JANUAR HARRIS
Gue gak tau apa yang di pikirkan Viona ketika dia resmi mengakhiri hubungan yang gue pupuk bareng dia selama lima tahun belakangan ini.
"Kita udah nggak cocok lagi, aku pengen putus." Kata-kata Viona sebulan yang lalu, di cafe dekat tempat latihan dance-nya sampe sekarang masih melekat banget di pikiran gue.
"Nggak cocoknya dibagian mana?" Saat itu jujur gue nggak pengen putus. Gue tatap matanya. Berharap dia becanda doang. Tapi dia nggak mau menatap gue. Dia membuang muka.
"Nggak cocok aja. Dari segi waktu misalnya. Kamu tuh selalu sibuk."
Gue tau Viona lagi bohong. Dia cuma mencari alasan.
"Jangan bohong, Vi." Gue mencoba mendinginkan suasana dengan memelankan nada suara gue. Mencoba berbicara senormal mungkin ditengah pikiran gue yang mulai memunculkan segala kemungkinan kenapa orang yang gue pikir sayang sama gue tiba-tiba minta putus.
Apa dia selingkuh dibelakang gue sampe pengen putus? Atau dia punya penyakit yang membuat dia dikit lagi mati dan mau mengakhiri hubungan gue sama dia? Gue harus cari tau.
Gue mencoba meraih tangannya. Gue genggam erat, mencoba menyampaikan perasaan gue kalau gue nggak pengen putus sama dia. Gue sayang banget sama Viona. Gue nggak mau lepas dari orang yang bikin gue nyaman selama lima tahun ini.
Tapi bukannya membalas genggaman tangan gue, Viona malah menarik tangannya dan menyimpannya dibawah meja. Membuat gue otomatis menarik tangan gue juga.
Perasaan gue nggak enak sama sekali. Gue menunduk, pengen nangis tapi nahan. Viona kayak mau pergi jauh. Jauh banget dan gue nggak diberi lampu hijau buat gapai dia.
Percakapan dan pertemuan itu diakhiri dengan rasa sakit hati gue diputusin sama Viona. Dan hati gue makin sakit dikala Viona tiba-tiba berdiri dan ninggalin gue sendirian di cafe.
"Aku nggak mau ketemu kamu lagi, Janu. Mulai sekarang, jangan hubungin aku lagi. Kita sekarang bukan apa-apa lagi."
==========
Clash Royale. Itulah yang menjadi salah satu penghibur gue selama gue galau setelah diputusin sama Viona. Lain game, lain pula sahabat-sahabat gue yang setia banget nemenin orang galau macam gue yang susah move on.
Ngajakin gue ngampus, ngajakin gue hangout, sampe ngajakin gue nonton bokep. Kalau yang terakhir, itu khusus temen-temen cowok gue. Mereka memang bangsat-bangsat banget kelakuannya--termasuk gue.
Seperti siang ini, gue lagi nongkrong di rumah pohon milik Keenan, salah satu sahabat gue. Sebulan sudah setelah gue putus kemudian galau dan jadi orang gila dadakan, tempat ini jadi kayak markas gue dan sohib-sohib seperjuangan gue. Habis kuliah, kalo kaga mampir di tempat lain, pasti para sekawananan manusia biadab ini mampir kesini, termasuk gue.
Rumah pohon milik Keenan tempatnya cuma dibelakang rumahnya doang. Sekalipun rumahnya Keenan berada ditengah perumahan elit khas orang kaya alias milyuner--iyalah, babehnya kan arsitek--bukan berarti rumah Keenan besar dan mewah seperti tetangga-tetangganya. Rumah milik Keenan jauh dari kata mewah tapi sangat melekat dengan kata perpaduan antara seni dan keunikan.
Saking uniknya, gue merasa kagum akan kekreativitasan babehnya--Keenan manggil bapaknya itu babeh, kita sekawanan juga ngikut aja manggil gitu--yang beliau tuangkan di rumah pohon belakang rumah beliau--yang sekarang jadi markas teman anak-anaknya. Rumah pohon yang otomatis cuma memiliki satu ruangan di isinya dengan nuansa ruang keluarga versi kecil.
Satu set sofa, meja kecil, home teater, dan seperangkat alat PS--yang gue yakini khusus buat Keenan--. Disalah satu sudut ada satu set komputer lengkap sama router wi-fi. Kata Keenan biar kalau kita bosen nonton TV, bisa main game disitu, Dota 2 misalnya, atau wi-fian gratis.