4; 2015 | Hamdan dan Segala Perubahannya
.
.
Aku pikir Hamdan di hadapanku ini masih sama dengan Hamdan yang dulu aku kenal. Ternyata enggak! Kamu bukan Hamdaaaan!
.
.
.Baru saja hendak merehatkan lelah. Tubuhnya diminta kembali bergerak. Tangannya memunguti cangkang kulit kacang yang berserakan di lantai seraya membungkuk. Baru saja, padahal belum ada satu menit tempat itu ia bereskan sudah lagi dipenuhi kulit kacang.
Seperti senang melihat ia susah, laki-laki itu dengan seenaknya melempar kulit kacang ke sana kemari. Laki-laki itu, Hamdan, malah santai menyenderkan punggung di tembok seraya berselonjor kaki.
"Kamu bilang makanannya udah matang. Mana? Aku lapar, nih. Gimana sih kamu jadi istri. Suami pulang kerja bukannya cepet-cepet suguhin makan, kamu malah santai-santai." Lagi. Tangannya melempar kulit kacang yang tanpa disengaja mengenai tubuh membungkuk Ratnasih.
Istrinya itu mendelik. Tanpa membalas ucapan Hamdan, kakinya melangkah menuju dapur. Hari ini ia terlalu lelah untuk berdebat. Tidak membutuhkan waktu lama wanita itu kembali, "Nih." seraya menyimpan sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya di samping Hamdan.
Ia duduk bersila di depan kaki laki-laki itu.
Dahi Hamdan berkerut. Ditatapnya makanan yang tersaji, malas. "Tahu tempe doang? Kamu beneran nggak bisa masak? Udah satu bulan, loh aku tinggal di sini. Dan setiap makanan yang kamu suguhin, kalau enggak telur mata sapi, ya ini!" Jarinya menunjuk makanan di sampingnya. Ia memutar bola mata.
Mendengar pertanyaan itu, hati Ratnasih tergerus. Pertanyaan, bisa dibilang pernyataan, kecil itu sanggup membungkamnya. Ia tak menyangka Hamdan akan mempermasalahkan soal masakannya. Meskipun kemarin-kemarin suaminya itu mengeluh karena makanan dingin atau apalah, tapi tak sedikit pun menyinggung soal ia tak bisa memasak.
Padahal, Hamdan sendiri tahu ia tidak bisa masak, belum, yang dibisa hanya memasak telur atau tahu tempe. Yang mudah-mudah.
Tidak kunjung mendapat jawaban. Hamdan mengembuskan napas kasar. Salahnya sendiri melayangkan pertanyaan retoris macam itu. "Aku nggak mau makan ini. Kamu beliin aku ayam goreng atau apa gitu, asal jangan karbo ditambah karbo." Ia terlalu lapar untuk melanjutkan perdebatan.
"Tapi, aku ... aku nggak ada uang."
Tangan laki-laki itu terjulur masuk ke saku celananya. Setelahnya, Hamdan melempar selembaran uang kertas berwarna merah ke arah Ratnasih, "Heran. Baru juga kemarin aku kasih uang, udah abis lagi. Kamu tilep apa, uangnya? Jadi istri itu, harusnya kamu bisa mengolah keuangan. Bukan dikit-dikit abis, dikit-dikit abis, dipake buat hal yang nggak jelas." kakinya ia silangkan. Tubuhnya tidak lagi bersandar.
Ratnasih menunduk. Tatapannya tertumbuk pada beberapa lembar uang yang dilempar Hamdan barusan. Sesak. Tangannya meraih uang itu seraya meremasnya. Ia harus meredam emosinya untuk saat ini. Wanita itu benar-benar lelah. Yang dibutuhkan sekarang hanya istirahat.
Tak sepatah kata pun keluar, Ratnasih segera berdiri membawa uang-uang itu untuk membeli makanan. Bahkan, tanpa memerlukan izin dari Hamdan, wanita itu menutup pintu dengan kasar saat ke luar rumah.
Hamdan terbelangah, "Heran. Lagi dikasih tahu. Main pergi-pergi aja." kemudian menggedikkan bahu.
***
Setitik air terjatuh ke tanah. Bukan berasal dari langit. Namun, dari mata bulat Ratnasih.
Untuk kesekian kalinya ia begitu. Tidak bisa marah, tidak bisa berontak. Ia hanya bisa menangis. Dalam diam. Tanpa seorang tahu. Apalagi Hamdan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kesempatan Kedua [New Version]
Literatura FemininaON HOLD Rujuk! Satu kata yang ia benci. Kesempatan kedua. TERPAKSA harus ia beri pada mantan suaminya. ™ Pertama publis di Wattpad: 20 Maret 2017 - 20 Juli 2017 Dipublis kembali: 01 Januari 2018