7. Boneka Rajut

83 6 2
                                    

PROYEK besar yang selama ini sedang di agung-agungkan oleh Kemarau, akhirnya jadi juga. Lelaki itu kembali bergadang malam tadi, demi merajut satu demi satu benang cokelat mengikuti sebuah pola.

Proyek ini sangat penting baginya karena sebagai penembus kesalahan sekaligus senjata ampuh untuk meluluhkan hati seorang gadis bernama Avyana Sadna.

Kemarau sangat yakin bahwa gadis itu akan segera mudah ditaklukan setelah ia memberikan sesuatu yang sedang di genggamnya sekarang ini, di lorong sekolah. Ia merasa yakin dengan adanya ini, Avyana akan memaafkannya.

"Ngapain bawa-bawa boneka?" tanya Ghalbi yang baru datang dengan senyum mencibir. "Lo masih, uhm, normal, kan?"

"Ini buat Avy." Kemarau memasukan boneka rajut itu kedalam tas, waspada kalau ada anak lainnya yang sepemikiran dengan Ghalbi. "Gue yakin, Dare ini bakal cepet selesai!"

"Jangan terlalu percaya diri." singgah Ghalbi. "Ingat, dia itu, Avyana Sadna!"

Perkataan Ghalbi dengan ampuh membuat seluruh tubuh Kemarau mengalami perasaan runtuh. Ia merasakan putus asa dan kepercayaan diri yang hangus dalam waktu yang sama.

"APE IS COMING!" dari kejauhan sana, seorang lelaki berbadan bongsor, tiba-tiba muncul dari banyaknya lautan manusia. Berbekal ciki kentang disebelah kiri tangannya, Ape berlari ke arah Kemarau dan Ghalbi.

"GEMPA! GEMPA! GEMPA!" teriakan yang berasal dari mulut Kemarau dan Ghalbi, dengan seketika berhasil membuat hancur suasana lorong sekolah pagi itu. Semua anak terlihat panik dan berhamburan kemana-mana ditengah geng pembuat masalah yang tertawa terpingkal-pingkal.

***

AH, nanti aja kali, ya, ngasihnya?

Kemarau beranjak ke tempat duduknya di kelas. Dari kursi deretan terakhir, ia melihat seorang gadis. Tepatnya adalah gadis yang tengah berkutat dengan soal Biologinya.

Kemarau memperhatikan gadis itu dari atas sampai bawah. Kunciran biru mengikat rambut hitam lebatnya, sweater maroon melekat di tubuhnya dan sepatu Converse hitam yang senantiasa rela diinjak-injak olehnya.

Sebentar lagi, gue nggak akan harus pusing untuk mikirin cara deketin lo lagi. Tenang, perasaan risih lo bentar lagi bakal hilang. Batin Kemarau.

Lamunan kecilnya pecah saat Pak Jaya mengucapkan salam seraya masuk ke kelas.

"Selamat pagi juga, pak.."

"Kumpulkan tugas pengayaan minggu lalu!"

Di meja deretan kedua, Avyana tertunduk. Pecahan keramik yang menghantam pandangannya kemarin masih terngiang dikepala. Ia merasa bersalah telah mencampakkan Kemarau padahal lekaki itu sudah meminta maaf—sekitar seribu kali secara harfiah. Tetapi Avyana rasa itu adalah satu-satunya cara yang paling baik.

Avy segera memasukkan buku biologinya saat Pak Jaya masuk dan mengeluarkan buku Sejarah yang tebal.

"Avy, lo nomer empat jawab apa?" Lana merampas buku tugas Sejarah milik Avyana. "Ratu Sima?"

Avyana merebut kembali buku tugasnya. "Ada kok dibuku. Makanya, jangan malas baca!"

Lana terkekeh, ia tiba-tiba memalingkan pandangannya ke arah belakang. Tak sengaja, matanya menangkap Kemarau yang sedang melamun. "Eh, vy?"

Truth Or DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang