Part 6

18 1 0
                                    

"Kita nongkrong disini?" Tanya Devendra memastikan.

"Yep!" Denada begitu menjawab dengan antusiasnya.

Jika Denada melihatnya dengan mata berbinar seperti ia yang sedang jatuh cinta, tersenyum lebar. Sedang Devendra? Meringis melihat tempat penuh sesak, yang penuh dengan pria-pria rakus yang sedang saling memasukkan sesendok makanan dengan lahap dan cepat, bau keringat, teriakan, tawa, dan oh come on! This place is not higinies.

"Ayo!" Ajak Denada seraya memasuki warung tegal tersebut.

Seketika suasana tegang melihat mereka memasuk tempat itu.

Oh damn! Kenapa dirinya malah mengikuti Denada masuk tanpa menolak sedikitpun?!

"Weh‼! Gila man! Nada dateng! Aduh! Cihuy! Adeknya pentolan anak teknik nih, si Jati!" Teriak lelaki gondrong yang duduk jauh dari posisi mereka berdiri.

Denada hanya bersungut sebal, dan Devendra sendiri?

"Wah iya! Nad Nad! Sini gabung kita, lo makan gratis dah! Hayo!" Ajak yang lainnya.

"Oh itu si Denada! Wuih imut gitu!"

"Lo jangan ketipu sama muka dia! Gitu-gitu dia yang bisa naklukin Jati, naklukin ketum dema, naklukin dosen muda noh! Dan..."

Suara riuh rendah sudah terdengar melesaki gendang telinga Devendra.

"Hoy! Lo! Jangan bikin gue turun reputasi dong!" Balas Denada sambil duduk di bangku tengah yang disediakan si rambut gondrong.

Si gondrong hanya memberikan cengiran kuda saja.

Pletak! Tangan Denada sudah menapaki kepala botak disebelahnya saja. "Lo juga! Emang gue cewek murahan apa? Maen ngomong nakulikn segala jenis manusia kampus." Sungut Denada.

"Aduh! Kok gue lu tepak sih?!" Teriak si botak tak terima.

"Kenapa lo mau komen Yon? hah?" Tantang Denada dengan mata melotot.

"Eh kaga ding! Mana berani gue sama ibu negara, udah lo pesen aja makanannya." Suruh Dion, si kepala botak mengaluhkan topik sambil merangkul bahu Denada.

Sedang Devendra? Yang sedari tadi meringis menatapi kelakuan para lelaki disana, merasakan hal yang menelisik hatinya, panas dan... nyaman.

Matanya hampir lepas menatap lengan pria botak yang bertengger manis dibahu gadis imut itu.

"Pesenin dong, males jalan gue."

Dion hanya menggeleng pelan sambil bangkit dari duduknya.

"Eh, Dev sini! Ngapain bengong disitu?" Denada menyadari posisi Devendra ternyata.

Devendra hanya ikut duduk disamping Denada yang menyediakan kursi satu lagi sambil meringis pelan. Kagak nafsu makan gue deh. _ Batinnya.

"Siapa dia?" Tanya Kevi, lelaki gondrong yang terus menatap tajam dan terang-terangan.

"Temen gue, elah! Jangan dipelototin gitu napa." Ucap Denada sembari menoyor kepala Kevin.

"Bukan anak sini ya lo?" Tanya yang lain.

"Bukan, gue anak Widyatama." Jawab Devendra.

"Lo mau pesen mah kesono aja." Seru Denada.

"Dah janganh pesen dulu, lapernya ditahan dulu aja Dev. Pantes gue gak pernah liat lu. Se SMA lu sama Nada?" Kevin menjegal tangan Devendra untuk tetap diposisinya.

"Oh bukan, gue kenal kemarin malem di Sabuga." Jelas Devendra.

"Wah baru kenalan toh, berarti belum tau elo dong Nad." Lirik Dion yang sudah membawakan seporsi nasi dan lauk untuk Denada.

My Boy is A Playboy!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang