EMPAT

10 0 0
                                    


Pulang sekolah aku berniat pergi ke markas. Ada banyak hal ganjil yang harus kuperjelas. Salah satunya hubungan antara Dominic-walikota-Abhi. Aku harus benar-benar mengetahui hubungan personal antara ketiga orang ini. Ada-tidaknya koneksi yang memungkinkan mereka terhubung. Dan lagi, Dominic yang kabur belum di temukan keberadaannya. Polisi sudah menilisik banyak tempat bahkan pelabuhan dan bandara.

'Kriiiiinnnggg .... Krriiiiinnnnggg ...'

Akhirnya. Aku bergegas keluar kelas. Aku harus menghindari Abhi karena kemarin dia memaksaku untuk pulang bersama. Kelasnya berjarak dua kelas dari kelasku, sialnya aku harus melewati kelasnya dulu untuk mencapai tangga. Aku membelalak begitu kulihat Abhi sepertinya menuju kelasku. Oh my god! Apa yang harus kulakukan.

"Rhe!" aku membalik badan menghadap si pemanggil. Reskia. Aku menghela napas, Reskia ini tidak akan menemui atau menyapaku jika dia tak butuh.

"Apa?" tanyaku. Biar kutebak pasti tugas esay kelompok pkn tadi.

"Nih!" dia menyodorkan lembaran kertas kepadaku. "Maaf nih sebelumnya ya, Rhe. Tugas esay tadi lo sendiri aja, ya, yang bikin. Gue enggak bisa banget sekarang, mak gue minta temani shoping."

Aku menghela napas. Apa kubilang, dia memang seperti itu.

Aku buru-buru mengambil kertas itu dari tangannya. "Oke," aku segera berlalu sambil menutupi wajahku dengan kertas ini.

Aku menarik napas lega begitu berhasil melewati Abhi yang sepertinya tidak menyadari kehadiranku. Aku menekan benda seperti earphone tanpa kabel yang menyangkut di telingaku. "Theo, jemput gue lima ratus meter dari sekolah!"

Setelah mendengar jawaban Theo yang ternyata sudah stand by, aku mempercepat langkah.

Tuk. Tuk. Tuk.

Aku mengetok kaca mobil Theo. Pintunya pun secara otomatis terbuka. Aku segera memasukkan diri dan duduk nyaman. "Ada rapat sama walikota dan nyonya Hudson, ya, lo?"

Aku menoleh pada Theo. "Mereka sudah sampai?"

"Sudah."

"Bukannya walikota kemarin pergi ke luar pulau ketemu presiden?" tanyaku.

"Kemarinnya kapan, Rhea? Seminggu yang lalu kali itu!"

"Oh ..."

Aku memutuskan diam sepanjang sisa perjalanan. Theo pun fokus menyetir.

****

"Sejauh ini kehidupan Abhi sangat jauh dari kata bahaya. Tak ada yang perlu di khawatirkan." ucapku, "saya mengadakan pertemuan ini hanya untuk menanyai beberapa hal.''

"Apa itu, nak Rhea?" nyonya Hudson menyahut.

"Apa benar-benar tak ada penghubung diantara kalian yang memungkin'kan Abhi bersangkutan dengan kehidupan ayahnya?''

Walikota berdehem. "Kami berdua adalah teman kuliah. Tidak terlalu dekat sampai harus membuat saya mengenalkannya pada orang yang mengenal saya. Kami hanya beberapa kali bertemu di kelas yang sama. Tapi waktu itu saya dan Laila..." walikota menyebut nama nyonya Hudson lalu memandang wanita itu.

Wanita itu seakan mengerti arti tatapan walikota, tersentak. "Waktu itu kami pernah sekelompok. Berdua." sambungnya. Dia mengalihkan tatapan padaku, "dan..."

"Saya mengenalkannya pada Nicho atau Dominic.'' tukas walikota.

"Apa?"

"Ya, saya mengenalkannya pada Nicholas."

Aku menghela nafas. Ancaman sudah dekat. "Apa ada kemungkinan dia masih mengenali nyonya Hudson?"

"Saya mengenal dia dari kecil. Ingatannya sangat baik, dia pintar dan tangkas. Saya pikir kemungkinan itu masih ada. Tapi saya tentu berharap dia melupakan Laila. Semoga."

Benar-benar dekat.

"Jadi sekarang, apa yang harus kita perbuat?"

"Menunggu?" walikota tampak tak yakin, "saya mohon lindungi anak saya. Dia satu-satunya harta saya, istri saya entah dimana. Saya tidak mau kehilangan dia juga."

Nyonya Hudson mengusap punggung walikota, menenangkan pria empat puluh tahun itu. Melihat seberapa sayangnya walikota pada anaknya membuatku teringat papa. Papaku yang lama hilang. Uhh .... Aku menarik nafas.

Baiklah, ini saatnya. Bukankah sudah cukup dua tahun mengintainya tanpa bahaya apapun? Sekarang saatnya!!

****

"Ikutin mobil itu!" perintahku pada Theo. Jika Dominic pintar, maka kami harus lebih pintar. Sebelum dia datang menyerang, ada baiknya kami melakukan persiapan.

"Dia berhenti." kulihat mobil Abhi berhenti di depan sebuah kafe. Abhi keluar dari mobilnya dan memasuki kafe.

Aku segera turun dan menghampiri mobilnya. Oke, pertama kameranya harus kutaruh di depan dan belakang mobil. Aku meletakkan satu di depan kap mobilnya. Kamera ini merupakan rintisan baru dari pakar teknologi ahli mata-mata kami, Daniel. Dia mendesain kamera ini berukuran mini dan mempunyai kekuatan seperti bunglon. Ya, sensor di kamera akan menyesuaikan warna dengan tempat di taruhnya. Berbentuk petak seukuran kotak korek api.

Aku juga memasang di bagian bagasinya. Warnanya langsung berubah silver. Aku tersenyum puas menatap pekerjaanku. Dengan ini aku tak perlu terlalu sering mengikutinya, cukup pantau melalui komputer. Kamera tadi juga di lengkapi GPS yang memudahkanku melacak keberadaannya.

Puk. Tepukan di bahuku membuatku menegang. Aku membalikkan tubuh dan, Lihatlah siapa di belakangku! Abhi. Dia Abhi. Laki-laki itu menyeringai, "Kamu mengikutiku lagi?"

Aku menggeleng. "Tidak." meski tatapannya membuat sebagian diriku terintimidasi dan perasaan lain melihat senyum pedenya mencuat di kepala, tapi gugup bukanlah gayaku.

"Lalu?"

"Lalu apa?"

"Kenapa bisa berada di sini dan kenapa berdiri dekat mobilku?"

Aku berpikir sejenak. "Aku kecopetan dan tak punya uang sama sekali." itu tidak sepenuhnya bohong, patnerku yang bernama Theo itu membawa kabur tasku bersama mobilnya. Dia memberiku senyum lebar saat mataku memelotot meminta pertolongan begitu Abhi berdiri di depanku. Awas saja dia!

"Aku melihat mobilmu, jadi aku memutuskan menunggumu dan minta tebengan." tambahku.

"Kamu pikir aku akan menebengkanmu?" dia menaikkan sebelah alisnya.

"Aku pikir kamu mau. Karna, yah, pulang sekolah tadi aku buru-buru jadi aku melupakan paksaanmu kemarin. Kupikir tidak apa-apa, kan ini jadi gantinya."

"Kamu pintar bicara!"

"Terima kasih." jawabku.

"Itu bukan pujian. Tapi oke, naik!" dia berjalan menuju pintu lalu membukanya dan duduk di belakang kemudi. Aku mengikuti dan duduk di sampingnya.

Mobilnya memutar lalu bergabung dengan kendaraan lain di jalan raya. Aku mengeluarkan sesuatu dari kantongku. Kamera itu harus di pasang juga di dalam mobil. Kita tidak tahu'kan sepintar apa anak buah Dominic? Bisa saja mereka berpura-pura butuh tumpangan, dan boom... Mereka bisa saja langsung menusuk Abhi hingga tewas. Tewasnya Abhi berarti hukuman bagiku, dianggap tak becus dan di benci walikota tempat aku tinggal sementara ini. Pilihan terakhir jika itu memang terjadi aku akan di mutasi dan di beri tugas baru.

"Hmm, boleh hidupin musik?" aku bertanya, Abhi menoleh sekilas kemudian mengangguk. Tangan kananku memutar mp3-nya sementara tanganku yang lain memasang kamera tepat di bawah dashboar dengan menghadap ke seluruh ruang mobil. Dari kamera ini aku bisa memantau siapa saja yang menaiki mobil Abhi dan sensor kamera akan mendeteksi identitas para penumpang.

Lagu bergenre rock mengalun, aku lumayan suka lagu seperti ini. Rock membebaskan para penyanyi-nya berteriak-teriak, dan aku bisa sangat menyukai genre satu ini saat sedang kesal ataupun marah.

"Rumahmu masih di sana, kan?" suara Abhi terdengar diantara suara teriakan dan hentakan musik yang kusetel agak kencang. "Hah?"

Tangan Abhi menurunkan volume tipnya. Dia melirikku sekilas, "Rumahmu di mana?" tanya Abhi.

"Komplek Griya," jawabku.

"Ooh ....masih di sana'' gumaman Abi meski pelan, tapi masih dapat kudengar. Apa maksudnya dengan '....masih di sana' itu? Apa dia tahu rumah om Jhon dimana?

****

29042017

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 16, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

010Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang