Ica memberi senyum kepada setiap orang yang menyapanya. Ia berjalan santai menuju ruangan khusus dokter psikolog.Ica mendorong pintu kaca tersebut, membuat semua yang ada disana menoleh bersamaan. Mereka memberi tatapan jahil ketika Ica duduk dikursi kerjanya.
"Ciee, penganten baru. Kok masih kerja? Biasanya sih penganten baru mah betah lama lama dirumah, apalagi diranjang." Ica memukul teman seprofesinya itu dengan gulungan kertas laporan. Wulan-wanita cantik berhijab- itu hanya menatap heran pada Ica.
"Ca, lo masih perawan? Kalian nggak lakukan hmmm.... malam pertama?" Ica mendengus jengkel. Inilah yang tidak ia suka jika ada masalah. Selalu mudah ditebak dan ia tidak akan bisa mengelak. Ica menarik tangan Wulan sedikit menjauh dari keramaian. Mereka keluar dari ruangan tersebut dan duduk dibangku depan ruangan mereka.
"Kenapa? Apa dia nggak nerima lo?" Ica tersenyum kecut dan menatap sahabatnya. Wulan adalah wanita beruntung yang memiliki kecantikan alami dan soleha. Tidak seperti dirinya yang urakan.
"Yah seperti dugaan gue. Dia nggak nerima gue. Dari awal dia udah nggak suka dengan usulan Kak Dimas. Dan lo tau??"
"Nggak?!!" Ica mendengus geli mendengar jawaban sahabtnya itu. Sedangkan Wulan hanya cengengesan, menampakkan kedua lesung pipit di pipi kanan dan kirinya.
"Dia bahkan pergi sama pacarnya waktu malam pertama kami. Kemaren dia bahkan nampar gue gara gara gue ngangkat telfon dari pacarnya itu. Dan ini.." Ica mengangkat tangannya menunjukkan lengan kirinya yang diperban. Wulan membulatkan matanya dan memegang lembut tangan kiri Ica. Ica hanya meringis saat Wulan tak sengaja menekan terlalu kuat lukanya.
"Ini baru tadi pagi, gue buat Juna marah hanya karena hal sepele. Dan lihat,lengan kiri gue jadi korbannya." Wulan menatap Ica iba. Ia memeluk bahu Ica dan mengusapnya pelan.
"Lo yakin ada karma, kan? Tenang aja, semuanya pasti terbalaskan. Gue selalu ada disamping lo." Ica hanya tersenyum tipis kearah sahabatnya semenjak mereka sama sama baru menjadi dokter psikolog.
***
Ica membuka pintu rumah sambil menenteng kantong kresek berisi makanan. Ia memutuskan untuk mendekam dikamarnya dan membiarkan kedua manusi menjijikkam itu memesan makanan diluar dan tidak perlu merepotkan dirinya yang sangat capek karena menghadapi pasien yang cukup parah.
"Woow!! Bagus ya, pergi nggak pamit dulu. Mangkal dimana lo??" Ica mendesis dan menatap datar Jean yang menurutnya tak lebih dari jalang. Bahkan mungkin lebih buruk daripada jalang.
Ica memutar matanya malas dan berlalu meninggalkan Jean yang masih menatapnya sengit. Tiba tiba Jean menjerit kesakitan, membuat Juna yang sedang dikamarnya keluar dan menghampiri Jean. Ica lagi lagi memutar matanya malas.
"Sayang, kamu kenapa?? Ada apa?" Jean dengan kepura puraannya memeluk leher Juna.
"Huhuh.. takut. Istri kamu ancam ancam aku supaya aku jauhin kamu." Ica mendengus jijik, lalu berlalu kekamarnya tanpa mempedulikan kedua insan itu.
"Kayak gue nggak ada kerjaan lain aja." Gerutu Ica sinis. Juna hanya menggeram kesal dan menarik mesra tangan Jean. Dengan sengaja Ica membanting pintu kamarnya ketika kedua sejoli itu lewat didepan kamarnya.
"Sayang, kamu kekamar dulu oke!! Aku harus bicara sama perempuan itu." Jean hanya mengangguk manis ketika Juna mencium keningnya. Sedangkan Juna menlangkah menuju kamar Ica. Dengan pelan ia memutar kunci pada kenop pintu kamar Ica. Ia membuka pintu tersebut dengan sangat pelan. Matanya langsung menangkap siluet Ica yang duduk di balkon sedang memakan sesuatu. Rasanya Juna ingin mencekik perempuan itu karena membatalkan rencana hidupnya dengan sang pujaan hati. Beberapa langkah lagi, ia akan sampai dibelakang Ica yang sedang duduk menatap kedepan.
Langkahnya berhenti ketika melihat tetesan darah mengalir jatuh kelantai dari lengan kiri Ica. Matanya nanar seakan ingat sesuatu namun kabur.
Ponsel Ica yang terletak diatas nakas berdering. Ia menginsut ingusnya dan menghapus air matanya. Gerakannya tak luput dari perhatian Juna. Sakit mendera kepala Juna, membuat mulutnya mengeluarkan erangan kesakitan. Ica tetsentak kaget dan membalikkam badannya. Dirinya tertegun ketika Juna sudah berlutut dengan jari jari yang mencengkram rambut brunette nya. Dengan tatapan sinis Ica melangkah melewati Juna walau banyak pertanyaan ada pada kepalanya.
"Caca!!" Gumaman lirih itu mampu membuat saraf-saraf Ica kaku seketika. Otaknya mendadak memproses terlalu lambat ucapan lirih dari bibir pria itu. Sampai suara ambrukan menyadarkannya. Dengan kaki gesit ia membalikkan tubuhnya dan bergesa menuju tubuh Juna yang sudah tergeletak. Ica memangku kepala Juna dan menepuk-nepuk pelan pipi Juna. Tangannya merangkul Juna dan membaringkannya di ranjang miliknya. Mendadak rasa bahagia membuncah. Apakah Juna sudah bisa mengingatnya? Kalau iya, mungkin Ica sudah senang keranjingan.
Ica kembali memasang perban seraya menunggu Juna sadar dari pingsannya. Senyumnya terbit membayangkan reaksi Juna ketika sadar. Karena tak sabar, Ica sedikit menggosokkan minyak kayu putih disekitar hidung suaminya itu.
Usaha Ica menampakkan hasil ketika Juna mengerjapkan matanya. Kedua tangannya menggenggam rambutnya sambil meringis kesakitan. Juna duduk dengan bersandar dikepala ranjang. Ica menatap Juna khawatir.
"Jun, lo nggak papa?" Juna hanya diam sambil menatap intens Ica. Ica yang dipandangi pun hanya tersenyum salah tingkah.
"Sebenarnya lo itu siapa gue? Kenapa lo rasanya udah ada sebelum ini?!!" Tanya Juna menghela nafas. Ica juga ikut-ikutan menghela nafas sambil tersenyum kecut. "Pada waktunya lo akan tau siapa gue, Jun!" Juna hanya diam tak mengerti, lalu pandangannya beralih pada lengan kiri Ica yang diperban. Dengan lembut ia membawa lengan kiri Ica kehadapannya.
"Ini salah gue, kan? Kok gue bisa kejam gini ya? Padahal dulu gue nggak pernah ada niat untuk nyakitin cewek. Kenapa gue jadi jahat gini, sih?!!" Ica hanya tersenyum kikuk, juga bingung. Perubahan sikap Juna membuatnya bingung, juga senang. Apa ini langkah awal mereka untuk jadi lebih baik? Kalau iya, maka Ica akan berusaha untuk membuat Juna ingat siapa dirinya.
Tiba-tiba pintu kamar Ica digebrak oleh Jean. Matanya nyalang ketika mendapati Juna yang menyentuh tangan perempuan paling dibencinya itu. Dengan langkah lebar ia menuju ranjang Ica dan menghempaskan tangan Ica, membuat sang empu meringis kesakitan. Juna tersentak dan menatap Jean datar.
"Kamu bilang kamu mau memarahi perempuan ini. Kenapa kamu malah mesra-mesra gini,hah?!! Oh, aku tau, kamu pura-pura kan supaya perempuan ini melambung lalu nanti kamu jatuhin, iya kan sayang?!" Jean tersenyum jahat, sedangkan Ica sudah menggeram marah. Juna hanya mengangkat sebelah alisnya bingung. "Kenapa kamu bilang begitu? Aku nggak pernah tuh bilang kayak gitu!!" Jean menganga lebar atas jawaban Juna, Ica hanya tersenyum puas melihat ekspresi Jean yang memerah.
"Oh jadi kamu udah cinta sama jalang ini, hah?!! Mau ninggalin aku, gitu?!!" Juna menatap Jean jengkel. "Siapa bilang aku cinta sama Ica, hmm?" Ekspresi Jean kembali senang, tak lupa senyum jahatnya. Tapi senyumnya memudar seketika.
"Tapi yang jelas dia udah lebih dulu hadir didalam hidup aku jauh sebelum kamu jadi kekasih aku!!"
Bersambung...
Maaf ya jika cerita ini mengandung keabsurdan, maaf juga karena ketelatan author untuk memoubkis cerita ini. Maaf juga karena pendek. Tapi yang jelas terima kasih yang sudah kasih vote dan comment yang mendukung😉😉😉..
KAMU SEDANG MEMBACA
Vous Attend(menunggumu)
RomanceNIKAH MUDA SPIN OFF Dulu. Arjuna dan Desyca bagai perangko dan ampolp. Tak ada hari yang tak dihabiskan dengan canda tawa mereka berdua. Walau terpaut 3 tahun,namun tak menjadi pembatas bagi mereka berdua. Tapi itu dulu, sebelum kecelakaan merengg...