CHAPTER II : MINIMARKET DAN PENCURI

21 2 2
                                    

JANUAR HARRIS

Gue memarkir mobil berwarna hitam biru ini dihalaman parkiran sebelum masuk ke minimarket dimana Vero berada.

"Mau belanja buat babeh dan enyak emang harus banget sembako ya?" Gue menghampiri Vero yang tengah berdiri di depan freezer. Sepertinya sedang serius memilah-milih ice cream apa yang akan dibelinya.

Tangan kirinya menggenggam erat keranjang belanjaan yang keliatannya berat--karena penuh dengan bahan-bahan pokok dapur--.

Karena gue masih merasa laki dan malu sama pegawai minimarket pula customer yang lain, gue merelakan untuk memindah tangankan keranjang belanjaan milik Vero.

Sekalipun gue yakin Vero punya tenaga mirip Agung Hercules, tapi gue tetap gengsi kali kalau biarin Vero nenteng keranjang belanjaan yang seberat barbel dirumah gue.

"Gausah sok mikir banyak, pilih sana sini, kalo pilihan lo entar jatuh juga ke yang ada oreonya." Vero nyengir. Gue langsung ngambil satu ice cream oreo dari freezer dan meletakkannya dikeranjang belanja.

Vero adalah pecinta oreo. Dimanapun, kapanpun, dan lagi ngapainpun gue bisa pastikan ada sebungkus oreo di tasnya--kadang dua bungkus, kalo lagi lapar palingan tiga bungkus. Saking cintanya pada oreo, kami pernah ke kedai ice cream yang daftar menunya nggak ada ice cream oreo.

Kita tahu bersama kalau Vero adalah anak ajaib. Tanpa malu dan ragu dia memberikan sebungkus oreo kepada waiters kedai itu sambil menyerahkan daftar pesanan kami. Dengan senyum manis kayak anak anjing minta makan, Vero bilang, "Mbak, pesanan saya itu ice cream matcha, dan saya tuh lagi pengen banget makan ice cream oreo, jadi mbak, ini oreo saya, nanti bilang sama tukang bikinnya yah, tolong oreonya di hancurin yang sebagian dan dicampurin sama ice cream saya, sebagiannya lagi yang masih utuh ditaroh dipinggiran ice cream, nanti saya makan kok mbak."

Kadang gue mikir, ini anak urat malunya udah putus kali. Bikin malu banget sumpah. Tapi, positifnya dari kejadian itu adalah Ice Cream Oreo Matcha malah jadi menu tetap kedai itu dan menjadi ice cream favorit pengunjung. Uniknya sahabat gue.

Setelah selesai memilah-milih dari tempat ice cream gue dan Vero beralih ke tempat minuman dingin.

"Lo siapa?" Vero kesambet. Entah ada angin apa dia mulai menatap gue dengan pandangan ilfeelnya.

Gue memutar bola mata malas. "Maksud lo apaan sih?" Oh yeah, mungkin gilanya kumat. Mending gak usah gue ladenin. Karena kalau diladenin gilanya lebih menjadi.

Gue nggak peduliin Vero dan menyibukkan diri dengan mencari minuman soda kesukaan gue dan Gino.

"Lo ketawa sendiri barusan, itu ciri-ciri orang gila." Bego. Emang bener gue ketawa sendiri cuma karena bayangin salah satu keajaiban Vero?

"Bacot. Udah belum nih belanjanya? Anak-anak nunggu."

"Anak-anak? Lo siapa sih, suami bukan, bilangnya anak-anak?" Kalau gue lagi genggam lakban, pengen gue lakban mulutnya Vero sekarang juga. Karena berkat omongannya, beberapa orang yang ada didekat gue sudah mulai melayangkan pandangan anehnya ke arah gue berkat suara toa milik Vero.

"Lo ngomong lagi, gue tinggalin lo."

"Tuh kan, ngancem ninggalin gue. Emangnya kita pacaran? Gue nggak kenal lo."

"Vero, lo apaan sih" Sumpah yah, ini cewek minta dikubur.

"Maaf mbak mas, apa ada masalah?" Hebat. Keajaibannya Vero memancing rasa penasaran Insan lain yang berseragam khas pegawai minimarket.

"Oh nggak mas, nggak ada apa-apa." Gue tersenyum ramah sambil mulut gue mengisyaratkan kata gila tanpa suara. Berusaha meyakinkan Mas-mas karyawan ini kalau cewek di sebelah gue ini memang orang gila.

SUMONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang