BAB 1

344 140 257
                                    

Kini Bianca resmi menyandang status sebagai seorang istri. Bianca segera berpamitan untuk ke kamar saat mereka telah menandatangani buku nikah dan berfoto bersama.

Bianca tak berhenti menatap bayangan dirinya yang sedang memakai kebaya putih sederhana namun tetap terlihat elegan. Hari ini tepat 3 hari dia selesai menjalankan UN yang membuat kepalanya seperti akan pecah.

Seharusnya hari ini dia mengiyakan ajakan Kiran untuk pergi berlibur membuang stress akibat UN, namun nyatanya tidak. Dia terjebak disini, dipernikahan yang direncanakan papinya.

Acara pernikahannya tergolong sangat sederhana. Yang menghadiri pernikahannya pun sangat sedikit. Hanya ada keluarga Axel -ayah dan 2 saudaranya- serta penghulu dan beberapa saksi. Dia tidak mungkin mengundang seluruh teman sekolahnya untuk menghadiri pernikahan ini. Bisa-bisa gue mati karena nahan malu, batinnya.

Bianca tak kuasa menahan air matanya. Dia benar-benar tidak menginginkan pernikahan ini. Air matanya lagi-lagi terjatuh membasahi kedua pipinya. Bianca segera menutup pintu kamarnya dan menangis sesenggukan.

Sedangkan diluar sana, para tamu baru saja berpamitan untuk pergi. Sekarang hanya ada Satrio, Hannah, dan Axel. Satrio menyentuh pundak Axel, "nak, mending kamu istirahat. Biar papi sama Hannah yang beres-beres."

Axel mengangguk dan segera berjalan menuju kamar tamu. Hannah yang melihatnya segera menghampiri Axel. "Kamar Bianca bukan disitu." ujar Hannah.

"Hm?" kebingungan Axel membuat Hannah tertawa. Hannah segera menarik tangan Axel menuju kamar Bianca. Ada kegugupan yang terpendam didalam diri Axel saat berjalan menuju kamar 'istrinya'.

"Nah ini dia!" Hannah sedikit kegirangan saat menunjuk pintu kamar Bianca. "Sampai sini aja ya, kamu langsung masuk aja. Udah halal kok."

Axel menelan ludah dengan susah payah. Ia kemudian mengetuk pintu kamar Bianca yang tertutup. "Bi, buka pintunya!" teriak Axel namun yang didengar hanya tangisan Bianca.

"Bianca? Buka pintunya! Aku mau masuk." Axel masih mengetuk pintunya namun lagi-lagi hanya suara tangisan Bianca yang semakin menjadi-jadi.

"Buka pintunya!"

"Gak mau! Ngapain lo masih di rumah gue? Kenapa lo gak pulang?" akhirnya Bianca mengeluarkan suaranya selain suara tangisan.

Axel menggaruk jidatnya. Bagaimana bisa ada seorang istri yang memperlakukan suaminya seperti ini? Axel baru saja akan mengetuk pintu kamar Bianca lagi, jika Hannah tidak datang dan membawa kunci cadangan.

Hannah berhasil membuka kunci pintu kamar Bianca dalam sekali percobaan. Tanpa menunggu aba-aba, Hannah membuka pintu itu dan mendapati Bianca yang terduduk lesu di atas ranjangnya dengan air mata yang terus mengalir.

Bianca yang melihat kakaknya dan Axel saat pintu terbuka menatap tajam keduanya. "Kenapa dibuka sih kak?" tanya Bianca.

"Loh kenapa? Suami kamu mau masuk masa gak boleh?" Hannah berbicara dengan nada mengejek, membuat Bianca semakin kesal.

Axel mulai melangkah masuk ke dalam kamar Bianca. Tak ada reaksi apapun dari Bianca selain menangisi nasibnya. Apanya yang harus ditangisi kalo nikah sama gue ya? batin Axel.

"Kakak tinggal kalian berdua ya? Kasian papi beres-beres sendirian." Hannah menutup pintu kamar Bianca dan menguncinya dari luar. Sedangkan Bianca, gadis itu mengumpat kakaknya yang terus membuatnya kesal.

"Gue, eh.. aku numpang ke kamar mandi ya? Bolehkan?" Axel berusaha membuat nada bicaranya menjadi lembut, meskipun susah. Entah bagaimana reaksi Bianca nantinya, yang jelas dia tidak mau membuat Bianca berpikiran bahwa suaminya adalah pria kejam. Logika Axel.

"Gak usah keluar dari sana sekalian," ujar Bianca yang harusnya diucapkan dalam hati namun sengaja diceploskan.

Bianca menatap punggung tegap milik Axel yang baru saja menghilang dibalik pintu kamar mandi. Bianca merebahkan dirinya dan memeluk boneka kesukaannya. Dia berencana untuk tidur, namun segera dibatalkan saat dirinya mengingat sesuatu.

Bianca segera melompat turun dari ranjang dan mendekat ke arah kamar mandi. Mampus! Pakaian dalam gue ketinggalan di dalam.

Bianca mengetuk pintu dengan terburu-buru. Takut sekaligus malu jika Axel menemukan miliknya didalam sana. "Buka!" teriaknya.

"Tunggu sebentar!" jawab Axel.

"Buruan! Gue kebelet." Bianca dibanjiri keringat dingin. Ngapain juga sih gue ketakutan gini? Dia kan suami gue.

Pintu terbuka dan menampilkan Axel yang kebingungan melihat wajah pucat Bianca. "Lo nahan pipis sampe pucat gini?" tanya Axel. Tangannya berinisiatif untuk menyentuh pipi Bianca, namun segera ditepis.

"Lo di dalam ngapain sih? Gue kebelet dari tadi." kata Bianca. Dia mendorong sedikit tubuh Axel yang menghalangi pintu.

Axel tersenyum jahil, didalam sana dia melihat hal privasi milik Bianca. "Tadi gue beresin pakain kotor yang berserakan dulu, makanya lama. Hitung-hitung jadi suami yang berbakti."

Panas. Bianca merasakan wajahnya memanas. Untung saja posisinya sekarang membelakangi Axel. Jika tidak, bisa-bisa Axel melihat pipi Bianca yang merona karena malu.

"Lo harus rajin rapihin kamar mandi biar gak ada setannya."

Bianca berbalik menghadap Axel, dia menyipitkan matanya. "Emangnya kenapa kalo gak rapih? Suka-suka gue dong, ini kamar mandi punya gue terserah gue mau ngapain." kini Bianca tidak malu lagi, tapi marah.

Entah kenapa Bianca tiba-tiba menjadi hobi marah saat berbicara dengan Axel. Entah karena efek pernikahan dadakan mereka atau karena Axel memang tipe orang yang kalau berbicara selalu membuat lawan bicaranya emosi. Atau justru Bianca sendiri yang mendatangkan kemarahan itu dari dalam dirinya.

Axel mengangguk paham. Di dalam kamar ini semuanya milik Bianca, jadi sah-sah saja jika Bianca akan melakukan sesuatu terhadap miliknya.

"Oke. Besok lo akan pindah ke apartemen gue, dan gue gak mau apartemen gue berantakan kayak kamar mandi lo. Jadi tolong usahakan untuk menjadi seorang istri yang pandai mengurus kebersihan dan keindahan rumah." jelas Axel panjang lebar.

"Yang lo maksud gue? Gue yang beresin rumah?" tanya Bianca. Axel mengangguk, "karena lo istri gue." Bianca memasang ekspresi ingin muntah.

Jangankan Bianca, Axel pun seperti akan muntah rasanya saat menyebut bocah kecil itu dengan sebutan istri.

Tapi itu memang faktanya. Jika mereka mengabaikan fakta, maka sama saja mereka menghina pernikahan mereka, atau bahkan menghina papi Bianca yang telah menjadi penghulu mereka dalam pernikahan itu.

--

Copyright © 2017 Hitstoryn

Unwanted MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang