Axi POV
Sejak kejadian tadi siang di perpustakaan sekolah, suasana hatiku tak kunjung membaik. Perasaanku terasa campur aduk, kesal, sedih, menyesal..
Tapi tunggu, menyesal? untuk apa aku menyesal? apa karna tadi siang aku menampar Cenna? Tapi itu pantas untuk kelakuan kurang ajarnya yang benar-benar menyebalkan itu. Setelah menggangguku menangis dihari itu, menodongku tadi pagi, dan tadi dia berani menyentuhku. Apa sih maunya? Duniaku terasa benar-benar menyempit sekarang. Cenna seperti ada dimana-mana.
Karna kesal, aku memilih untuk tidak langsung pulang kerumah. Kupikir jika aku pulang, akan memperburuk suasana hatiku saja, jadi lebih baik aku keliling sebentar lalu baru aku pulang.
Aku memilih taman yang sering kudatangi untuk sekedar berkeliling, menghilangkan penat dan gundah yang seperti tak ada habisnya. Tak terasa jam sudah menunjukan pukul 9 malam, dan aku memutuskan untuk pulang. Malam ini terasa begitu dingin dengan semilir angin yang tenang namun menusuk. Aku berjalan dengan pikiran yang gamang, memikirkan apa yang akan dikatakan kakakku.
huufftttt. Beraaaat sekali rasanya melangkahkan kaki untuk pulang, aku malas bertemu dengan Ary. Lima menit aku menatap pintu rumahku. Masuk, tidak, masuk, tidak...
Krekk!!
Aku membuka pintu perlahan, harap-harap cemas semoga Ary sudah tidur. Selangkah aku berjalan dari pintu...
"Mau belajar jadi jalang hah?!"
Suara itu, perkataan itu...
Susah payah aku menelan salivaku, aku ingin marah namun percuma saja. sudah terbaca siapa yg akan menang jika aku mendebat. Aku terus melanjutkan langkahku, berusaha mengabaikan perkataan Ary.
"Lo tuli heh? darimana aja jam segini baru pulang?"
Aaarrgghhh!!! Kenapa Ary terus mencecarku dengan pertanyaan tidak penting itu. Perlukah aku menjawabnya? Kurasa tidak. Aku tetap bergeming.
Tiba-tiba kudengar meja yg dipukul keras, Ary menatapku nyalang. Tangannya terlihat merah, bekas pukulan keras tadi. Dia marah?
"GUE NGOMONG SAMA LO AXI!" Ary membentakku.
"Dan gue ngga mau denger omongan lo." Aku menjawab sedatar mungkin, menahan getaran dibibirku.
"SHIT!!!" Tangan Ary melayang, sekelebat mendarat dipipiku. panas.
Ini terlalu sakit. Bukan. Bukan pipiku, namun hatiku. Setelah apa yang dia katakan padaku, lalu dia menamparku. Aku ingin menangis, tapi tak bisa.
Aku berjalan menuju kamarku, menulikan pendengaranku dari segala umpatan yg keluar dari mulutnya. Kututup pintu kamar dengan keras sampai tembok pun ikut bergetar.
Sampai dikamar, buru-buru aku menuju nakas yang ada disamping tempat tidurku. Aku buka laci yg berada disana, kucari sesuatu yg bisa mengurangi sakit hatiku saat ini.
Ah ketemu!
Benda itu memantulkan cahaya, berkilau. Dengan ujungnya yang tajam, kutempelkan diatas kulit tangannku. Kutekan. Darah mulai keluar. Setelah selesai membuat goresan yang sempurna, darah mengalir dari tanganku.
Sshhh...
Perih. Namun tak sebanding dengan sakit hatiku. kutatap darah yg mengalir. Biarlah, darah ini menjadi pengganti air mataku yg mungkin tak dapat keluar lagi.
***
Cenna POV
Woooww...
Sebenarnya bukan pertama kalinya aku ditampar cewek, hanya saja cewe yang menamparku kali ini beda. Tamparannya lumayan sakit, tapi ekspresinya sama sekali tak terlihat marah. wajahnya datar.
Bagaimana ada orang yang punya pengendalian diri sebaik itu?
Cewek itu benar-benar membuatku semakin penasaran saja. Tapi bagaimana cara mendekatinya? Axi begitu sulit untuk didekati.
Pppfftt. jangankan mendekati, membuatnya merubah ekspresinya saja sulitnya minta ampun -_-'
"Apa kamu sudah selesai membereskan perpustakaannya Cenna?" Tubuhku menegang mendengar suara itu.
Oh god, kenapa gue bisa lupa kalau lagi dihukum..
"Eh.. eh.. bapak hehe ini pak, sebentar lg juga selesai ko." Saat kubalikan tubuhku, aku jadi semakin kikuk berhadapan dengan pak Jun. Ya Tuhaan, mukanya serem banget sih...
"Kamu bilang sebentar lagi?! itu kamu ngga liat disebelah sana masih berantakan? ini juga kenapa susunan bukunya terbalik? kamu ngapain aja daritadi Cenna?!" Suara pak Jun meninggi, terlihat sekali menahan kesal.
"mmm... maaf pak, nanti saya selesaikan." Ujarku, ngeri menatap pak Jun yang sedang kesal aku hanya menunduk takut-takut.
"Sudahlah, sudah sore. Kamu sebaiknya pulang saja." Suara pak Jun mulai normal, aku lega mendengarnya.
"Waaahh bener nih pak? makasih pak..."
"Eehh jangan seneng dulu kamu, hukuman kamu tetap harus diselesaikan. Besok sepulang sekolah kamu bersihkan perpus sampai bersih! kalau masih berantakan, hukuman akan berlanjut dihari selanjutnya. paham?"
Belum juga menuntaskan rasa senangku, pak Jun malah merebutnya secara paksa. ya sudahlah, mau gimana lagi?
"paham pak."
"Ya sudah, sekarang kamu boleh pulang." Aku mengangguk menuruti perintah. Setelah menyalami pak Jun aku bergegas menuju tempat parkir.
Parkiran sudah tampak sepi, hanya ada beberapa motor yang masih terparkir. Aku menuju motorku dan menyalakannya. Saatnya pulaaaang~
Hari sudah beranjak sore, jalanan sudah dipenuhi kendaraan-kendaraan umum yang membawa para pekerja pulang. Karena terlalu banyak kendaraan aku terjebak dilampu merah taman kota, masih harus menunggu 93 detik lagi untuk lampu hijau.
Bosan, aku melihat ke taman kota yang ramai dengan anak-anak yang sedang bermain sepatu roda. Ada juga orang-orang dewasa yang sedang lari sore.
Saat aku ingin kembali melihat lampu merah, aku menangkap sosok yang familiar. siapa ya? Eh bego! itukan Axi. Ngapain ya dia...
"Ax...."
TIIN!!! TIIN!!
belum sempat aku memanggilnya, bunyi klakson menyadarkanku kalau lampu sudah hijau. Gagal sudah untuk memanggil Axi.
Tadinya aku ingin menghampirinya, namun dia sudah berjalan jauh, dan aku harus memutar lagi bila ingin menyusulnya.
Nanti sajalah.. Besok juga bisa ketemu disekolah
***
Hay Hay!!! I kambek :v baru selesai UN nih~ akhirnya kelar juga UN nya wkwk
sebenernya sih belum mau update, tapi takut ada yang menantikan Axi&Cenna wkwkwk *pedebgtdahudah ah cuap² nya, mau hibernasi dulu :v daaaaah~
Yang dimulmed visualnya Axi yaaa, cocok ga? :v cocok deh ya😂 *maksa
KAMU SEDANG MEMBACA
MAY I ?
Teen FictionApa aku sudah bisa dibilang lebih rapuh dari kelihatannya? seperti kalimat yang bertebaran di novel-novel yang kubaca? Entahlah, jika memang seperti itu aku tak pernah berniat untuk tampak 'sok' tegar. Aku hanya malu untuk menangis, apalagi jika ter...