Bab 4

44 4 0
                                    

       Dua hari berlalu, bapak masih belum kembali dari tugasnya. Ibu semakin khawatir, Aima masih bersama ibu. Dan aku, mencari bapak kesana-kemari, berharap segera bertemu bapak, atau hanya sekedar mendengar kabarnya. Karena bosan berada di tempat pengungsian, aku memutuskan berkeliling melihat keadaan kota.
     "Dek, mau kemana?" tanya seorang anggota PMI.
     "Mau jalan-jalan kak, bosan." jawabku.
     "Oh yasudah, hati-hati ya." katanya. Aku menangguk. Para petugas dan pengungsi diharapkan untuk berjaga-jaga sejak kemarin sore. Karena gempa susulan mungkin akan datang tiba-tiba. Menurut prediksi, gempa susulan nantinya akan datang disertai badai.
       Ya. Begitulah kotaku. Kota yang hancur dilalap gempa, sekarang hilang tak ber-rupa. Hutan beton yang sebelumnya sering kulihat, sekarang hanya tumpukan sampah bangunan yang tak bernilai. Toko-toko bunga yang menghiasi batas jalan, kini hanya kenangan. Sekolah bertaraf internasional, kini hanya sebuah nama. Semua yang dulu pernah kubanggakan, lenyap dalam hitungan menit.
      Setelah berjalan sekitar 12 menit, aku tiba di sebuah stasiun kereta api bawah tanah. Tampak beberapa petugas sedang mengevakuasi korban. Karena rasa penasaran yang berkecamuk, aku mendekat. Menuruni tangga darurat yang sengaja di bersihkan, agar memudahkan proses evakuasi. Semakin aku mendekat, semakin jelas aku melihat lelaki gagah yang ada di sekitar mereka. Mendominasi pengelihatanku. Aku mengenal bahu itu, batinku. Dan, ya. Dialah bapak. Aku bersyukur karena aku tahu bahwa bapak sedang baik-baik saja. Aku tersenyum ke arahnya, bapak melihatku. Dan ia tersenyum sambil melambaikan tangannya. Saat saat itu, adalah momen yang ingin aku beri formalin agar bisa aku awetkan. Sejuk sekali melihat senyum bapak.
     Setelah beberapa saat, teriakan para petugas membuyarkan lamunanku. Dan prediksi itu benar. Gempa susulan telah datang. Membawa badai bersamanya, seakan siap melalap sisa kota. Seorang pria menarik tanganku, berusaha membawaku berlari melalui tangga darurat. Aku yang kebingungan, terus menerus mencari keberadaan bapak diantara riuhnya petugas.
     "Cepat lari!" kata pria itu.
      "Bapak." kataku.
       Tak lama kemudian, aku melihat bapak. Sedang sibuk menyelamatkan para petugas dan korban, tanpa menghiraukan keselamatannya. Aku berteriak. Air mataku menetes. Tiang-tiang penyangga bangunan retak. Beberapa petugas tertimpa bongkahan bangunan karena tidak sempat menyelamatkan diri. Aku masih dalam genggaman salah satu petugas. Ia masih membawaku berlari, semakin menjauhi bapak. Beberapa menit kemudian, bongkahan bangunan menutup tangga darurat. Kulihat bapak disana, kebingungan mencari jalan keluar. Dengan kuat aku melepas genggaman. Aku berlari sekuat tenaga menuju tangga darurat yang lain, ku lihat bapak pun berlari ke arah yang sama. Dan ternyata, beberapa tangga darurat juga sudah tertutup bongkahan bangunan. Dengan keringat yang mengucur di pelipis, ku tangguhkan diriku untuk menyelamatkan bapak. Di depan sana kulihat tangga dari besi yang sebagian darinya tertutup bongkahan bangunan. Aku berteriak memanggil bapak, mengisyaratkan bapak bahwa masih ada jalan keluar yang bisa dilalui. Bapak berlari sekuat tenaga. Di tengah jalan, bapak mengehentikan langkahnya lalu menoleh ke sisi kanan. Aku kebingungan, tanah berguncang kian cepat. Bapak menggali puing-puing bangunan. Ada seseorang disana! Laki-laki usia 17 tahunan.
        "Nara! Pegang tangan laki-laki ini!" seru bapak. Aku yang masih kebingungan, segera meraih tangan korban yang setengah sadar. Aku mengangkatnya, dibantu dengan dorongan bapak. Setelah korban berhasil naik, segera kugayuh tangan bapak. Belum sampai aku mencapainya, bangunan itu ambruk. Menutupi tangga , dan menimpaku.
         Aku masih mendengar teriakan, tangisan, dan suara reruntuhan. Masih bisa kulihat langit mendung. Benar saja, bangunan itu runtuh seruntuh-runtuhnya. Hanya mata kananku saja yang tidak tertimpa, selebihnya aku merasa seluruh tubuhku lenyap ditelan bongkahan bangunan. Hatiku bergetar, terasa sakit sekali. Kusebut nama bapak dalam hati beberapa kali. Berharap sang pahlawan itu menolongku. Seketika hujan turun, deras. Dan mataku pun berhasil menciptakan hujan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 03, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

NarayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang