Padang ilalang di bukit belakang desa ini mungkin terlalu luas sehingga orang-orang kampung lebih suka membiarkan tanah itu ditumbuhi rumput liar daripada mereka tanami tanah itu dengan tumbuhan yang lebih bermanfaat. Atau mungkin juga karena antara bukit dengan desa dibelah sungai kecil yang berhulu d balik gunung tempat matahari bersembunyi setiap senja.
Jarak satu km bukanlah jarak yang terlalu jauh untuk mengaburkan pandangan melihat ilalang-ilalang menari ditiup angin kemarau. Siluet batu lebar menyebul malu di tengah padang tersamarkan bunga ilalang putih yang tak pernah berhenti berganti setiap musimnya.
Empat pohon di kanan batu menghitam tumbuh rindang tak pernah ada yang mau mengusik, dahan-dahannya besarnya yang landai menyetuh hamparan batu. Dari dekat tampak seperti pohon-pohon itu memeluk hangat hamparan batu yang seolah enggan sendiri.
Padang ilalang luas beujung di pinggiran hutan dengan pohon-pohon tingginya memberikan background dan garis contour pemisah antara hamparan ilalang yang putih kecoklatan dengan langit yang kadang melintas awan putih menganti warna birunya.
Kaki-kaki kecil beralas sandal jepit tipis terus bergerilya dengan akar-akar ilalang dan rumput liar lainya. Enam anak berlari kecil muncul dan menghilang termakan ilalang yang tumbuh tak sama tingginya.
Anak perempuan berlari dikejar tiga anak laki-laki, tapi sayang dia jatuh tersadung akar.
"Ha ha ha ha Mau kemana , cantik? Kau sudah tak bisa lari lagi, kau akan menjadi tawananku!" Dengan kedua tangan d pinggang anak laki-laki berbadan gendut itu berkata dengan suara yang sengaja ia besarkan.
"Tak ada yang bisa menolongmu sekarang! Kau sudah terlalu jauh meninggalkan desa, sekarang kau sudah menjadi milik kami!" Anak kurus dan berkulit lebih gelap di samping kanan si gendut bersuara dan menatap sinis si anak perempuan itu.
Anak perempuan itu terlihat sangat ketakutan. Dia terduduk lemah membayangkan nasibnya kedepan.
"Iya! Sekarang kau milik kami!" Suara cempreng anak di samping kiri si gendut makin membuat anak perempuan itu makin ketakutan.
"Jangan!! Tolong! Tolong!!" Anak perempuan itu berteriak minta tolong.
"Tak ada yang akan mendengar teriakanmu, tak ada yg bisa menolongmu, putri! Tangkap dia!!" Teriak si gendut memerintaknan dua anak di sampingnya. Ternyata si gendut adalah pimpinannya.
Anak perempuan itu semakin ketakutan, hanya bisa bergerak mundur diposisi dukunya. Namun si kurus dan si cempreng itu bejalan semakin dekat.
"Berhenti!!" Dua anak laki-laki meloncat kehadapan anak perempuan itu, sekitar 2 meter dari si kurus dan si cempreng.
"Beraninya kalian menganggu perempuan tak berdaya!" Anak laki-lahi berkaos biru menatap tajam ke arah tiga anak tadi. Dengan sebilah pedang dari bambu tertenteng di pinggang kirinya dan ikat kepala dari daun kelapa membuat dia merasa sangat gagah bak seorang pangeran yang akan menyelamatkan sang putri.
"Kalau berani, lawan kami!!" Teriak anak yang umurnya mungkin lebih muda 2 tahun dari yg lain. Si kecil ini pun sama menenteng sebilah pedang tapi terbuat dari ranting pohon. Lebih terlihat ke arak lucu karena pedangnya telalu panjang sampai ke tanah sedangkan tubuhnya juga lebih pendek dari yang lainya.
Anak perempuan yang tadi sangat ketakutan kini dia tersenyum, berdiri dan bejalan ke belakang dua laki-laki yang menyelamatkanya.
"Bersembunyilah dulu, Tuan Putri. Kami akan melawan mereka terlebih dahulu." Kata si anak berbaju biru.
Si anak perempuan itu mundur dan bersembunyi di balik ilalang yang cukup tinggi.
"Bisa apa kalian? Berani melawan kami, hah?" Si gendut dengan kedua tangan di pinggang berucap dengan congkaknya. "Serang mereka!!" Sambung si gendut sambil menujuk ke arah dua anak berpedang.