Bab 2

55 9 1
                                    

        Malam itu, malam di penghujung bulan Mei. Andrea. Ya. Sebuah nama yang terlintas dengan mudahnya di benakku. Si tampan dengan senyum indahnya. Ah, malu mengingatnya kembali.
      "Ra, malem ini bintangnya dikit ya." katanya. Ku balas dengan senyuman. Dia menoleh. Menatap mataku.
      "Hmmm, pantesan aja bintangnya dikit, itu pindah di mata kamu." katanya. Andrea tertawa. Aku terkejut, dadaku berdegup. Riuh gemuruh, layaknya ribuan bedug.
     "Hahaha, jangan kaku dong, Ra. Maaf ya udah bikin pipi kamu kayak tomat." Aku masih diam, menyembunyikat raut wajahku.
     "Ra, saya suka mata kamu, bulat. Kayak bola pingpong. Besok, kalo saya tanding pingpong sama Pak RT, boleh pinjam mata kamu yah?" kata Andrea. Itu lebih terdengar seperti psychopath.
       "Ini bukan pingpong." jawabku.
      "Trus apa dong?"
      "Bekel." jawaban singkat yang berhasil membuat Andrea tertawa geli. Aduh, Andrea. Tak sadarkah kamu, senyuman itu bisa membuat orang lain mati tersipu.
      "Asik, nih. Udah jago ngomong sekarang." katanya.
      "Dari dulu juga udah jago ngomong. Kamunya aja yang nggak tau." jawabku.
      "Eemmmmm, masa sih?" kata Andrea, diikuti senggolan manja dari sikutnya.
      "Ih apaan sih." kataku.
      "Eh, iya maaf. Kamu kan nggak suka di sentuh. Maaf ya, Ra." jawabnya.
      "Iya lah, ini kan manusia, bukan hp touchscreen. Main sentuh-sentuh aja."
Andrea menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sementara di dalam hatiku, ada tawa geli melihat tingkah imutnya.
       "Aku ambil minum dulu ya, Ra." kata Andrea. Aku mengangguk. Setelah sekitar 10 menit, Andrea kembali beserta dua cangkir teh dengan asap yang masih mengepul.
       "Nih." Andrea menyodorkan secangkir teh padaku. Kami fokus pada teh masing-masing untuk beberapa saat.
      "Ra, besok kan hari minggu, mau jogging bareng saya nggak?"
       "Tanya bapak dulu." jawabku.
       "Iya deh, nanti aku yang tanya." katanya. Aku diam saja.
       "Ra, udah malem, saya antar pulang ya?" tawar Andrea.
       "Boleh." setelah beberapa saat duduk di depan rumah Andrea, aku berpamitan pada Bundanya. Andrea hanya tinggal dengan bunda dan adiknya. Ayahnya dinas di luar kota, sekitar sebulan sekali beliau pulang. Jarak rumah Andrea dengan rumahku hanya beberapa gang. Kami berjalan beriringan dengan kebisuan. Dinginnya malam membuatku bergidik. Andrea memperhatikan langkah kakiku, berusaha menyamainya. Aku tertawa kecil. Tak lama kemudian, Andrea membuka mulutnya.
      "Ra, saya mau ngomong, boleh?" aku mengangguk.
      "Ra, saya suka sama kamu. Saya nggak berharap kamu jadi pacar saya. Saya cuma ingin kamu tau." Andrea nyengir. Dan aku, tersenyum malu. Aku menyimpan daguku dalam-dalam, seakan menahan bibirku untuk menyatakan hal yang sama. Andrea meletakkan kedua lengannya di belakang, sambil menggoyangkan badannya. Lucu sekali. Hatiku seakan tertawa geli.
        Di akhir perjalanan kami, tanpa terduga tanah bergetar. Ranting-ranting pohon berjatuhan. Rumah-rumah bergoyang ke kanan dan ke kiri. Di ujung jalan, kulihat ayah dan ibuku keluar rumah dengan raut wajah panik. Bergegas ku berlari mendekati mereka. Melewati puluhan warga dengan segala bentuk teriakannya. Andrea terpaku, tak lama kemudian ia berlari menyusulku. Aku terjatuh, menatap pasangan kaki-kaki manusia yang lalu lalang ketakutan. Andrea menggendongku di punggungnya. Ia berlari sekuat tenaga. Setelah sampai, aku langsung memeluk kedua orang tuaku. Kami menangis. Adikku Aima, yang masih berumur 5 tahun pun menangis.
          Dengan nafas yang masih terengah-engah, Andrea berlari menuju rumahnya. Menyusul bunda dan adiknya. Aku berusaha menyelamatkan keluargaku. Beberapa helikopter dikerahkan untuk menyelamatkan para penduduk. Ayah berlari dengan menggandeng tangan ibu kuat-kuat, dan aku berlari mengikutinya. Sedang Aima berada dalam dekapan ibu. Kami mendekati helikopter yang olang-alik akibat tarikan para penduduk yang ingin segera naik. Beruntung ayah bisa segera meraih tangga dan menaikinya. Aku melihat seorang wanita dan anak laki-lakinya di dalam helikopter yang sama dengan kami. Mereka berpelukan, keringat bercucuran di pelipis keduanya. Ibu menangis, memeluk Aima dan bapak. Ia juga mencium keningku.
         Aku melihat keluar jendela, keadaan kotaku benar-benar kacau. Ribuan orang berlari ketakutan, anak-anak menangis kehilangan arah. Ratusan rumah hancur lebur. Helikopter yang tak henti"nya datang menyelamatkan warga terlihat sibuk. Beberapa orang berjalan terseok-seok akibat tertimpa bongkahan bangunan. Warga yang sudah tidak muda lagi, kebingungan mencari keluarganya. Lampu-lampu jalan berjatuhan, menyisakan gelap dan riuhnya malam. Hatiku serasa teriris, tanpa sadar butiran air keluar dari mataku. Saat itu pula, hujan turun dengan derasnya. Seakan mengisyaratkan suasana hatiku. Disaat itu pula aku mengingatnya. Andrea, dimanakah kamu?

NarayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang