Gerbong kereta bergerk perlahan, bunyi peluit nyaring hampir membuat telingaku berdarah kalau saja kereta ini tak lekas beranjak pergi. Setidaknya menjauhi Surabaya, daerah yang mungkin sudah ku kubur dalam-dalam namun pikiran tentangnya masih sering berlalu lalang di kepala. Ku sahut gadget dari selipan tas yang menggantung pada pundakku seraya memasang headset pada ke dua telingaku, "lagu rantau (sambat omah)" Silampukau menemani kepergianku menjauh dari titik diam, titik yang membuatku diam tak bergedik dan tak produktiv. Langkah awal ku menginjak alas kereta ku beri nama "awal langkah hidup untuk mencoba hidup Famik" kira kira begitulah kalimat yang terlintas pada waktu itu. Terlihat ibu 2 anak mendekatiku dan mengambil tempat duduk di sebelah, ku taksir usianya tak lebih dari 40 terlihat dari kedua anaknya yang masih kecil dan pipi menggemaskan salah satu anak itu tak bisa membohongi. "dino, hayo ngga boleh lari lari di kereta nanti kamu disuruh turun mau?".Ibu tadi menuturi anaknya sambal membenarkan barang barang bawaannya. Sedangkan anak satu lagi yang lebih dewasa hanya duduk terdiam di depanku mengenakan hoodie menutupi rambutnya sambal menyruput susu kotak yang ia pegang. Sementara aku masih terdiam bersandar pada kaca kereta di samping kiriku berharap cepat sampai pada kota pemberhentianku. Bali.
Riuh para penumpang hendak turun kereta membangunkan ku, anak yang tadi di depanku kini ia masih terlelap. Mataku masih mencari-cari apa yang aku lihat meskipun aku tak berniat mencari apa-apa, tapi mau bagaimana lagi mataku sudah melek dan balik pada kaca kereta takkan membuatku terlelap lagi. Aku menatap ibu di sebelahku Ia pun tersenyum padaku dan aku membalas senyum padanya.
"Turun mana buk?". Tanya ku pada ibu di sebelahku.
"Banyuwangi mas, Masnya mau ke mana?". Balas ibu di sebelahku.
"Bali buk". Singkat balasku
"Kerja?.
"Belum tahu bu, hehe. Mungkin bisa kerja bisa juga ngelanjutin sekolah".
"Lho masnya ini gaada tujuan gitu, eh, eh, mas, ada saudara apa gmna di Bali?"
"Ngga ada juga buk"
"whelah dalah piye toh mas, sekarang itu banyak orang aneh-aneh lho mas, kemarin ibu liat di tv banyak penyulikan anak, jual beli organ dalam manusia. Lha mas ini sendirian ke Bali ngga ada tujuan, kalau nanti masnya jadi korban gimana?. Kalau ada masalah di rumah itu luwih becik di selesaikan mas, jangan asal pergi-pergi ngga baik. Kasihan juga orang tuanya masnya pasti mikir keadaan masnya sekarang bagaimana?, Sudah makan apa belum? Sehat atau gimana?. Saya sebagai perempuan juga sebagai ibu pasti bakal khawatir kalau anaknya ngga di rumah mas. Kalau saya diposisinya ibunya mas pasti saya sudah cari-cari masnya ke sana-sini.".Panjang lebar ibu disebelahku menuturi tanpa aku menyebutkan perihal aku pergi dari kota kelahiranku.
"Bukan masalah rumah kok buk, lagia orang tua saya sudah ngga ada dua-duanya".Singkat jawabku.
"Lha trus di asalnya mas sama siapa? Oh ya asale mas sekan endi toh? ".Ibu tadi menimpali jawabanku.
"Saya sama kakek sama nenek sama satu kakak, punya adik satu tapi dia ada di dalam pondok jadi sekarang tinggal kakak, sama kakek-nenek di rumah. Sebelumnya saya juga sudah pamit sama mereka tapi ngga tahu di izini atau tidak. Biasanya memang begitu kalau saya keluar pasti keluar dulu, kalau sudah sampai tempat atau di perjalanan saya baru izin. Orang-orang rumah pasti juga sudah paham sama saya, jadi mungkin mereka ngga terlalu kaget karna sudah kebiasaan".
"Oh gitu toh, sekarang udah dikabari apa belum itu kakek-neneknya". Balas ibu tadi.
Sejenak aku terdiam memikirkan kakek-nenek di rumah barangkali mereka sedang tidur namun tak memejamkan matanya menunggu pintu kamarku membuka lalu menutup lagi. Itu tandanya aku sudah pulang dan masuk kamar, itu jug acara mengelabuhi kakek-nenekku saat aku enggan tidur rumah dan tidur di rumah teman. Aku memang jarang ada di rumah namun aku akan ada di rumah saat kesibukanku hilang dan waktu bantu-bantu wajib yang sudah disepakati. Pukul 13:00-20:00 Aku bertugas membantu kakek-nenekku membuka warung nasi di pinggir jalan. Tepatnya di jalan kalirungkut, yang sekarang sudah dibangun sebuah swalayan besar dan lebih lengkap dari pasar dekat kecamatan. Pikiranku beralih lagi pada nenekku, aku tahu betul perasaannya karna sejak kecil memang aku di asuh sama kakek-nenekku. Mungkin Ia sekarang tidur dengan raut wajah harap dan khawatir akan kepergianku atau mungki Ia sedang duduk di atas sajadahnya mengingat sekrang ini pukul 03:04 biasanya nenek akan berdoa pada Tuhan dan pernah suatu ketika aku pulang dari main sama teman-teman aku ingin membangunkan nenekku untuk sholat malam dan ternyata Ia sudah di atas sajadhnya sambal tangan mengadah tiga-per-empat dari alas sajadah dengan pipi yang basah. Karna ayah dan ibu, setauku sejak aku beranjak ke bangku SD jarang berdua dan tidur sekamar denganku. Pada waktu itu aku tak tahu apa itu masalah rumah tangga, aku hanya tau pedagang es cincau sebrang jalan itu Ia bernama Pak Tris. Ia akan ada di sana hingga anak-anak SD selesai istirahat, lalu ia akan pergi ke SD lain atau keliling" kampung, itu yang aku tau dari temanku rendi yang tak lainadalah anaknya Pak Tris. Lamunanku buyar saat anak di depanku yang dari tadi tidur sekarang bangun. Dan melihatiku. Aku langsung menyaut Gadget ku di saku jaket dan ternyata baru aku sadari mp3 dari tadi belum aku stop, gadgetku pun berlayang gelap. Ku ambil charger dalam tas, sekitar tiga menit aku mengubrak-abrik carier ku dan kutemukan charger lalu kutanpaskan pada stop kontak yang ada di dinding kereta tepat di bawah alas untuk gelas.
"Sudah dikabari orang rumah?". Tiba-tiba ibu tadi bertanya lagi. Dan aku baru menyadari pertanyaan yang sama tadi belu aku jawab.
"eh heem, ini baru mau ngabari tapi hape saya baterainya habis, mungkin besok pagi saya kasih kabar orang rumah sekalian baterai saya sudah full". Aku kembali melihat luar kaca yang gelap dan hujan turun dari tadi tanpa aku sadari. Aku pun bersandar dan terlelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
New World New Word
PertualanganIa semakin berjalan menjauh, menjauh dari titik asalnya yang membuat ia kecil. ia semakin melangkah, melangkah lebih cepat dari biasanya Ia mungkin akan berhenti, berhenti disaat menemukan pujaan hatinya, berhenti saat ia harus percaya pada kata "p...