8. Tembakan Pertama

132 4 0
                                    

"NAH, udah sampe." Lengan berotot milik kakak tingkat Avyana menarik gigi mobil dan bersama dengan itu suara musik di radio berhenti.

Avyana memperbaiki posisinya, bersiap untuk turun dari mobil. "Makasih ya, kak."

Alvito tersenyum sangat ramah. Ia sangat senang hari ini bisa pergi kesekolah bersama Avyana.

Beruntungnya Alvito yang memiliki orang tua yang dekat dengan orang tua Avyana. Tadi pagi, Avyana tidak bisa berangkat dengan Ayahnya karena semalam Ayah Avyana sudah pergi ke Sumatera untuk urusan pekerjaan. Jadi, Alvito disuruh untuk menjemput Avyana dirumah dan berangkat bersama untuk beberapa hari kedepan.

Selama perjalanan, tak henti-henti mata milik Alvito mengambil kesempatan untuk sekedar melirik gadis itu dari kaca spion tengah.

Setelah mengucapkan terimakasih, Avyana hendak membuka pintu mobil namun belum sepenuhnya terbuka, lengannya dicegat.

"Vy, bentar."

Avyana kembali duduk dengan mimik wajah kebingungan. "Kenapa?"

Alvito diam sebentar untuk membulatkan tekadnya. "Sabtu malem ada acara?"

Pikiran Avyana berusaha mengingat barangkali ada janji yang ia buat atau acara keluarga yang harus didatangi, namun rupanya nihil. "Kayaknya nggak ada."

"Jalan, yuk?"

Avyana terkejut. Ia tak menyangka akan ditawari seperti itu. Mau tak mau, Avyana harus menerimanya. Belum lagi jika melirik pada mata berbinar milik Alvito yang mengharapkan jawaban iya.

Maksudnya, Gadis itu merasa tak enak bila menolak karena: 1. Alvito sangat baik padanya, 2. Alvito menawarkan ajakannya sesaat sesudah ia mengantarkan Avyana ke sekolah, dan 3. Tidak ada yang salah dengan jalan bareng di sabtu malam.

"Oke, kemana?" tanya Avyana akhirnya.

"Makan makan aja. Pokoknya, nanti aku jemput. 19:00 pm."

Avyana mengangguk sambil tersenyum dan keluar menuju kelas setelah berkata lagi pada Alvito, "19.00 pm."

Alvito memerhatikan perawakan Avyana yang berjalan menuju tangga dari dalam mobil. Lelaki itu membanting stirnya pelan, menandakan kebahagiaan dan semangat. Tepat saat Alvito hendak keluar mobil, ponselnya bergetar. Ada panggilan suara dari nomer yang tak dikenal.

"Oh, iya, iya, udah saya transfer. Warna putih ya. Oke."

***

SEJAK pemberian boneka rajut kemarin, sikap Avyana kepada Kemarau disekolah menjadi berubah 360 derajat. Avyana jadi sering sekedar mengobrol dengan Kemarau, atau sering terlihat tertawa karena guyonan yang dibuat Kemarau dan kedua kawannya. Tak disangka, Avyana menemukan suatu fakta yang tersembunyi dalam diri Kemarau. Lelaki itu sangat menyenangkan.

"Kemarau! lo udah ngerjain pr Matematika?" tanya Avyana di kelas sesaat sebelum pelajaran Bahasa Indonesia dimulai.

"Ngapain dikerjain?" jawab Kemarau santai sambil me-typeex-kan mejanya.

"Heh? Kok?" wajah Avyana terlihat heran sekaligus tak percaya. Wajahnya sangat lucu sehingga saat Kemarau melihatnya, lelaki itu tertawa pelan.

"Matematika itu bikin pusing. Nggak usah mikirin hal yang pusing biar nggak ikutan pusing!"

Avyana melemparkan kotak pensil kearah Kemarau saat Bu Maswani masuk ke kelas.

"Bu! Avyana nakal, nih." adu Kemarau dengan tampang memelas hasil acting nya.

Bu Maswani menoleh. "Kenapa?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 31, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Truth Or DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang