Perkenalan : Sang Surya

30 3 1
                                    

"Berhenti membuatku terlihat menyedihkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Berhenti membuatku terlihat menyedihkan...."

     Gelas dengan leher tinggi itu masih tersaji diatas meja bar tunggal. Tak ada cairan berwarna merah disana, atau cairan beralkohol yang biasanya mengisi gelas jenis itu, yang ada hanyalah air putih yang sudah tandas setengah. Sang empu gelas itu sudah kehilangan minat untuk menghabiskannya.

     Suasana sepi dan sunyi melingkupi balkon ini. Rembulan sudah ada di singgasananya, menggantikan tugas sang mentari untuk mengawasi bumi. Tak ada awan yang menghalangi sinar keperakan itu, yang ada hanyalah bintang yang saling menyapa.

     "Sepertinya kau menikmati pesta pribadimu, Samudera," Satu sapaan memecah keheningan. "Tak berniat kedalam?"

     Suara alas sepatu pantofel terdengar mendekat, membuat perhatianku terpecah. Aku menengok ke belakang.

     Aku hanya menjawab dengan gelengan kepala dan jari telunjuk yang menunjuk kupingku sendiri. Aku tak suka dengan suara berisik yang ku dengar dari dalam aula itu. Orang yang menjadi lawan bicaraku hanya tertawa kecil.

     "Sudah seharusnya aku tau adik-ku ini tak suka keramaian." Aku hanya bisa mengulas senyum tipis. Sosok ini memang tak sepenuhnya salah.

     Beberapa saat kemudian hanya keheningan yang terdengar di rungu ku. Tak ada dari kami berdua yang mengangkat suara. Seakan membiarkan masing-masing dari kami menikmati suasana malam dari tempat ini.

     "Kumohon, jangan pernah merasa malu dengan dirimu sendiri, Sam," ucap sosok itu memecah keheningan, membuatku terdiam. "Kau bukanlah seorang 'bayangan' seperti yang mereka gunjingkan."

     Senyum samar yang tadinya terulas di bibirku, tergantikan dengan tatapan datarku yang kuarahkan ke depan sana. Aku sama sekali tak berminat untuk membalas ucapan.

     Sosok yang berperawakan lebih tinggi beberapa senti dariku pun tak melanjutkan ucapannya. Bisa dilihat dari ekor mataku bahwa ia sibuk melihat jam yang ada di salah satu LCD yang berada di balkon.

     "Sudah waktunya."

     Selang beberapa saat, suara desing roda terdengar. Suara yang selalu kubenci. Sebuah human-robot pekerja datang.

     "Kolonel, sudah waktunya, anda dipanggil ke dalam."

     Robot itu mengalihkan netra hijaunya kearahku yang berada disamping sang kolonel. Bukan, 'netra' itu hanyalah sebuah replika mata manusia yang terbuat dari ratusan kabel sensorik yang sangat tipis karya para ilmuwan di laboratorium. Netra dengan 'pupil' berwarna hijau terang begitu kontras dengan badan robot itu yang semuanya terbuat dari besi kualitas nomor dua.

     "Begitu juga dengan Sersan Samudera."

     Mendengar namaku disebut, membuatku hanya bisa mengehela nafas. Aku tak pernah suka dengan dengan replika manusia yang penuh akan ribuan kabel didalam tubuh metalik mereka itu. Pun, mereka tidak akan peka. Mereka tidak punya hati.

Birai KristalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang