The Death Note

45 4 0
                                    

Ketika api yang kausulut mulai membakar dirimu sendiri, semuanya mulai hangus perlahan. Tak akan ada yang tersisa pada akhirnya, kau hanya dapat sisa abu kelabu yang terkena limbubu. Rasanya lebih baik terhunus pedang dalam medan perang, karena dengan begitu kau akan mati dengan gelar pahlawan yang tersemat.

Namun, sekarang aku berada pada dua pilihan. Mati di tangan orang keji atau aku yang akan membuat diriku mati sebelum membuat orang lain mati.

.

.

.

Tak pernah kubayangkan akan jadi seperti ini. Tidak, aku bahkan tak punya keberanian untuk sekadar membayangkannya. Jikalau bisa, aku ingin menggunakan mesin waktu Brian. Membuat semua hal ini tak terjadi dan selesai, aku kembali hidup normal. Lebih baik terkena Slushie daripada menjadi mutan. Sungguh, aku sudah mengatakannya berulang kali, bukan?

Dan sekarang adalah titik puncak rasa sesalku.

"Kris... Kenapa kau...."

Aku dapat melihatnya. Air mata itu menukik mengikuti bentuk tulang pipi gadis dengan eyeliner tebal itu. Mata birunya tampak sayu memandangku dan tubuhnya pun ikut bergetar karena isakan yang tertahan. Sementara aku? Seperti pengecut, kepalaku tertunduk tanpa ada tindakan berarti untuk menghentikan tangis adikku semata wayang.

Hiks... Hiks... Hiks...

Gendang telingaku sungguh tak dapat menampung suara itu. Aku bahkan tak mengerti mengapa semua ini jadi terasa begitu rumit. Bodoh, tentu saja memang akan semakin rumit. Cepat atau lambat, Diana pasti tahu jika kakaknya yang bodoh ini telah diubah menjadi mutan. Dan sekarang anak perempuan pecinta gaya gothic itu tengah menyaksikan sang kakak dalam keadaan yang begitu menyedihkan.

"J-jelaskan."

Akhirnya kepalaku dapat terangkat, walau rasanya seperti mengangkat dua ton baja. Diana menatapku nanar dengan eyeliner yang luntur di atas wajah pucatnya. Ingin rasanya menunduk lagi, tetapi adikku butuh suaraku.

"Aku—" Sialan, kenapa aku jadi ikut menangis?! "Aku—aku telah berubah, Di. Seseorang menjebakku, lalu dia memberiku serum sialan, dan pada akhirnya aku... berakhir seperti ini."

Hening sejenak.

"Bodoh."

Aku menatapnya dalam, jelas suaranya masih bergetar. Diana memang begitu, menggunakan sarkastik sebagai tamengnya—ah, atau boleh kubilang topengnya? Ya, seperti itulah adikku, Diana Wu.

"Aku... aku memang kelewat bodoh, Di. Kautahu, seorang pecundang sepertiku mana bisa bertahan dari terjangan badai. Bahkan—"

"Bodoh."

Diana mengambil langkah perlahan ke arahku. "Bodoh, pengecut, berengsek, dungu, bajingan!"

Dia berhenti dan menatap tepat ke dalam netraku. Satu titik yang menjadi awal kerobohan teguh dalam diriku, Diana kini menyentuhnya dengan telak. Tangan gemetarnya terangkat dan mencengkeram pakaianku hingga buku jarinya memutih.

"Kris bodoh."

Selanjutnya, kami menangis bersama dengan isakan Diana yang menjadi lagu pengiringnya.

.

.

.

"Baiklah, jadi bagaimana melepaskannya?"

Sekarang Diana tengah mengelilingi tubuhku dan iris birunya tak henti menyisir rantai yang terikat pada sebuah lingkaran besi elektrik besar ini. Adikku terus berpikir sambil berusaha menemukan sesuatu yang mungkin bisa membuatku terlepas. Namun untuk sesaat, aku rasa dia mulai kepayahan mencari jawabannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 23, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

VehementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang