6. Masih Dingin

76 4 0
                                    

BUNYI yang berasal dari jam weker dengan kasar berhasil membangunkan Kemarau dari tidur nyenyaknya.

Semalam, ia terjaga sampai larut malam untuk menyelesaikan sebuah proyek, walaupun akhirnya nggak selesai juga. Jika disajikan dalam bentuk persen, mungkin sudah mencapai 65%. Yang penting, sudah dikerjakan setengah. Lumayan.

Kedua mata miliknya bagai tak dapat diajak kompromi. Lelaki itu masih saja merasa kantuk padahal sudah sekitar 15 menit terduduk di atas kasur berusaha mengumpulkan nyawa.

"Mau begitu sampai kapan?" Kanya, ibu dari Kemarau, tiba-tiba sudah berdiri diambang pintu untuk menyuruh Kemarau agar segera mandi dan bersiap-siap pergi kesekolah. Dengan langkah malas, lelaki itu beranjak dari kasur bermotif America.

***

KANYA sudah sibuk didaerah dapur untuk menyiapkan sarapan bagi anak lelaki satu-satunya itu. Dilihatnya Kemarau yang sedari tadi celingukan kesana kemari disekitar rumah.

"Ma, lihat kaos kaki, nggak?" tanya Kemarau pada Kanya saat ia sudah rapi.

"Coba cari lagi yang bener!"

Kemarau mencari kaos kakinya di seputaran ruang tengah untuk ketiga kalinya dan entah mengapa, untuk kali ini, berhasil ditemukan. Ia memasang kedua kaos kaki di meja makan.

"Apa yang kamu kerjakan semalam itu?" tanya Kanya di meja makan. Perempuan sebaruh baya itu tengah mengolesi roti dengan selai kacang.

"Proyek besar." jawab Kemarau asal. Terlihat Kanya menunjukkan tampang yasudahlah nya, seraya bangkit kearah dapur.

Kemarau menyambar tasnya. "Aku berangkat dulu."

"Hati-hati."

Saat Kemarau sudah benar-benar pergi, Kanya tersenyum mengingat anaknya kini sudah tumbuh besar. Ia menoleh pada dinding rumah yang penuh oleh foto keluarga. Kemarau, umur tiga tahun, sedang kencing berdiri di bawah pohon mangga.

***

"BU Poppy on the way kelas!" Farhan mengumumkan sembari berlari masuk kekelas, suara lengkingnya terdengar lewat jendela. Semua anak langsung memposisikan diri dengan baik dimejanya masing-masing. Hanya ada satu meja yang kosong.

"Dimana Kemarau?" itu adalah pertanyaan pertama dari Bu Poppy saat  ia memasuki kelas, duduk di meja guru, setelah selesai menyapu seluruh isi kelas dengan mata. "Sakit? Izin?"

"Tadi pagi saya lihat dia di lorong, kok, Bu?" sahut Devi.

"Iya, sama." Lana melemparkan pandangan pada Ghalbi dan Ape secara bergiliran. "Ghal, Pe, mana Kemarau?"

"Mana gue tahu. Emang gue ini ibunya?" jawab Ghalbi.

"Dia bukan ciki kentang yang selalu gue pikirin." tambah Ape sambil menaik turunkan pundak.

Krekkk..

"Permisi." Suara berat yang muncul dengan tiba-tiba nyaris membuat semua isi kelas menatap ke arah pintu.

"Itu dia yang di omongin dateng!" kata Devi.

Kemarau menampilkan wajahnya yang tak tahu apa-apa. Namun nuansa polos tak cocok pada wajah lelaki itu.

Truth Or DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang