
                                    

"Lalu bagaimana kamu bisa menjelaskan semua ini? Kamu bersama Hendra, sahabatku," kata Wilman.

"Semua gak seperti yang kamu kira Wil," kata Hendra.

Beberapa pasang mata melihat kami, seolah kami adalah sebuah tontonan. Entah sampai kapan mereka akan teris berdebat mengenai hal ini.

Aku menarik lengan Hendra dan menjauh dari Wilman, aku berharap bahwa semua ini akan berakhir dengan kepergianku dan Hendra.

Tapi ternyata aku salah, Wilman mengejar kami dan dia menarik tanganku hingga genggaman tanganku terlepas dan kini aku berada di dalam pelukannya.

Mungkin beberapa waktu lalu aku akan balas memeluknya, tapi tidak saat ini. Aku merasa jijik dengan apa yang Wilman lakukan padaku. Aku jijik karena tangan itu telah memeluk perempuan lain. Aku benci karena dada yang tengah memelukku pernah di peluk perempuan lain.

"Lepas!" kataku sambil mendorong Wilman.

"Di... dengarkan aku," kata Wilman.

"Aku tak ingin mendengar apapun lagi!" kataku sambil berlalu.

Dengan ekor mataku aku melihat Wilman berusaha mengejarku tapi Hendra menghalanginya. "Bukan waktu yang baik kamu berbicara dengannya, dan renungkanlah semua perbuatanmu," kata Hendra.

Hendra mengejarku yang telah berjalan cukup jauh. Hingga langkah kakinya yang lebar berhasil menyamai langkahku.

"Jangan terlalu di pikirkan Di," kata Hendra.

"Entahlah Hen, rasanya selama beberapa bulan ini aku benar-benar tertekan dengan semua keadaan,"

"Di... aku ingin bicara sesuatu denganmu, tapi sepertinya tak sekarang, kondisimu sedang tak stabil,"

"Apa? Bicaralah,"

"Gak Di, lain kali aku akan mengatakannya, tapi gak malam ini,"

"Baiklah aku tak memaksa,"

"Kamu menginap di mana?"

"Hotel Tulip,"

"Apa Hotel Tulip?"

"Ya, kenapa?"

Hendra tak menjawab pertanyaanku, dia hanya melihat jam tangannya. Aku pun ikut melihatnya, ternyata sudah jam 22.30, sudah cukup malam.

Beberapa orang mulai meninggalkan taman kota saat menyadari kalau malam telah semakin larut. Bukan hanya para pengunjung, tapi juga para pedagang.

Ada apa dengam mereka? Mereka seolah takut akan sesuatu, tapi apa? Dan apakah di sini ada jam malam hingga semua langsung pergi?

Aku menatap Hendra dalam penuh pertanyaan dengan sikap semua orang di sini. Tapi aku tak dapat menemukan jawaban apapun.

Aku masih menunggu dia berbicara saat semburat merah memenuhi langit malam yang gelap. Ada apa? Kenapa ada semburat merah di langit?

Tanpa banyak bicara Hendra langsung menarikku masuk ke dalam mobilnya. Dia terlihat seperti tengah menghindari sesuatu, tapi entah apa itu.

"Ada apa?" tanyaku setelah berada di dalam mobilnya.

"Ini yang tadi aku ingin bicarakan, tapi aku tahu kondisi kamu lagi gak stabil," jawab Hendra.

"Evi...," kataku pelan tapi aku yakin Hendra mendengar apa yang aku katakan.

"Dari mana kamu tahu?" tanyanya.

"Panjang ceritanya. Aku balik ke hotel Hen," kataku sambil mencoba turun dari mobil.

"Jangan Di, hotel pun sudah menutup pintunya jika sudah jam 22.30 atau saat semburat merah itu muncul,"

"Lalu aku harus tinggal di mana Hen?"

"Menginap saja di kosku,"

"Apa?"

"Aku gak sebejat itu Di, aku gak akan ngapa-ngapain kamu. Kosku cukup luas, aku bisa tidur di ruang tamu kosku,"

Apa, tempat kos ada ruang tamunya? Dia kos atau kontrak rumah? Entahlah... yang penting malam ini aku aman dari apa pun.

"Wilman, Hen," kataku saat tiba-tiba ingat bahwa Wilman masih berada di taman.

"Dia pasti sudah kembali ke dalam mobilnya,"

Aku menurut saja dengan apa yang dikatakan oleh Hendra karena seingatku dia memang datang ke sini membawa mobil walau aku tak dapat memungkiri mengkhawatirkan kondisinya.

Hendra segera menjalankan mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Entah apa yang membuat dia menjalankan kecepatan dengan tinggi, karena jalanan pun cukup lengang walau menjalankan kecepatan sedang pasti akan cepat sampai.

Semburat merah itu semakin lama semakin meluas dan warnanya semakin merah, hampir menyerupai merah darah.

Setelah sepuluh menit perjalanan akhirnya kami sampai di kosan Hendra, sebuah kosan yang cukup luas. Mobil-mobil terparkir rapi di halaman yang menunjukkan bahwa kosan ini merupakan kosan yang cukup 'wah' di sini.

"Cepatlah masuk sebelum terlambat!" perintah Hendra.

Aku tak mengerti apa maksud 'terlambat' yang Hendra katakan. Tapi aku tetap saja mengikuti langkahnya masuk ke dalam kosnya.

Kosan ini merupakan sebuah rumah yang terdiri dari cukup banyak kamar. Bentuk rumahnya cukup mewah dan dapat membuat nyaman siapa pun yang menghuninya.

Kosan ini merupaka kosan khusus lelaki, tapi sepertinya kosan ini cukup bebas terbukti saat aku masuk berpapasan dengan seorang perempuan cantik saat melewati ruang tamu tadi.

"Wah pak polisi baru balik ni, tumben loe bawa cewek," kata seorang penghuni kos.

"Ternyata loe bukan homo ya," kata yang lainnya.

Aku sedikit risih dengan apa yang teman-teman Hendra katakan, tapi Hendra terlihat biasa saja. Dia menggenggam tanganku erat seolah ingin meyakinkanku bahwa semua baik-baik saja.

Hendra mengajakku berjalan ke sebuah lorong yang menghubungkan dengan paviliun di belakang. Tapi lorong ini tidak terbuka, lorong ini di lindungi oleh kaca tebal di kanan dan kirinya.

Tok... tok... tok... Hendra mengetuk pintu sebuah kamar. Tak lama kemudian seorang perempuan paruh baya keluar kamar tersebut.

"Bu, ini Diona teman saya. Malam ini dia menginap di sini karena dia tak dapat kembali ke hotel. Di, ini Bu Lasmi, dia dan suaminya yang menjaga kos ini," kata Hendra, aku pun tersenyum kepada Bu Lasmi.

"Semburat merahnya sudah muncul ya?" tanya Bu Lasmi.

"Iya Bu," jawab Hendra.

Aku menatap langit yang tampak jelas dari balik kaca yang melindungi paviliun ini dan lorong yang tadi aku lewati. Semburat merah itu telah sepenuhnya berubah warna menjadi semerah darah. Aku belum terlalu memahami apa yang terjadi, hanya yang aku tahu bahwa semua ini berhubungan dengan Evi.

"Evi..." gumamku lirih saat aku melihat sebuah tengkorak yang aku yakini bahwa itu adalah Evi melintas di angkasa sana.

"Baiklah bu, kami ke kamar dulu," kata Hendra sambil menarik tanganku menuju ke lorong lain yang menghubungkan dengan paviliun lainnya.

Hendra cukup cepat berjalan hingga aku harus menyeimbangi langkahnya demgan sedikit berlari. Saat di depan pintu paviliun Hendra langsung memasukkan kunci dan membukanya.

"Masuklah Di, bahaya kalau kamu tetap terlihat. Maaf kalau kamarku berantakan, maklum saja cowok," kata Henra sambil masuk ke dalam kamarnya dan aku mengikutinya.

Walau kamar laki-laki, tapi kamar Hendra cukup rapi. Entah dia yang membereskannya atau Bu Lasmi yang membereskannya.

"Hen, itu Evi kan teman KKNku yang meninggal?" tanyaku begitu pintu kamar tertutup.

"Ya Di. Mungkin untuk orang lain aman asal dalam tempat terlindung, tapi tidak untukmu,"

"Kenapa? Bukankah tadi aku juga dalam tempat terlindung walau di sekitarku kaca?"

"Dia bisa melihatmu Di, kamu bisa di serangnya,"

Apa di serang? Aku tak mengerti kenpa hanya aku yang di serang jika dalam tempat yang transparan, kenapa yang lain tidak?

MISTERI POSKO KKN 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang