Sebuah Kenyataan

97 18 77
                                    


Hilang Cahya

Oh ...
Adakah cahya di ruang gelisah
Berupa semburat kasih menyerpih
Pendar pun tak mengapa
Asal gundah terbias mereda

Aku sunyi
Sendiri termakan memori
Ketika kilau hilang terberai
Segalanya hitam
;Kelam

Terpasung hati dilanda elegi
Aku takut
Sendiri aku bergelut
Di masa lara bergelayut

Bias asa meredup
;Ge-lap!

Bagaimana mesti berlari
Sedang roda ceria terhenti
Terbiar aku memudar
Di malam yang entah bersinar

Rara, gadis manis berparas anggun. Tiga Mei lalu, usianya genap tujuh belas tahun saat teman-teman sekolahnya memberikan surprise berupa boneka panda besar yang kini dalam pelukannya. Ia gadis periang, semua teman, guru, keluarga, dan siapa pun yang mengenal Rara, begitu menyayanginya. Sifatnya yang ramah dan santun, seringkali mengundang senyum orang-orang di sekelilingnya. Tak hanya itu, Rara pun mempunyai rasa solidaritas yang tinggi. Terbukti ketika itu, Rara rela menahan lapar. Saat melihat temannya, Novi, duduk menyendiri di sudut kelas, tatkala semua siswa sedang enjoy dengan makan siangnya di kantin atau hanya bersendagurau dengan yang lainnya. Novi berasal keluarga tidak mampu, beda dengan semua siswa yang ada di sini. Dua minggu yang lalu, Rara mendekati Novi yang sedang duduk di bawah pohon jambu belakang sekolah. Kok muka Novi kelihatannya pucat, pikir Rara dan kemudian duduk di sebelah Novi.Selama ini memang tak ada yang mau berteman dengannya. Rara pun menghampiri Novi lalu memberikan bekal makanannya. Novi berasal dari keluarga tidak mampu, tak heran bagi Rara melihatnya selalu sendiri saat jam istirahat berlangsung.

Sikapnya mendadak berubah, tidak lagi periang seperti yang orang lain kenal. Berawal dari dua hari lalu, ketika ayah Rara mengenalkan Ibu Sarah, teman dekat ayah kepadanya.

Malam itu waktu menunjukkan pukul 00.15 tengah malam. Hujan lebat yang mengguyur bumi sejak sore tadi menambah dinginnya suasana. Dentuman petir pun mengacaukan perasaan Rara yang tengah gundah. Sejak pukul 21.00, Rara hanya membolak-balikkan tubuhnya di atas kasur dengan seprai motif bunga berwarna pink kesukaannya. Berulangkali mencoba menerobos pintu mimpi, tetapi tetap saja gagal di lakukannya. Pikirannya melayang ke peristiwa tadi siang di sekolah.

“Ah! Ibu tiri ...! Baik? Bulshit ...!” seloroh Angel. Bola matanya memutar sinis, lalu membuangnya.

“Tapi Ngel, dia berhijab. Kamu berlebihan.” Menatap sayu pada Angel yang tengah bersender di tembok sudut kelas. Yang pada waktu itu kelas tengah sepi karena jam istirahat.

“Zaman sekarang hijab itu cuma sekedar kedok saja, untuk menutupi kelicikan mereka,” bantah Angel cepat. “Coba deh loe lihat! Banyak para teroris, yang menculik orang, lalu membunuhnya. Mereka semua berhijab dan bersorban. So ... apa loe pikir, mereka orang baik!”

Rara diam tak menjawabnya. Pikirannya begitu kalut. Belum ada semenit, buku tulis di atas meja sudah penuh dengan kata-kata umpatan, 'Aku benci ibu tiri! Aku benci! Benci! Benci! Benci!'

Segala ucapan Angel, sahabat karib Rara meski mereka berbeda sifat, selalu menghantui pikirannya. Dilemparnya bantal ke sudut kamar, meremat seprai lalu menariknya, hingga semua tampak seperti kapal pecah.

“Aku benci papa! Aku benci semuanya! Aku benci ...!” teriak Rara yang tak mampu lagi mengendalikan emosi. Hujan deras pun membanjiri pipinya.

Tubuh lemasnya bersimpuh di lantai. Kepalanya menyender ke ranjang tempat tidurnya. Pandangan sendu terarah tajam ke sebuah lemari berwarna cokelat, tepat di depannya. Dia meraih tuas laci lemari tersebut dan membukanya. Rara mengambil dari balik tumpukan buku-buku, selembar foto. Lekat tatapannya pada wanita berparas ayu dengan kulit wajah yang putih bersih, dan dibalut kerudung merah jambu, yang berada dalam foto. Foto yang selalu menjadi obat di kala rindu meluap di ruang hati. Foto wanita yang telah melahirkannya tujuh belas tahun silam, dengan penuh pengorbanan. Menjaga dan membesarkannya penuh kasih sayang. Seorang wanita yang selalu menerangi hati dan keluarganya dengan ketulusan cinta.

Namun, Tuhan berkata lain. Cahaya itu hilang dari kehidupan Rara untuk selamanya, saat sebuah kecelakaan lalu lintas di jalan Simpang Sribawono, yang merenggut nyawa semua penumpang termasuk ibu Rara, lima tahun silam.

"Ma ...," desah Rara, pilu.  Buliran jernih kembali mengalir bersama kesedihan yang begitu mendalam.  "Ma ... kenapa mama pergi ninggalin Rara sendiri? Kenapa ma ...!?" Rara mengecup foto itu seolah ibunyalah yang hadir nyata di hadapannya.

Pikirannya kalut, ia tak tahu harus melakukan apa lagi demi bisa mengubah keputusan ayah menikahi perempuan itu. Setelah puas memandang rindu foto ibunya, ia beranjak menuju meja belajar. Diambilnya pulpen dan selembar kertas kosong dari dalam laci meja belajarnya.  Rara menulis sepucuk surat berisi kekecewaannya pada ayah, tak terasa airmata jatuh membasahi tulisannya.

Walau berat, Rara tetap mengambil keputusan itu, keputusan yang akan membawanya entah kemana, keputusan yang memaksa kakk melangkah meninggalkan rumah. Karena baginya, apalah arti sebuah tempat tinggal jika di dalamnya tak ada seorang pun yang dapat mengerti tentang perasaannya. Sebenarnya ia tak ingin melakukannya, tetapi ketidaksukaan terhadap ibu tiri seketika menepis harapannya untuk tetap tinggal di rumah. Karena sekarang rumah bukan lagi surga, tempatnya bermanja. Seperti saat ibunya masih hidup.

***

Keesokkan harinya, di ruang makan Farhan menunggu puteri kesayangnya sambil mengoleskan cokelat di atas roti, kesukaan Rara dan menjadi menu favorite sarapannya. Wajah Farhan berubah cemas, sesaat melirik jarum jam di pergelangan tangannya berada pada angka setengah delapan. Farhan beranjak dari tempat duduknya dan melangkah menuju kamar Rara yang berada di lantai dua.   Saat tiba di depan kamar anaknya, Farhan langsung membuka pintunya. Namun gagal, pintu itu masih terkunci. Akhirnya kegiatan mengetuk pun dipilihnya.

Tok ... tok ... tok!

"Sayang ... Sayang, bangun, Nak!" Farhan mengetuk pintu kamar Rara berkali-kali. Ada sedikit perasaan cemas menyelimuti hati Farhan. Karena tidak biasanya Rara seperti ini. Ia terus mengetuk pintu dan memanggil Rara. Namun, tak sepatah kata pun terdengar dari dalam. Rasa cemas kini berubah jadi takut.  Akhirnya, tanpa pikir panjang Farhan mendobrak pintu tersebut. Setelah terbuka ia terkejut, pandangan matanya mendapati keadaan kamar yang begitu berantakan. Bantal berserakan di lantai serta buku-buku milik Rara berhamburan tidak pada tempatnya. Sorot matanya terus menyelidik ke segala sudut ruangan mencari keberadaan puterinya, tetapi hampa; hanya kosong berbalut kesedihan yang ia temukan.

"Sayang ... Sayang!" Farhan mulai panik. Ia tak tahu apa yang telah terjadi pada puterinya. Ditelusurinya seisi kamar, tetap saja Rara tak terlihat. Saat hendak keluar dari kamar, Farhan melihat sebuah tulisan di atas meja belajar. Dengan penuh harapan, Farhan segera mengambil dan membacanya.

'Ayah, maafin Rara.

Ayah ..., Rara tak ingin ayah menikah lagi. Rara tak ingin punya ibu tiri. Enggak ada seorang pun yang dapat menggantikan posisi mama di kehidupan Rara ....
Rara sayang ayah, tapi Rara BENCI! Sikap ayah ...!

Anakmu
Rara'

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 24, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ketika Cahaya TurunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang