Perkenalan : Sang Rembulan

58 2 4
                                    

"Disaat langit malam-lah yang menjadi satu-satunya penghiburku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Disaat langit malam-lah yang menjadi satu-satunya penghiburku...."

      Malam ini masih sama seperti malam-malam lainnya. Masih dengan bintang yang saling bergantungan, berdampingan dengan sang rembulan dan juga awan yang selalu berusaha menghias malam yang sudah suram ini.

     "Mereka datang, tuan."

      Suara baritone dari seorang bodyguard yang sedari tadi memang ada di ruangan mengalihkan perhatianku dan juga orang lain yang ada diruangan ini. Ruangan dengan dominasi ornament berwarna merah ini sejenak lengang, suasana aneh mulai terasa disini. Selang beberapa lama, pintu dengan aksen ukiran Jawa itu terbuka, menampilkan sosok yang sudah kami tunggu sejak tadi.

      "Akhirnya kau datang, Tuan Wang," Sambutan dilontarkan oleh sang empu, "Bagaimana perjalanan dari Bangladesh? Menyenangkan?"

      Tak ada tindakan berdiri sebagai tanda menghormati tamu, yang ada hanyalah rasa acuh tak acuh yang masing-masing dari kami perlihatkan. Termasuk diriku.

      "C-cukup menyenangkan." Berbeda dengan sang empu yang terlihat santai, tamu ini terlihat tegang, terlebih saat dua bodyguard lainnya berdiri di belakangnya. Keringat terlihat mulai mengucur di dahinya.

      "Seorang rusa memang seharusnya takut kepada sang singa, itulah hukum rimba." Aku, yang bernotabene satu-satunya kaum hawa disini memilih angkat bicara, membuat semua perhatian terarah padaku. "Terlebih jika sang rusa sudah kenyang makan di rumput tempat tinggal singa, tetapi tetap nekat ingin mendapatkan tempat tinggal itu hanya untuk dirinya sendiri."

      Perkataan itu membuat tamu semakin gemetar, kejadian itu tentu mengundang tawa kecil sang empu.

      "Maafkan anakku ini, Tuan Wang. Ucapannya memang sangat pedas." Ia menepuk pundakku, membuatku menyungingkan senyuman tipis. Anggaplah itu sebagai senyuman rasa bangga yang seharusnya aku rahasiakan, "Tapi berhubung ia sudah berucap, biarkan aku perkenalkan, ia adalah anak bungsuku, dan juga mesin negosiasiku kali ini."

      Ucapan itu terdengar santai, tapi tamu ini tau apa artinya, terlebih saat ayahku menyebutkan kata 'mesin negosiasi'. Ia tahu bahwa kedatangannya kesini memang karena 'suatu' hal.

      "Yaga, persilahkan tamu kita ini untuk duduk," aku sejenak mengalihkan perhatianku kearah berkas dengan map merah diatas meja. "Biarkan aku sendiri yang melakukan hal ini, Mas Bintang yang akan menemani ayah."

     Pria berumur senja itu mengangguk mengerti, seraya dengan pria satu lagi ia berdiri dan meninggalkan ruangan. Menyisakan aku dengan Yaga, bodyguard-ku dan juga sang tamu. Yaga juga sudah mengambil kursi dan mempersilahkan tamu itu untuk duduk.

      "Ayahku sedang dalam kondisi buruk untuk bernegosiasi, kini dia sedang menderita darah tinggi," aku mengambil berkas diatas meja. "Terima kasih padamu, Tuan Wang Lian."

Birai KristalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang