III

12 4 0
                                    

"Kata Pak Deni tanggal 5 bulan depan kita udah bisa masuk sekolah," Jelasku pada James sambil memegang kalendar dan menandainya dengan spidol merah yang dua hari lalu ku beli dimini market.

Kemarin kami dipanggil kembali oleh Pak Deni untuk kesekolah mengambil beberapa perlengkapan yang kami butuhkan untuk memulai sekolah. Kami sudah menjelaskan beberapa hal yang mungkin kami tidak sanggup lakukan, seperti perwakilan wali untuk rapat maupun pengambilan rapot dan sebagainya. Untuk masalah James yang berhenti sekolahpun sudah ku jelaskan, bukan pandangan cemooh namun pandangan kagum yang didapat. Ya siapa yang tidak kagum dengan kemampuannya, sih?

Tanganku turun kembali menaruh kalendar yang sudah selesai ku corat-coret pada meja samping tv kemudian duduk pada sofa yang terpantri didepan tv. Kuputar badanku kebelakang dan menaruh tanganku pada sandaran sofa. James tampak sibuk memotong-motong bawang bergantian mengawasi makanan yang sedang iya masak disalah satu kompor yang menyala.

Kenapa aku hanya duduk? James yang menyuruhku.

"Demi keselamatan dapur." Begitu katanya saat aku ngotot ingin membantunya memasak.

James tampak sangat sibuk dengan acara masak-memasaknya, sedangkan aku sibuk menonton dirinya yang sibuk memasak. Jangan ucapkan kata bahwa aku wanita yang tak berguna. Sungguh, rumah ini sudah terlalu bersih untuk dibersihkan. Karena masalah urus rumah tangga aku hanya becus dibeberapa hal. Nyuci piring, nyapu-ngepel, nyuci baju, rawat tanaman. Pekerjaan pembantu sekali kan? 

Dan James? Oh, ayolah, ia pandai disegala macam. Jika kalian suruh dia berburu singa pun, aku sangat yakin ia bisa melakukannya. Namun berhubung singa itu hewan yang dilindungi dan James mahluk yang paling ogah disuruh, jangan harapkan apapun.

Suara ketukan pintu terdengar nyaring disela keheningan yang terjadi diantara kami. James berhenti memotong daun bawang kemudian melemparkan tatapan datarnya padaku yang masih nyaman berpangku dagu pada sandaran sofa.

"Apa?" Tanyaku membalas tatapan tajam yang James lemparkan.

"Punya kesadaran gak?" Astaga, parah sekali kan dia? Apa sih salahnya bilang "Tolong bukain pintunya", emangnya susah?

"Apa harus segala pekerjaan disuruh dulu?" Oke, baiklah. Mungkin dia sebal padaku yang tidak-melakukan-apa-apa ini.

"Iya bos, iya!" Dengusku bertepatan dengan pintu yang kembali diketuk nyaring. Jika saja James tidak melototiku, mungkin aku sudah berteriak kepada pengetuk pintu untuk menyuruhnya bersabar.

Kududukan badanku dan merenggangkan tanganku kemudian bangkit berdiri berjalan menuju pintu utama.

"Selamat siang," Sapa seorang bapak bapak berpeci dan berjanggut tepat disaat pintu terbuka. Sungguhkah? Haruskah disaat saat kami sudah mengeluarkan banyak duit datang pengemis? Tunggu. Sepertinya aku sudah kurang hajar dengan pemikiran barusan setelah melihat buku besar ditangan kanan bapak tersebut. Mau minta sumbangankah?

"Saya RT di blok ini, mbak.." Jelas sang Bapak yang sepertinya menyadari tatapanku yang menebak-nebak siapa dia tanpa bertanya sedikitpun. Lihat, dia menjelaskan bahwa dirinya adalah Pak R- tunggu. Wah. Jess, kau parah.

"Ah, Pak RT, maaf pak saya pangling soalnya kemarin pas ngasih dokumen dokumen yang diperluin dirumah bapak kayaknya bapak tuh.."

"Masih muda?" Tebak Pak RT tepat sekali sampai rasanya ingin kuberikan piring. Setelahnya aku diamuk James.

"Iya pak hehe," Pak RT tertawa cukup lepas membuatku semakin meringis.

"Itu anak bapak, anak pertama." Jelas Pak RT disela tawanya.

"Oh jadi itu an-"

"Silahkan masuk dulu, Pak" Sambut suara dingin mencekam dari belakangku bersamaan dengan pintu yang dibuka lebar-lebar.

SHADOWSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang