Ternyata dia...?

55 8 9
                                    

...dan ketika mentari lahir untuk menyinari bumi
Maka bulan pun, memilih untuk mati

Tamat

Makes no sense. Buku apa ini? Busuk sekali. Tak ada romantis-romantisnya. Diksinya juga tidak menarik.

"Bosan sekali!" gumamku sebelum menjatuhkan wajahku ke atas meja.

"Kamu ini kenapa, sih? Dari tadi murung terus. Lagi PMS, ya?" tanya Ina yang dari tadi membaca novel Twilight karya Stephanie Meyer.

Aku hanya menanggapi pertanyaannya dengan menggelengkan kepalaku dan menaikkan pundakku.

"Kamu masih galau sama tugas itu?" tanyanya lagi. Kini, aku mulai merasa ada sengatan kecil di tubuhku ketika aku mendengar kata 'tugas'. Tugas dari Bu Lesti yang membuatku berpasangan dengan Eza!

Aku menaikkan wajahku dan menatap Ina. Lalu, aku segera menjatuhkannya kembali ke atas meja dengan rengekan kecil.

"Kamu bikin aku ingat lagi!" gumamku dengan wajah yang masih menempel di atas meja.

"Ih, kok nyalahin, sih? Gini aja deh. Daripada kamu galau nggak jelas kaya gini, mending entar sore, kita jalan-jalan ke taman. Mau nggak?" ajaknya sambil memegang tanganku.

Idenya tidak buruk. Aku tidak bisa seperti ini terus. Aku butuh refreshing! Sekalian cuci mata. Siapa tahu, ketemu jodoh!

Aku mengangkat wajahku dan tidak menjatuhkannya ke atas meja lagi. "Oke!" ucapku dengan semangat sambil mengangguk.

***

"So, spoof text is a kind of text with a funny story and unexpected ending. Or we can call it twist ending. Understand?" tanya Mr. Andre pada kami. Hari ini, kelas kami berakhir dengan pelajaran bahasa Inggris.

"Understand, sir!" jawab kami serempak.

Sebenarnya, aku sangat menyukai pelajaran bahasa Inggris. Selain pelajarannya mudah, gurunya juga tampan. Bukan hanya itu, dia juga baik, cara mengajarnya juga asik. Siapa yang tidak akan betah di kelas coba?

"Yes, Mr. Eza?" tanya Mr. Andre pada the one and only, Eza. Ia pun maju ke depan guru bahasa Inggris kami dan mengatakan sesuatu yang aku tidak bisa dengar dengan jelas.

Mr. Andre mengangguk dan mempersilahkannya. Ia pasti izin ke toilet lagi. Eza pun melangkahkan kakinya ke luar kelas. Ya, sepertinya hanya dia yang tak pernah betah di kelas.

Seperti biasa, kami selalu diberi tugas setelah materi selesai dijelaskan dan tidak ada pertanyaan dari kami. Dan Eza, kalau sudah ke toilet, dia pasti lama sekali. Bahkan, pernah waktu itu, saat pelajaran Sejarah, ia izin ke toilet dan baru kembali ke kelas saat pelajaran Sejarah selesai! Gila, bukan? Tapi tetap saja, kami hanya bersikap masa bodoh dengannya. Tak bertanya ataupun curiga. Karena kami sudah terbiasa dengan sikap aneh nan misteriusnya.

"Hmm, Vi. Kayanya entar sore kita nggak jadi ke taman, deh." ucap Ina tiba-tiba yang membuatku berhenti menulis sejenak. Padahal, aku baru mengerjakan 2 soal.

"Kenapa?" tanyaku kecewa.

"Hmm, tadi si Aldi ngajak aku buat ke rumahnya. Katanya, mau ngerjakan tugas dari Bu Lesti. Maaf banget ya, Vi." ucap Ina dengan ekspresi penuh penyesalan dan pipi yang mulai memerah. Wait, apa Ina suka dengan Aldi?

"Oh gitu. Yaudah deh. Next time aja nggak papa." ucapku dengan senyum.

Tak lama kemudian, aku merasakan sesuatu yang sering aku rasakan pada saat-saat tertentu. Sesuatu yang juga sering dirasakan oleh orang lain. Sepertinya, aku...

"Friend"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang