CHAPTER IV : TUTUP BUKU

19 1 0
                                    

JANUAR HARRIS

Kalau biasanya hari minggu gue bakalan habiskan waktu hangout bareng Viona, maka akhir-akhir ini gue jadi kayak gelandangan yang perlu dikasih asupan suasana baru. Karena setiap weekend datang, gue cuma mendekam di kamar, mainin bass atau gitar milik gue, mulai nyanyi-nyanyi nggak jelas kemudian galau karena gue baper sama lagu yang gue nyanyiin. Apalagi kalau bukan lagu kesukaan Viona.

Mungkin atas dasar inilah, adek gue si Jeni makhluk paling rese diantara makhluk rese yang mengitari gue, ngajak gue buat ke mall.

Berbekal alasan nyari jam baru karena jamnya jatoh di kolset toilet cewek disekolahnya, gue menjadi korban pemaksaan Jeni buat ke PIM.

Awalnya gue nggak mau. Tapi, gue sadar jika fakta mengatakan bahwa mulut wanita itu berbisa. Gue kalah dengan rayuan Jeni.

"Asalkan Abang bersedia nganterin Jeni, uang bensin sama jam baru udah dipastikan ada buat Abang."

=======

Bener kata Bunda. Kalau jalan bareng si Jeni, gue harus bawa persediaan kartu kredit atau debit. Karena Jeni bisa jadi makhluk paling ganas yang pernah ada kalau udah naksir sama satu barang. Itu baru naksir, belum di hitung sama jajannya.

"Abang, gue mau yang itu pokoknya." Jeni merajuk sambil menunjuk salah satu jam berwarna softpink yang dipajang.

Gue menggeleng nggak setuju. Gila aja, jam yang berfungsi cuma buat nunjukin waktu doang, dibandrol dengan harga yang cukup buat beli baju satu lemari.

"Yang lain deh. Yang ini, warnanya kan sama." Gue menunjuk salah satu jam tangan yang berwarna softpink. Jam yang menurut gue bagus dengan harga yang wajar.

Jeni menggeleng. "Nggak. Pokoknya mau yang ini Abang." Bukannya mengalah, si anak SMA keras kepala ini malah semakin memaksa. Cukup lama gue dan Jeni berdebat hanya karena masalah pilihan jam tangan. Sampai harus membuat mbak-mbak penjaganya bingung jam mana yang harus dia ambil.

Pada akhirnya gue kalah berdebat karena Jeni memakai jurus andalannya. Mata berkaca-kaca, pegang handphone, siap telepon Bunda atau Ayah buat blokir kartu gue atau potong uang jajan gue hanya karena gue gak izinin dia beli barang yang lagi dia pengen.

"Katanya Abang mau beli juga?" Jeni dengan mata berbinarnya menatap gue.

"Diem lo. Katanya lo yang mau beliin, kenapa jadi gue yang bayarin?" Jeni hanya cekikikan sebelum matanya menangkap satu lagi jam tangan yang membuat matanya makin berbinar.

"Mbak, tambah jam yang ini dong, buat Abang saya." Gue melongo.

Ebuset, yang bayar gue, kenapa jadi dia yang kayak pemilik duit?

"Kalau nambah beli yang ini, nanti masing-masing jam dapat diskon 35%."

Dan tawaran mbak-mbak itu membuat gue juga tergiur dengan jam tangan itu. Jeni kegirangan ketika gue setuju untuk membeli jam berwarna hitam yang bermerek sama dengannya. Sedangkan gue, setengah bersuka dan setengah berduka. Bersuka karena jam baru, berduka karena duit tabungan gue terkuras.

==========

Mungkin weekend gue kali ini temanya adalah Quality time bareng Jenita Harris. Anak kedua dari pasangan suami istri Bapak Dion Harris dan Ibu Anindita Harris, serta adik satu-satunya seorang Januar Harris.

Sehabis merogoh kocek dalam demi jam tangan, rencana gue dan Jeni untuk pulang ke rumah gagal total karena singgah dulu bioskop buat nonton film. Kali ini Jeni yang bersedia membayar. Katanya award untuk gue yang sudah bersedia membelikan jam tangan mahal untuknya.

SUMONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang