1. Tatapan

486 12 0
                                    

DROP dead a bullet to my head
Your words are like a gun in hand
You can't change the state of the nation
We just need some motivation

Alunan musik Punk Rock yang dibawakan oleh band asal Canada bernama Sum 41, berhasil membuat seluruh ruang gendang telinga lelaki jangkung itu nyaris mati.

Kaki bagian kanannya terhentak-hentak mengetuk lantai. Dia membiarkan kedua matanya terpejam agar lebih mengkhayati padahal nyaris lagu tersebut hanya penuh oleh suara teriakan keras tak terarah. Dia terus begitu di depan deretan loker sekolah sampai terasa ada sesuatu yang menyikut lengannya.

"Hoi! sebenernya daritadi gue ngoceh kedengeran nggak, sih?" Ghalbi, si rambut ikal dan kulit gelap. Dia sudah berada disamping lelaki jangkung sejak empat menit yang lalu.

Lagi-lagi, tidak ada jawaban sampai lelaki jangkung melepaskan earphone miliknya. "Apa, apa? Tadi lo ngomong apa?"

Ghalbi menggelengkan kepalanya pelan. "Kalau tiba-tiba dateng tsunami bisa bahaya, nih."

Lelaki jangkung tak menggubris perkataan Ghalbi, ia lebih memilih untuk kembali mengenakan earphone dan melanjutkan petualangan musiknya.

"E-eh!" Dengan gerakan yang cekatan, Ghalbi menepis tangan temannya itu, membuat earphone yang hampir sempurna terpasang terjatuh lagi ke tangan.

"Rese lo pagi-pagi."

"Dengerin dulu, gue punya kabar gembira." Ghalbi menyimpulkan senyuman.

"Apa?" kedua tangan lelaki jangkung sudah hampir membuka loker, tetapi tertahankan saat Ghalbi berkata lagi:

"Semalem Destruction udah rilis seri baru!" Ghalbi terlihat sangat antusias. Ia mengayun-ngayunkan kepalanya keatas kebawah, sangat konyol.

Sebelum loker terbuka sempurna, lelaki jangkung sudah menyeret badannya kembali menghadap tepat di depan wajah Ghalbi. "Lo pasti bercanda."

Ghalbi tersenyum remeh. "Buka situs resmi mereka kalau perlu bukti."

"Lo pasti bercandaaa!" suara melengking yang terdengar dari mulut lelaki jangkung berhasil membuatnya menjadi pusat perhatian. Ia tak dapat menahan kebahagiaannya. Satu tonjokan semangat lolos di permukaan loker.

"Calm down, babyboy." Ghalbi menyusul lelaki jangkung yang sekarang sudah mengambil beberapa buku yang menjadi materi hari ini di loker.

Tidak, mereka berdua mengambil buku bukan untuk dipakai kelak. Itu hanya sandiwara karena beberapa hari yang lalu mereka kedapatan oleh Bu Maswani—guru paling killer yang heran melihat tas mereka yang begitu enteng dibanding anak lainnya. Saat dibuka, isi tas mereka hanyalah kosong melainkan beberapa permen soda, sebungkus rokok, serta pasangan pensil dan penghapus yang sudah tak layak pakai.

"Jam pertama apa?" tanya Ghalbi yang sedang memilah-milih buku.

"Matematika."

"Cabut aja."

Dari kejauhan sana, terlihat seseorang yang sedang berusaha menyingkir dari banyaknya lautan manusia yang memenuhi lorong, sambil berkata nyaring: Misi misi misi!

Dia adalah Ape. Lelaki bongsor dengan ciki kentang yang selalu ada digenggaman tangannya. Ape mendekat kearah deretan loker dan bergabung bersama lelaki jangkung serta Ghalbi.

"Taro dulu, sih, cikinya?" kritikkan itu berasal dari mulut Ghalbi, si doyan nyerocos.

Lelaki jangkung menepuk perut Ape pelan. "Inget perut, Pe. Sebelas duabelas sama ibu bunting!"

"Ye, protes aja," Ape menyodorkan bungkus ciki kentang yang sudah terbuka ke arah dua kawannya. "Mau nggak?"

Lelaki jangkung dan Ghalbi saling tatap, raut wajah mereka seperti hendak mengambil tetapi gengsi, terbukti dari ukiran senyum banyak arti yang tiba-tiba muncul.

"Mau nggak?" ulang Ape.

Ghalbi dengan ragu merogoh bungkus ciki kentang itu disusul oleh lelaki jangkung.

"Ah, maksa sih," ujar Ghalbi. "terpaksa gue ambil."

Lelaki jangkung tertawa sambil menganggukkan kepalanya tanda ia setuju. Sedangkan Ape, dia mengumpat kawanannya itu dalam hati.

Kring.. kring.. kring..

"Ah!"

Baru satu menit mereka asyik mengunyah ciki, bel tanda masuk sudah mengusik. Suara nyaringnya membuat semua murid termasuk ketiga kawanan itu semakin mempercepat setiap gerakan.

Ghalbi langsung menutup dan mengunci lokernya yang sedari tadi dibiarkan terbuka. Ape gelagapan antara menyimpan ciki kentangnya terlebih dahulu atau mengambil buku di loker. Dan lelaki jangkung, dia hanya berdiri diam seakan ada sesuatu yang sedang menghipnotisnya. Kedua matanya menatap lurus kedepan. Menatap gadis berambut hitam lebat yang juga membalas tatapannya.

Tetapi, tatapan gadis itu sangat tajam. Menandakan ketidaksukaan serta kehinaan. Sampai akhirnya tatapan tajam itu berubah menjadi putaran bola mata dan gadis itu berlalu sambil mendengus kesal.

"Avy, ayo cepetan!" ujar Lana jauh didepan, setengah berteriak. Lana, si gadis seksi sahabat karibnya Avyana Sadna—si gadis berambut hitam lebat.

Langkah para murid lain yang terlihat sangat tergesa-gesa menuju kelasnya masing-masing dengan cepat mengaburkan pandangan kosong lelaki jangkung setelah gadis itu pergi, membuat ia dengan refleks mengarahkan pandangannya ke arah lain. Ia lebih memilih untuk mengabaikan perilaku gadis itu dan segera memasukkan earphone yang sedari tadi melilit lehernya ke dalam saku seragam.

Di dekat saku, terdapat name tag yang terpampang jelas menuliskan sebuah nama lengkap. Kemarau Matdiga.

"Langsung?" tanya Ghalbi dengan raut wajah penuh kode.

Kemarau, meresponnya dengan satu kali anggukan. Tepat ketika bel berhenti berdering, mereka bertiga beranjak ke luar sekolah dari gerbang belakang menuju tempat biasa, dengan masing-masing tas yang di seret.

***

A/N
Ahoy, readersss!
Enjoy my second story and don't forget to VOTE & COMMENT.

On mulmed: Kemarau Matdiga

Truth Or DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang