Shigeru melirik bangku kosong di sebelahnya. Ia bukan ingin berpindah ke sana, tapi karena merasa sangat marah dengan pemiliknya. Pemilik bangku itu sudah menghancurkan rencananya dan apa yang dilakukannya seakan-akan menantang dirinya untuk melakukan "perang" yang lebih besar lagi. Ya, meski ia sadar kalau akan menjadi lawan yang tidak terlihat. Bawahan-bawahannya yang akan turun tangan melakukan "perang" itu.
"Shigeru, kau tidak ingin pergi ke kantin?" tanya teman perempuannya malu-malu.
Shigeru menoleh dan melempar senyum dingin. "Baiklah, kebetulan sekali ada yang ingin aku tanyakan padamu," jawabnya lantas beranjak dari kursi. Reiko mengikutinya di belakang dengan wajah yang memerah.
***
Gadis dengan penutup telinga berwarna hitam itu menarik pelatuk pistolnya beberapa kali dengan cepat. Dan, pelurunya yang terakhir tepat mengenai titik di tengah papan sasaran tembak. Ia lantas mengganti papan sasaran tembaknya karena belum puas untuk membuat lubang di tempat yang bagus seperti tadi.
Persediaan peluru gadis penembak akhirnya habis. Karenanya, kini ia benar-benar berhenti menembaki papan-papan bergambar beberapa lingkaran dari besar ke kecil itu. Ia melepas penutup telinga dan menaruh pistolnya di meja. Setelahnya, ia meneguk minuman dingin tanpa jeda sampai habis sambil terduduk di kursi.
Seorang pria berjalan di belakang gadis itu dan berniat duduk di sebelahnya. "Bagus, bagus sekali, kau menghibur dirimu dengan berlatih menembak seperti ini." Ia menyandarkan tubuhnya.
Gadis itu pun mengikuti sang ayah untuk menyandarkan tubuh. Kedua tangannya ia lipat sebagai bantal. "Ayah, aku janji ini adalah pertanyaan terakhirku. Maukah kau menjawabnya?"
Ayah memicingkan mata. Perkataan anak perempuannya sama sekali tidak sinkron dengan pujiannya tadi. Setidaknya, ucapkan 'iya' untuk memberikan timbal balik. "Wah, tampaknya pertanyaanmu sangat serius. Ayolah, karena persidanganmu kemarin, kau pasti masih tegang. Mari bahas hal-hal yang ringan saja," bujuknya disertai dengan senyuman simpul.
Namie benar-benar merasa jengah. Ia bukan anak kecil yang begitu dibujuk atau dialihkan pada hal lain akan lupa. Ia merasa sudah cukup dewasa untuk membicarakan hal yang serius atau bahkan berbau rahasia yang selama ini ia rasakan dari keanehan ayah. Ia bangkit dari duduknya, lalu berdiri di hadapan ayah. Wajahnya menunduk sambil mengepal kedua tangannya di samping tubuh.
"Apa ayah pernah terlibat konflik dengan seseorang, lalu memunculkan dendam yang sampai sekarang belum padam?"
Tatapan pria empat puluh tahunan itu menajam. Ini di luar ekspektasinya kalau Namie akan menyadarinya secepatnya ini. Bahkan, sebelum ia tahu alasan kenapa ia dididik dengan cara yang keras. Pria itu tertawa sekilas lantas melayangkan pertanyaan pada putrinya. "Bagaimana kau menyimpulkannya?" tanyanya setenang mungkin. Seolah ingin tahu kenapa anaknya berpikir konyol seperti itu dan bukannya karena rahasianya telah sedikit demi sedikit terbongkar.
"Ada murid baru di kelasku. Aku belum mengenal dia sebelumnya, tapi, dia kelihatan sangat membenciku. Tatapannya mengerikan. Lalu, Rin membelaku saat dia jahat padaku. Dan, besoknya..." Namie mengepalkan kedua tangan lebih erat lagi. "Rin ditembak."
"Namie, putriku." Ayah menggenggam kedua tangan gadis yang masih menunduk itu. "Aku tahu kau anak yang cerdas. Tanpa aku jelaskan pun, perlahan-lahan kau pasti akan tahu semuanya." Ia berdiri lalu mengangkat wajah putri terakhirnya itu. Didapatinya sepasang bola mata yang menyiratkan emosi tertahan. "Yang perlu kau tahu, ayah sangat menyayangimu. Apa yang ayah lakukan padamu, semata-mata untuk melindungimu." Sebagai sentuhan akhir, ia mengecup kening Namie lantas pergi begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Youth
Novela JuvenilNamie, Shigeru, dan Katsuro adalah tiga orang anak yang dididik dengan salah sebagai alat balas dendam orangtua mereka. Kalau boleh memilih, sebenarnya mereka tidak mau diperlakukan demikian. Karena, pada akhirnya dendam itu teratasi bukan dengan ke...