Tetangga Baru

50 3 0
                                    

Milly baru saja tiba dirumah saat bunda memberikan kabar itu. Akhir-akhir ini dia sibuk mengurus pendaftaran untuk masuk ke perguruan tinggi. Syarat masuk yang seabrek itu membuat Milly harus bolak-balik dari satu tempat ke tempat lain.
"Siapa bun?" Milly berkata sambil meneguk segelas air putih.
"Milll, bunda kan udah bilang, kalau minum itu nggak boleh berdiri," protes Bunda saat melihat kelakuan Milly.
Milly tidak mengindahkan kata-kata bundanya dan menghabiskan air putihnya. Setelah selesai minum, ia mendekati bundanya dan duduk disebelahnya.

"Siapa bun? Dylan?"
"Milan, Mil, tetangga kita waktu kamu SD,"
Milan? Milly tertegun.
"Oh iya, kamu juga sering main bareng nggak sih dulu? Sampai-sampai Ayah sama Bapaknya Milan hampir lapor polisi, gara-gara kamu sama dia main nggak balik-balik,"
Milly tertawa mendengar ucapan bunda.
"Iya Milly ingat bun, waktu itu Milan ngajakin main sama temen-temen dia, anak Smp semua, sementara Milly cuman anak SD. Waktu itu kita mainnya di dalam hutan gelap, makanya nggak sadar kalau udah malam," Milly berkata dengan tatapan menerawang sambil mengingat kejadian itu.
"Ya udah, kalau kamu udah nggak sibuk lagi, anterin kue pancong yang ada di atas meja itu ya ke mereka, bunda lagi banyak kerjaan, besok udah nerima rapor, tapi bunda ngoreksi ujian aja belum kelar, buruan ya Mil, oh iya sekalian ajakin makan malam bareng ya mil,"
Bunda memberi perintah sambil berlalu masuk ke kamarnya. Duh, sebenarnya Milly males banget. akhirnya dengan berat hati dan juga untuk menghindari omelan bunda, Ia pun segera mengambil kue itu dan mulai berjalan menuju rumah depan. Sebuah mobil pick up terparkir di depan rumah berwarna coklat tua itu. Rumah ini masih seperti dulu, seperti saat ia masih kecil. Rumah yang menjadi tempatnya bermain waktu SD. Rumah ini sangat asri dulunya. Sekarang karena sudah ditinggal bertahun-tahun, rumah ini jadi seperti rumah hantu. Cat berwarna coklat tua yang sudah agak memudar. Belum lagi tumbuhan menjalar yang memenuhi teras rumah ini. Terdengar suara orang memindahkan barang dari dalam rumah. Milly menarik nafas panjang, sebelum memanggil.

"Permisi!"
"Iya," sahut seseorang dari dalam. Tak lama muncul seorang pria paruh baya. Rambutnya berwarna keabu-abuan karena dipenuhi uban. Dibalik kacamatanya, ia seperti berusaha mengenali. Matanya menyipit.
"Halo om, masih ingat nggak om? Saya Milly, kebetulan masih tinggal di depan rumah om," ujar Milly sambil menjulurkan tangan ingin bersalaman. Pria tua itu, namanya Ferdy, masih tertegun beberapa saat sebelum akhirnya ekspresinya berubah menjadi sumringah.
"Oh iya, Milly, anaknya bu Rahma kan. Ya ampun, udah gede banget ya sekarang, om sampai pangling," katanya sambil terkekeh. Milly pun menyodorkan piring kuenya ke Ferdy.
"Iya om, kan udah mau kuliah, oh iya ini om, ada kue dari bunda, bunda nggak bisa ke sini karena masih banyak kerjaan, nanti malam om bisa kan makan malam di rumah,"
"Iya, iya nanti om kesana sama Milan". Milly tersenyum ramah. Dari sudut matanya ia melirik ke dalam rumah. Kotak-kotak kardus yang masih tertutup rapat tergeletak di sekitar ruang tamu.
"Om, aku bantuin beres-beres ya,"
"Duh, nggak perlu Milly, nanti kamu capek lagi," Ferdy menolak dengan halus permintaan Milly.
"Nggak papa om,"
Milly pun memaksa masuk ke rumah itu. Ferdy hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat sifat keras kepala gadis itu. Baru beberapa saat masuk, semua kardus sudah terbuka.
"Em..Milly, kardus-kardus itu barangnya Milan, sebenarnya om udah selesai beres-beres, tinggal barangnya Milan aja yang belum.." Ferdy ingin melanjutkan bahwa sebenarnya Milan tidak suka kalau barangnya disentuh orang lain, makanya dia tidak menyentuh barang-barang Milan. Tapi ia takut menyinggung perasaan Milly yang sudah berniat membantu.
"Kamarnya Milan masih yang dulu ya om?" Ujar Milly sambil memeluk sebuah kotak besar. Ferdy mengangguk pelan. Lalu tak berapa lama, semua kardus-kardus itu telah berpindah ke sebuah ruangan 6x6. Ditengah ruangan itu ada sebuah kasur springbed ukuran king, dan sebuah lemari kayu. Semilir angin masuk dari jendela dan menyapu wajah Milly.
"Masih aja kayak dulu.." gumam Milly lirih.
"Oh iya om, Milannya kemana ya om?" Milly berkata setengah berteriak agar Ferdy yang berada di ruang tengah mendengar.
"Milan lagi ngurusin kuliah, dia baru masuk tahun ini, jadi dia agak sibuk,"
Milly tertegun, bukannya Milan satu tahun diatasnya?
"Bukannya Milan satu tahun diatas aku ya om?"
"Iya waktu SMA dia nggak naik kelas,"
Lagi lagi Milly tertegun. Seingatnya, Milan tidak bodoh, malahan bisa dibilang Milan tahu segala hal. Namun, semua orang bisa berubah, kata Milly dalam hati. Ia memilih untuk tidak memusingkan hal itu dan melanjutkan beres-beresnya. Ia mengeluarkan satu persatu barang yang ada di kotak kardus itu. Milly meletakkan baju-baju Milan di lemari, mendekorasi kamar Milan, memasang alas kasur, sarung bantal. Hingga sampai dikotak ketiga, Milly menemukan barang-barang yang isinya foto-foto dalam frame. Milly terperangah, foto-foto itu adalah foto seorang pemuda yang pastinya itu Milan dengan cewek. Tapi setiap foto, tidak ada satupun cewek yang sama. Sekitar 15 bingkai foto yang ia temukan, dan semuanya tidak ada yang berwajah sama.
Gila! Desis Milly. Lagi-lagi Milly mengingatkan dirinya kalau semua orang bisa berubah, tapi kalau Milan yang dulunya nggak playboy jadi playboy, sudah jelas, kalau perubahannya ke arah yang buruk. Milly bergidik, bisa-bisa dia dijadikan mangsa selanjutnya. Milly menggeleng keras.

Siapa juga yang bisa jatuh cinta sama sijelek kunyuk Milan itu, Marko jauuuuh lebih ganteng dan lebih cool, ujar Milly sambil tersenyum membayangkan Marko sedang memberinya mawar.

Brak! Tiba-tiba terdengar suara pintu dibanting dari luar.
"Bapak apa-apaan sih, kan udah aku bilang kalau aku bisa beresin barang-barang aku sendiri!" Sebuah suara bass terdengar dari luar. Milly bergegas keluar dengan tangan masih memegang kotak berisi foto.
Sesosok cowok jangkung sedang berbicara dengan Ferdy. Baju kaos belel berwarna hitam sangat kontras dengan kulitnya yang putih. Rambutnya agak gondrong. Ia menyandang tas ranselnya dengan satu tangan. Cowok itu menyadari kehadiran Milly, ia kemudian melihat Milly. Pandangan mereka bertemu beberapa saat sampai akhirnya Milly merasa canggung. Ia buru-buru menurunkan box yang dipegangnya dengan wajah tidak enak.

"Sorry, sorry, aku nggak bermaksud lan.."
"Lo Milly? Milly Rahmanisa, temen gue waktu SD, yang hobby main robot dan sering banget ngancurin robot-robotan gue, dan akhirnya gue buatin lo robot-robotan dari kayu yang nggak pernah bisa rusak, iya kan? Bener nggak gue?" Cowok itu berkata dengan wajah sumringah. Cowok itu, yang sudah pasti dia adalah Milan, berjalan mendekati Milly dan memeluknya erat sampai Milly megap-megap kehabisan napas. Sadar kalau Milly terbekap pelukannya, Milan buru-buru melepaskannya.

"Ya ampun, gue pangling banget ngeliat lo, nggak nyangka lo masih tinggal disini aja, gue kirain lo udah pindah, gue kira kita nggak bakal ketemu lagi,"

Milly yang baru saja menyadari kalau Milan ini adalah playboy, hanya bisa tersenyum tipis.
"Gue juga pangling, lo makin jelek aja," ujar Milly.
Milan terbahak.
"Sialan lo Mil," kata Milan. Matanya tertuju pada kotak yang berada dibawah kakinya.

"Lo udah ngeliat kotak itu?" Kata Milan dengan nada panik.

"Iya, gue udah liat koleksi-koleksi lo!" Milly berkata sambil berkacak pinggang. Ia menjitak kepala Milan.

"Lo tu ya, udah gede bukannya jadi orang baik, malah jadi playboy, nggak kasian sama tu cewek-cewek polos".

"Gue nggak playboy kok Mil, mereka aja yang bilang gue jahat, bilang gue php, kan mau nggak mau gue tembak, biar nggak dibilang jahat, gitu Mil"

"Yaudah deh, terserah lo, gue mau pulang, bye!" Milly melambaikan tangannya pada Milan.
"Tapi lo nggak takut sama kecoak lagi kan?" Milan tersenyum jahil dan melemparkan sesuatu ke arah Milly. Seekor hewan berwarna kecoklatan bertengger dibahu Milly. Kontan Milly berteriak histeris, dia paling benci dengan kecoak. Ia mengibaskan tangannya untuk menjauhkan kecoak itu dari bahunya. Sementara Milan tertawa terbahak-bahak melihat Milly yang ketakutan. Setelah kecoak itu terjatuh ke lantai, Milly bergegas menghampiri Milan.
"Awas lo Milaaan!!!" Teriaknya, namun Milan sudah menghilang. Cowok itu berlari ke belakang rumahnya. Milly buru-buru mengejarnya. Ia sampai ke halaman belakang rumah itu yang luasnya tak bisa terhitung. Dari halaman belakang rumah Milan itu, jika kita berjalan terus akan menemukan sebuah hutan. Di hutan itulah dulu dia dan Milan serta teman-teman Milan bermain hingga orang tua mereka kehilangan. Milly tersenyum kecil saat mengingatnya. Halaman itu sekarang ditumbuhi rumput yang tinggi. Milan yang dari tadi menghilang akhirnya muncul dari balik semak.

"Rumputnya tinggi-tinggi, tajem-tajem pula," Milan meringis kecil saat ada rumput menggores kulitnya.

"Masih Ingat nggak lo, waktu kita ngilang di hutan".
Milan tersenyum, matanya menerawang jauh.
"Masihlah, waktu itu kita bikin panik orang tua, waktu itu nyokap gue perhatian banget. Sekarang dia udah nggak ada,"
Tes! Setetes air mata jatuh dari mata Milan. Milly memandangnya dengan kaget.
Jadi, Tante Natti, udah meninggal, pantesan dari tadi nggak ada. Milly mengeluh, kenapa dia tidak menyadari itu dengan cepat.

"Duh, kok gue jadi melow gini ya," Milan berkata sambil menghapus airmatanya. Milly sebenarnya ingin bertanya lebih lanjut, tapi dia tidak ingin Milan jadi sedih lagi. Mungkin lain kali.

"Kita bersihin aja yuk halaman rumah lo, gue pengen main ke hutan, mana tau gubuk yang kita buat dulu masih ada," kata Milly dengan ceria. Milan mengangguk. Dan akhirnya hari itu mereka habiskan dengan membersihkan halaman belakang rumah Milan.

Hi Milly!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang