Hujan masih mengguyur kota, membuat tanah berlapis aspal hitam tergenang air di beberapa tempat. Suara hujan mendominasi pendengaranku, dan juga suara angin yang datang bersamaan dengan hujan. Angin bertiup cukup kencang malam ini, membuatku harus merapatkan coat abu-abu milikku.Hari ke-20 di awal tahun millennium ke-2, dimana setiap hari tetes air hujan selalu menyapa tanah Nusantara, tidak membiarkan tanah untuk kering walaupun hanya sehari, termasuk malam ini dimana hujan masih turun membasahi tanah Ibukota Nusantara, rata di seluruh tempat. Termasuk di salah satu gang yang berada di antara toko-toko yang berjajar di pinggiran jalan. Hujan yang sudah turun sejak beberapa jam yang lalu membuat jalan di gang itu basah, dan menciptakan kubangan air di beberapa sisi jalan. Gang itu sebenarnya adalah gang mati, buntu, sehingga hanya suara hujan saja yang terdengar, ditambah dengan suara tetes air hujan yang mengenai tempat sampah besi. Membuat suasana di gang itu praktis makin sunyi senyap.
Sebenarnya tak ada yang aneh dengan gang tersebut, hanyalah sebuah gang mati yang sama seperti ribuan gang lainnya di ibukota. Tapi keberadaan kami-lah yang membuat gang itu terlihat aneh.
Ya, kami berdua.
Sekilas, jika kalian melihat kami ini, pasti sama-sama terlihat mengenaskan. Tetes air hujan telah menghapus peluh kami sejak tadi, membuat badan kami basah. Tapi jika kalian memerhatikan lebih seksama, ada dua perbedaan jelas diantara kami.
Pertama, aku perempuan, sedangkan dia adalah seorang laki-laki.
Kedua, aku hidup, dia tidak.
Helaan nafasku memecah keheningan, diikuti dengan berdirinya aku. Dengan langkah sedikit terseok, aku menghampiri jasad laki-laki yang tidak beruntung itu. Netra legamku menatap lamat-lamat tubuh yang sudah pucat terkena dinginnya malam, di wajahnya terlihat banyak lebam, terdapat sebuah belati yang menancap di dadanya. Tetesan air hujan tidak dapat menghilangkan darah yang terus mengucur dari luka itu, malah membuat genangan air disekitarnya berubah warna menjadi merah pekat karena tercampur dengan darah segar.
"Hidupmu mengenaskan."
Raut kengerian memang tidak pernah menjadi salah satu jenis raut muka yang ku favoritkan, terlebih saat perlahan lenganku bergerak untuk mencabut belati milikku itu, dan berbalik, meninggalkan jasad itu disana. Setidaknya esok jasad itu sudah ditemukan oleh robot pembersih kota, atau paling buruk akan ditemukan anjing liar dan hanya akan tersisa coat yang bersimbah darah untuk nantinya bisa diidentifikasi oleh polisi.
Bisa berdiri bukan berarti aku tidak apa-apa, nyatanya darah terlihat di sudut bibirku, luka menganga juga terlihat di betis, meninggalkan bercak darah di air tergenang. Kuasa ku segera bergerak untuk membuka jaket yang ku pakai, lalu aku merobek t-shirt yang ku gunakan membersihkan belati dengan gagang berwarna perak itu dan menaruhnya kembali ke sarungnya di pinggangku. Bekas sobekan baju itu lalu aku gunakan untuk menutupi luka di betisku. Setelah selesai, aku kembali melangkahkan tungkaiku. Kuasaku mengambil earpiece dari saku jaket, lalu segera memakainya.
"Pengawas terakhir sudah kusingkirkan, selanjutnya?" Komunikasi melalui jalur 3 aku pilih, sebuah jalur komunikasi yang sudah ku desain hingga menjadi jalur komunikasi tersembunyi yang sengaja aku buat untuk keadaan darurat. Untuk beberapa detik, suara hening menguasai rungu, belum ada jawaban dari seberang sana.
'Datang saja ke markas, kita harus berunding tentang sesuatu. Penting.'
Langkah ku yang sudah tergopoh, sontak berhenti. Netra ku langsung menatap kearah layar proyeksi sebesar 2 x 1 meter yang menjadi penunjuk jam bagi pengguna jalan raya. Aku berdecak pelan saat tahu jam berapa ini. Memang sudah dari awal aku lebih suka untuk bekerja secara mandiri.
"Tapi kau tau, 'kan? Kita ini tak punya banyak waktu," Aku terus melanjutkan langkahku hingga kini aku sudah berada di pinggir jalanan utama ibukota, "Kita hanya punya waktu 12 jam lagi!" bentakan itu keluar begitu saja, bagusnya jarum jam sekarang sudah menyentuh waktu tengah malam, takkan ada orang yang protes. Waktu yang sudah menunjukkan waktu tengah malam ditambah dengan angin yang berhembus selagi hujan membuatku merapatkan jaketku.
Sebagian besar orang mungkin sudah terlelap di kasur empuknya, ditemani dengan hangatnya selimut, atau bahkan ditemani dengan lilin aromateraphy dengan varian bunga chamomile yang menjadi favorit hampir seluruh orang di dunia ini. Pertokoan juga sudah banyak yang sudah tutup, hanya supermarket dengan tenaga kerja robot pekerja tipe 2 saja yang masih buka. Lampu jalan-lah yang menemani langkahku malam ini. Menemani diri untuk membelah jalanan ibukota.
'Tapi masalah ini harus kita rundingkan, ini bukanlah masalah sepele yang bias aku atau orang lain putuskan sendiri. Kami butuh pendapatmu, aku janji aku hanya akan mengambil 15 menit dari waktumu.'
"Dan dalam waktu 15 menit juga musuh sudah memasuki Nusantara lewat jalur air."
Tak ada penekanan kata apapun dalam pengucapanku, tapi satu jawaban itu sukses membuat orang di seberang sana terdiam, tapi tidak untuk diriku, aku harus terus melangkahkan kakiku untuk mengambil arah kiri saat sudah di ujung jalan.
"Baiklah, lanjutkan perundingan tanpa-ku, nanti beritahu saja hasilnya, aku akhiri pembicaraan ini."
'Tapi kita juga perlu saranmu! Mala-'/
/PIP/
Sambungan komunikasi itu aku putuskan sepihak. Aku tak mau berdebat lebih lama lagi, yang nantinya hanya membuang waktuku dengan percuma.
Hujan masih terus turun, dan dinginnya malam masih menusuk kulit, aku melanjutkan langkahku, meninggalkan jalanan setapak. Semua orang terlelap, asyik dengan mimpi-mimpi mereka, dan nyaman dengan selimut mereka. Tanpa mereka ketahui, hanya dalam waktu 12 jam, kehidupan mereka berubah.
Ya, berubah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Birai Kristal
Science FictionHalo. Jadi sebagai pembuka, aku hanya akan menyapa kalian. Kalian sudah mau membaca cerita ini, aku sangat berterima kasih. Dan kalian sudah berada di halaman pertama nya. Hore? Hore. Buku ini, atau bisa dibilang cerita ini, adalah ceritaku sendiri...