Chapter 5: The Other Executor

23 4 0
                                    


Shigeru mengurungkan niat untuk membasahi tenggorokannya dengan air putih yang ada di dalam kulkas. Pasalnya, indera penglihatannya menangkap sosok yang menjadi teladannya selama ini tengah berbicara dengan seseorang via telepon dengan raut wajah yang amat serius. Ia tidak mau ketinggalan informasi, yang mungkin saja tentang pembalasan dendam pada keluarga Yazukawa. Dari dapur, ia mengendap-endap mendekati paman di halaman belakang. Beruntung, pria paruh baya itu memutar tubuhnya menjadi membelakangi keponakannya. Shigeru makin dimudahkan untuk menguping pembicaraan itu.

"Bagaimana kalau menggunakan isu Aum Shinrikyo?" kata pertama paman yang berhasil tertangkap pendengaran Shigeru. Kemudian, pria yang belum menikah itu hanya mengangguk-angguk saja. Seseorang di seberang teleponnya seperti sedang mengutarakan pendapatnya, yang terus mendapat persetujuan dari si penelepon.

Shigeru baru pertama kalinya mendengar tentang apa yang dikatakan paman. Raut wajahnya semakin serius, makin antusias menguping kelanjutannya. Sayangnya, apa yang didengarnya berubah menjadi sekadar basa-basi menanyakan perihal kegiatan yang dilakukan saat akhir pekan. Ia mendengus sebal. Ternyata, sewaktu ia memutuskan untuk mendengarkan secara sembunyi-sembunyi, ia sudah ketinggalan banyak perkataan-perkataan penting.

"Baiklah, mulai sekarang kuucapkan selamat bekerja untukmu. Selalu ingatlah pesanku. Jangan sampai meninggalkan jejak," ucap paman pada lawan bicaranya. Shigeru yang sudah membalikkan tubuh, berniat untuk beranjak dari posisinya, mengerutkan kening.

Apa paman menyewa orang untuk menghabisi Namie karena aku belum juga berhasil melakukannya?

***

Rin menjatuhkan tubuhnya begitu saja di bangku taman yang terbuat dari kayu. Rupanya, ia lupa kalau tempat duduk itu tidak empuk seperti sofa di rumahnya. Karenanya, ia mengaduh punggungnya sakit dengan cukup heboh. Namie yang berdiri di dekatnya hanya tersenyum tipis.

"Astaga, apa makananmu bukan nasi?" celetuk Rin dengan napas yang masih terengah-engah. Tangan kirinya ia letakkan di atas kening. "Beri tahu rahasianya agar aku tidak payah seperti ini," lanjutnya.

Setelah Namie berlatih Wushu, ia pergi dengan Rin ke lapangan olahraga. Gadis itu tetap membawa sepeda untuk berangkat memenuhi "kewajibannya." Lantas, saat teman laki-lakinya itu menjemputnya dengan si merah Kawasaki, kendaraan roda dua yang berjalan dengan tenaga manusia itu dititipkan di sebuah kedai Yakisoba yang tidak jauh dari tempat mereka bertemu. Lucunya, cara itu tidak terpikirkan sebelumnya oleh mereka saat pertama kalinya Rin mendekati Namie.

Di sana Namie mengajari Rin teknik-teknik dasar Karate. Sudah sekitar dua jam mereka berlatih olahraga asal Jepang tersebut. Saat itu, Rin begitu serius mengikuti gerakan-gerakan yang dicontohkan Namie. Namun, saat gadis tomboy itu menjelaskan tentang teknik pertahanan, si Okumura itu mengatakan kalau ia sudah tidak sanggup lagi karena terlalu lelah. Namie pun mengiyakan ajakan istirahat yang tersirat itu. Ia paham, anak bungsu yang begitu disayangi orangtuanya itu bukan dirinya yang memang dari kecil sudah terbiasa melakukan kegiatan ini.

"Rahasianya adalah dengan terus berlatih. Tubuhmu nanti akan terbiasa," pesan Namie.

Perasaan macam apa ini? Rin membatin. Di luar kendalinya, pupilnya membesar dua kali lipat. Apa yang dilihatnya barusan menghadirkan sensasi aneh di dadanya. Perpaduan antara desiran dengan sedikit rasa nyeri plus debaran-debaran lembut yang membuat tubuhnya terasa hangat. Mungkin, ia tengah terhipnosis. Ia bergeming dengan tetap pada posisi awal sambil menatap Namie nyaris tanpa berkedip. Hal yang menyadarkannya adalah ketika ia rasa pipinya sudah memerah. 'Kan imejnya menjadi tidak keren lagi kalau ia terlihat seperti itu. Ia pun buru-buru menyetabilkan dirinya . Sedikit kegugupan terlintas di wajahnya.

Broken YouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang