MB-3

39 7 26
                                    

Hari ini aku sudah merasa lebih baik. Aku bisa berangkat ke sekolah seperti biasanya. Aku merindukan teman-temanku. Termasuk sahabat baruku, Ezha.

Aku penasaran mengapa ia tidak datang menjengukku sekalipun. Padahal aku menunggu kedatangannya. Apa ia lupa padaku? Ah sudahlah. Memikirkannya hanya akan membuat kepalaku pusing.

"Nesya!! Lo udah sembuh? Kangen deh. Peluk sini." Itu yang pertama kali diucapkan Leira ketika aku masuk ke dalam kelas. Hal itu membuat semua orang yang berada di kelas mengalihkan pandangan ke arahku.

"Apaan deh. Malu gue diliatin yang lain," balasku.

"Oh sekarang gitu? Oke, bye." Leira pun beranjak dari tempatnya menuju luar kelas. Dasar. Gitu saja ngambek.

Aku pun membiarkannya, lalu mengambil novel yang kubawa untuk melanjutkan bacaanku yang tertunda. Namun, entah mengapa aku tidak bisa fokus membacanya.

Aku segera menutup bacaanku dan keluar kelas mencari Leira.

Apa ia benar marah padaku? Aku sendiri pun tidak tahu. Kelas lain menjadi tujuan utamaku. Namun, sejauh aku berjalan mencari, aku tidak menemukannya.

Huh merepotkan saja. Meski begitu, aku sayang padanya. Langkah kaki menuntunku menuju kantin. Kulihat ia sedang memakan semangkuk bakso bersama temannya yang berada di kelas lain.

"Leira!" teriakku lalu berlari menghampirinya. Leira hanya mengerutkan keningnya.

"Lo ke mana aja? Gue cariin juga," kesalku. Leira pun mengedipkan mata bulatnya.

"Emang ada apaan, Sha? Kok nyari gue," ucap Leira. Memang Leira yang lemot atau aku yang salah ngomong sih.

"Lo pikir aja. Gue udah keliling sekolah cuma buat nyari lo. Tadi kan lo ngambek sama gue, makanya gue cari lo," balasku. Leira membalasku dengan tertawa.

"Gue laper tadi, makanya gue ke sini. Hehe," ujar Leira yang membuatku kesal. Aku langsung pergi meninggalkannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

¤¤¤

Bel pulang menandakan jam pelajaran sudah berakhir. Aku bergegas meninggalkan kelas untuk beristirahat di rumah.

"Nesya! Tungguin gue." Itulah yang diucapkan Erga setiap harinya. Seperti biasa kami akan pulang bersama yang bisa disebut jalan bersama ke gerbang.

"Bye, Sya. Sampai ketemu besok," kata Erga. Lalu ia menghampiri laki-laki yang kuketahui ayahnya.

Aku pun berjalan dengan perlahan menuju rumahku. Angin membuat rambutku yang saat itu tergerai pun berantakan.

Ketika sudah mendekati rumah, aku melihat sekelompok anak kecil. Saat melewati mereka aku melihat adikku berada di antaranya. Mungkin mereka sedang bermain. Ya mungkin saja.

¤¤¤

"Mbak," panggil adikku ketika memasuki rumah. Aku menoleh ke arahnya dan terkejut tatkala melihat memar di bagian pipinya.

"Kamu kenapa bisa kayak gini?" Aku langsung mengambil kotak p3k yang berada di kamarku dan mengobatinya.

"Awh, sakit, Mbak," serunya saat aku memegang lengannya.

Ternyata di lengannya terdapat goresan dan darah yang sudah mengering.

"Bilang sama Mbak, kenapa kamu bisa kayak gini."

"Aku tadi jatuh," jawabnya dengan menundukkan kepalanya.

"Mbak tahu kapan kamu bohong, jadi nggak perlu bohong."

"Tapi Mbak janji nggak akan bilang sama Ibu."

"Iya, Mbak janji."

"Ta-tadi aku main di depan sama temanku yang lain. Nggak sengaja aku jatuhin mainan dia. Dia marah sama aku karena mainannya rusak. Terus mamanya marah ke aku."

"Kenapa kamu bisa kayak gini?" tanyaku heran, karena jika hanya dimarahi tidak akan sampai begini.

"Aku didorong dia. Aku kena pohon di bagian wajah aku. Pas jatuh ke tanah ternyata ada pecahan kaca." Ia menjelaskan itu dengan tubuh yang gemetar. Beruntung orang tuaku tidak ada di rumah.

Mengapa tidak aku saja yang merasakan ini. Aku tidak bisa melihatnya seperti ini. Sakit rasanya.

Entah apa yang akan orang tuaku katakan saat pulang nanti. Aku harap mereka tidak akan memarahi adikku.

¤¤¤

"Bu, tadi aku jatuh."

Aku mendengar ucapan itu kala sedang mengambil air minum. Lalu terdiam menunggu balasan. Padahal ia sendiri yang bilang padaku untuk tidak memberitahu ibu.

"Jatuh dari mana?" tanya Ibu.

Mengapa adikku berbohong?

Mengapa ia tidak mengatakan yang sejujurnya?

Padahal itu akan terasa lebih baik. Aku tahu, jujur itu sangatlah sulit. Bisa juga menyakitkan.

"Tapi aku gak apa-apa kok, Bu," balasnya.

"Nald, Ibu tanya kamu jatuh dari mana. Bukan gimana keadaan kamu."

"A-aku didorong sama temenku tadi."

Aku masih tidak beranjak dari tempatku. Karena aku ingin tahu bagaimana reaksi ibu.

"Siapa yang dorong kamu? Ceritain kejadiannya sama Ibu."

Mengalirlah cerita yang sama seperti yang Ronald ceritakan padaku. Aku ingin mendatangi mereka, tapi rasanya lebih baik jika aku tidak di sana.

"Itu berawal dari kesalahanmu. Coba bayangkan kalau tadi kamu gak ngejatuhin mainannya. Pasti tidak akan didorong 'kan?" tutur ibu.

"Ta-tapi aku kan gak sengaja."

"Terlepas dari kamu sengaja atau tidak. Bukannya Ibu membela dia. Ibu tidak membela siapapun. Ibu hanya ingin kamu belajar bertanggung jawab. Jika itu adalah kesalahanmu, berusahalah memperbaiki keadaan.

"Sebelum kamu cerita, Ibu udah dengar dari orang tuanya. Tadi beliau menyampaikan permintaan maaf karena sudah memarahimu. Sekarang Ibu yang tanya sama kamu. Apa kamu udah minta maaf padanya?"

"Belum, Bu," jawab Ronald.

"Meminta maaf duluan itu tidak ada salahnya, Sayang. Hargailah orang yang meminta maaf padamu. Maafkanlah semua kesalahan yang diperbuat orang lain, bahkan sebelum ia meminta maaf."

Aku beruntung memiliki ibu seperti ibuku. Walaupun sibuk, ia masih memiliki waktu untuk mendengarkan keluh kesah anaknya. Teringat kala aku bercerita ketika bertengkar dengan salah satu temanku dulu.

"Bu, Nesya kesal sama Rika. Masa dia meminjam pulpen terus dihilangkan. Aku gak mau pinjamin lagi pokoknya. Kalau bisa aku hilangkan juga pulpen dia!" seruku.

"Kenapa gitu?" tanya Ibu.

"Biar pulpennya sama-sama hilang."

"Gak boleh kayak gitu. Coba kamu maafkan dia, hilangkan semua perasaan benci dan dendam yang ada di hatimu pada siapapun. Hati kamu akan terasa ringan."

"Kok bisa, Bu?" tanyaku heran.

"Kalau kamu benci sama orang lain, pasti apapun yang dilakukannya selalu salah di matamu. Karena kamu gak suka dia."

"Kalau gitu aku gak boleh benci sama siapun ya, Bu?"

"Iya, Sayang."

Seperti itu nasihat yang ibu berikan padaku. Sekarang aku mulai mengerti dan aku tidak mau ada yang membenciku.

Meskipun perasaan kesal selalu datang menghampiri, aku akan berusaha untuk tidak mengubahnya menjadi benci.

My Bestfri(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang