2. Permainan

196 7 0
                                    

"APERTA Rozani?"

Seluruh isi kelas hening. Bu Maswani yang pagi ini tengah mengabsen seluruh anak murid kelas B menurunkan kacamata. Kedua bola mata tajamnya menyapu segala sudut kelas.

"Dimana Ape?," tanya Bu Maswani. "ghalbi juga, Kemarau?"

Hampir setengah anak murid dengan kompak menggelengkan kepala. Ada juga yang menaik turunkan kedua bahu. Ini bukan untuk yang pertama kalinya.

Seorang gadis terbatuk sengaja, menyiapkan ancang-ancang untuk angkat bicara.

"Biasalah, Bu. Bolos jam pelajaran!" jawab Avyana dengan nada bicaranya yang sangat jelas terdengar bahwa gadis itu tidak suka.

Memang, sudah menjadi rahasia umum bahwa gadis berambut hitam lebat yang biasa dipanggil Avy itu sangat membenci ketiga kawanan yang secara beurutan adalah Kemarau, Ghalbi, dan Ape.

Dari sekian banyak murid, hanya Avyana yang secara terang-terangan berani melawan mereka. Menurutnya, tingkah laku mereka disekolah menandakan ketidak hormatan pada orang tua yang sudah susah payah membiayai segala macam keperluan.

Bukan hanya masalah membolos pelajaran saja yang menjadi alasan Avy membenci ketiganya. Masalah lainnya adalah, mereka seringkali menjahili anak kaum lemah. Contohnya, Bobby.

Anak pendiam berkacamata itu kerap menjadi korban langganan. Ia sudah merasakan bagaimana rasanya menemukan remehan ciki kentang dalam hitungan banyak didalam tasnya. Atau dia sudah biasa dengan tuduhan mendadak soal keributan kelas yang padahal didalangi oleh mereka bertiga. Tak jarang ia juga terlihat berguyuran air mata karena sering dipaksa ikut bermain bola.

Mereka seakan belum puas dengan hanya menjahili anak murid sebaya, jadi, guru pun turut menjadi target.

Pak Yadi namanya. Guru mata pelajaran Sejarah. Setiap Pak Yadi memberikan pertanyaan menyangkut kehidupan ekonomi suatu kerajaan, baik Kemarau, Ghalbi maupun Ape akan menjawabnya dengan fungsi komposisi pelajaran Matematika. Nggak nyambung!

"Dengar, ya," ujar Bu Maswani bangkit dari duduknya dengan intonasi sedikit tenang. "kalian jangan sampai ada yang seperti geng pembuat masalah itu."

Suasana kelas lengang. Hanya detik jam yang terdengar.

"Cukup mereka aja, lah!" satu hembusan nafas lolos. "saya itu pusing.. siing.. siiiiing.. "

Sebagian anak menahan tawa karena melihat ekspresi lucu dari wajah Bu Maswani, sebagian lagi tertunduk lemah tak berani untuk mendongak.

"Sudahlah," Bu Maswani kembali lagi ke duduknya. "buka buku paket Matematika halaman 156."

Suara lembaran kertas yang dibuka cepat mampu menggeser tahta suara detik jam.

"Kalau begitu caranya, mereka lebih baik nggak usah sekolah. Nyampah." Avy menggerutu dengan suara kecil.

"Biarin aja," ujar Lana. "kenapa jadi lo yang ribet, sih?"

***

"ANJING, napsu amat, Pe!" umpat Kemarau saat wajahnya sedang di olesi oli lantaran ia kalah dalam permainan tebak-menebak mantan kekasih para pemain bola.

"Tambah lagi, tuh. Kurang, kurang." ujar Ghalbi cepat sambil mengambil ancang-ancang menyerang.

"Ee-eh!" Kemarau menangkis tangan jahil Ghalbi dengan kedua lengan menutupi wajah. Alhasil, bagian tertentu baju seragam putihnya terkena noda hitam pekat. "Sial."

Truth Or DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang