Sayuko dan Rin pulang ke rumah di waktu yang sama, pukul setengah sembilan malam. Begitu melihat wajah adiknya, ia menangkap ada sesuatu yang aneh pada Rin. Ia mencoba menggodanya, tapi yang ada malah diabaikan.
Ibu yang mereka jumpai tengah menonton televisi, menyuruh anak pertamanya itu untuk menghentikan kejahilan dengan menempelkan telunjuknya di bibir. Ia lantas menepuk sofa sekali untuk mengisyaratkan supaya Sayuko duduk di sebelahnya. Ia ingin menjelaskan sesuatu tentang apa yang membuat Rin begitu terguncang.
"Lalu bagaimana dengan diagnosa dokter?"
"Ibu tidak tahu. Dia mengabari kalau akan pulang terlambat lewat telepon sekolah."
Sayuko melepas napas berat. "Baiklah, nanti akan kutenangkan dia. Perasaan bersalah itu pasti akan terus membuatnya tidak tenang."
Satu jam kemudian, Sayuko membuka pintu kamar Rin sambil membawa nampan berisi makan malam, tapi terkunci. Baiklah. Ia kembali ke kamar di mana ponselnya berada untuk mengirim pesan singkat pada adiknya bahwa ia ingin bicara. Sayangnya, dua puluh menit ia menunggu, balasan itu tidak ada. Sayuko akhirnya mulai berpikir untuk masuk secara paksa.
Berbekal jepit rambut, ia membuka pintu yang terkunci itu. Meski agak kesulitan, namun usahanya berhasil. Di sudut kamar, ia melihat Rin membenamkan wajahnya di antara kedua kaki yang sedang ia peluk. Setelah ia meletakkan makanan adiknya di meja samping tempat tidur, ia terduduk di lantai juga.
"Rin, itu bukan sepenuhnya kesalahanmu," kata Sayuko sambil mengusap-usap pucuk kepala adiknya yang basah. Ia pikir, tadi Rin memajamkan mata berlama-lama di bawah shower untuk menenangkan pikiran.
Andai saja Sayuko tahu kejadian lengkapnya bahwa kecelakaan itu tidak akan terjadi kalau saja Rin bisa mengendalikan emosi, mau berhenti dan mendengarkan penjelasan Namie. Tapi, ia enggan menyeritakannya. Ia tidak ingin kakaknya tahu kalau ia cemburu.
"Apa kau ingat kata-kataku sewaktu di balkon waktu itu?" tanya Sayuko dan adiknya itu tetap terdiam. Tidak jelas apakah memang ingat atau hanya belum berminat berbicara saat ini. Jadi, ia pun mengulanginya lagi. Rin tetap harus berada di dekat Namie apa pun yang terjadi. Dalam hal ini, Sayuko menegaskan kalau semisal ada dampak yang ditinggalkan dari kecelakaan itu, Rin harus selalu menemani dan menyemangati Namie.
Rin mengangkat wajah dan meletakkannya di atas lipatan tangannya. Ia menatap depan dengan pandangan kosong. "Namie belum sadar saat aku pulang. Kata dokter, dia mengalami gegar otak ringan."
Saking seriusnya mendengarkan, Sayuko sampai tidak sadar kalau sekarang adiknya beralih menatapnya dengan sangat frustrasi. Ia sedikit terkejut dan takut. Sorot mata Rin hampir sama dengan orang gila yang ia jumpai di rumah sakit jiwa. Tidak butuh waktu lama, Sayuko bisa mengendalikan perasaannya menjadi normal kembali. Rin mulai melanjutkan bicaranya.
"Tadi aku seperti menonton film Final Destination secara langsung. Darah di mana-mana." Rin mendekatkan tubuhnya sampai menyisakan satu jengkal dari wajah Sayuko. Kakaknya itu bergidik, karena Rin seperti kerasukan. "Tulang belakang Namie juga cidera, jadi ada kemungkinan kalau dia... lum-puh!" Kata terakhir Rin mengeluarkan embusan angin yang mengerikan. Membuat seseorang di depannya menatap Rin tanpa kedipan dan napas yang memburu.
***
"Apa kau yakin kalau dia akan mati?"
"Kalau pun tidak mati, mungkin saja dia cacat. Jangan buang-buang waktu lagi, mulai jalankan rencana selanjutnya."
Paman terdiam, menimbang saran keponakannya itu. Sebenarnya, bahan-bahan untuk rencana selanjutnya memang sudah ia siapkan. Tapi, ia ingin benar-benar meyakinkan dulu keadaan target pertamanya. Ia bergumam sebentar, lalu mengatakan pendapatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Youth
Teen FictionNamie, Shigeru, dan Katsuro adalah tiga orang anak yang dididik dengan salah sebagai alat balas dendam orangtua mereka. Kalau boleh memilih, sebenarnya mereka tidak mau diperlakukan demikian. Karena, pada akhirnya dendam itu teratasi bukan dengan ke...