Chapter 4: Hold My Hand

30 3 1
                                    


Karena peluru itu sudah merusak jaringan otot, jadi jangan dibuat banyak bergerak sampai benar-benar sembuh, ya. Kalau tidak, tanganmu nanti tidak bisa digunakan lagi secara maksimal.

Hari ini adalah dua hari setelah penembakan malam itu. Namie sudah diperbolehkan keluar rumah sakit, tapi, ada syarat yang harus ia penuhi. Dan, ia rasa, syarat itu ternyata memberikan keuntungan. Dengan alasan agar putrinya cepat sembuh, ayah memperbolehkan Namie absen berlatih bela diri. Selain itu, ayah selalu menyuapi dan mengajaknya bercanda. Seharusnya, ini adalah waktu yang tepat untuk meminta penjelasan tentang rahasia-rahasia ayah karena mereka sedang "dekat". Akan tetapi, Namie terlanjur terlena oleh kedekatan itu—sehingga tidak mau merusaknya dengan hal-hal berat.

Bisa dikatakan, Namie sedang bahagia. Baru kali ini ia merasa diperhatikan oleh ayah—sehingga walau pun Masato sempat mengatainya anak pembawa sial saat menemuinya di rumah sakit, dan Nisae yang sekarang kondisinya sedang drop karena mengetahui saudaranya tertembak, ia tidak begitu memikirkannya. Ia rasa, ia berhak egois sedikit saja untuk menikmati hidupnya. Bukankah selama ini ia sudah terlalu banyak "berkorban"?

Sampai saat ini, sudah banyak teman Namie yang mengunjunginya, terkecuali Shigeru dan Rin. Entahlah, begitu ia sadar beberapa jam setelah penembakan, ia tidak melihat batang hidung pemuda bermarga Endo itu. Orangtuanya juga tidak mengatakan apa-apa. Lalu, hal apa yang membuat Rin tidak kunjung menjenguknya? Sungguh, Namie ingin sekali bertemu dengannya. Jujur saja, ia mulai merasa nyaman di dekat anak terakhir keluarga Okumura itu.

***

"Paman, bagaimana rencana kita selanjutnya?"

"Habiskan makan malammu dulu. Kita bicarakan setelah ini."

Shigeru mengembuskan napas berat seraya menjatuhkan sendok dan garpunya di piring. Menimbulkan dentingan yang mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang ia pendam dan saat ini rasanya ingin keluar. Paman bertanya apa yang dipikirkan keponakannya itu.

"Aku tidak tenang. Kalau rencana kali ini tidak berhasil, Namie pasti bisa menggagalkan rencana kita yang lainnya. Dia itu cerdas, paman."

Paman tertawa renyah. Keponakannya ini rupanya sudah lupa atas apa yang dilakukannya untuk "menghindar" dari endusan polisi. "Kau sebenarnya juga cerdas, Shigeru. Ya, tapi itu kalau kau tenang."

Agar tidak bertemu orangtua Namie, Shigeru menghubungi supir pamannya supaya menyuruh anak laki-laki yang seusia dengannya untuk pergi ke rumah sakit. Ia berniat seolah-olah Kazumi adalah teman yang pergi bersama Namie. Begitu orangtua gadis itu datang, Kazumi harus berakting sedih karena merasa sangat bersalah tidak bisa menjaga temannya dengan baik. Kemudian, ia buru-buru pamit dengan alasan polisi ingin memintainya keterangan. Sebenarnya, yang pergi ke kantor polisi adalah Shigeru itu sendiri. Ia pergi ke sana bersama paman untuk menyuap atasan polisi untuk tidak melanjutkan penyelidikan kasus penembakan malam itu, dan melakukan kerjasama saat mereka melakukan rencana licik lagi.

"Jika kau meninggalkan jejak, maka carilah sesuatu untuk menghapusnya," ujar Shigeru dengan senyum penuh kemenangan.

***

"Hai, kak, apa kau tidak pergi ke kantor?"

"Kau lihat 'kan, aku masih membaca majalah," balas Masato ketus tanpa mengalihkan pandangan dari bacaannya pagi ini tentang ekonomi.

Namie menggigit bibir bagian bawah, menahan emosinya keluar. Ia ingin bertanya lagi kenapa kakak laki-lakinya itu begitu membencinya. Tetapi, sekarang bukanlah waktu yang tepat. Ia takut akan memerkeruh suasana karena pertengkaran yang akan terjadi kalau ia terus menerus mengganggu mood Masato.

Broken YouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang