Bab 3

44 4 0
                                    

Sekitar 20 menit perjalanan, kami berhenti di sebuah tempat pengungsian yang masih berantakan. Aku, ibu, bapak, Aima, seorang wanita dan anak laki-lakinya turun, dibantu seorang tentara bernama pak Anwar.
"Ayo cepat bantu anggota yang lain! Siapkan obat-obatan dan bahan makanan!" arahan seorang instruktur. Bapak menggandeng tanganku, ibu pun sama. Kami segera mengikuti salah seorang anggota PMI untuk segera bergabung di salah satu tenda.
"Demi keamanan dan keselamatan, kami mohon saudara tetap disini." kata anggota PMI yang ternyata bernama kak Isa setelah kulihat name tag-nya.
"Saya akan membantu." usul bapak. Dibalas anggukan oleh kak Isa. Ibu memegang tangan bapak, wajah ibu terlihat khawatir. Bapak tersenyum menguatkan ibu. Mengisyaratkan bahwa bapak akan baik-baik saja. Keadaan para pengungsi membuat hatiku terasa sakit. Seorang laki-laki dengan kaki yang patah di pojok tenda. Anak bayi yang wajahnya terkena pecahan kaca. Wanita hamil yang menjerit-jerit, dengan darah mengucur di kakinya. Seorang anak laki-laki yang menangis tak henti-hentinya karena terpisah dengan keluarganya. Dan masih banyak lainnya.
Di satu sisi, aku merasa bersyukur karena aku dan keluargaku bisa selamat. Tapi di sisi lain, aku pun merasa luka yang mendalam. Setelah pandanganku menyapu sebagian tempat pengungsian, aku kembali teringat dengan Andrea dan keluarganya. Tak mampu lagi aku membendung air mata yang sedari tadi tertahan. Dalam hati, aku berdoa agar Tuhan menyelamatkan orang-orang yang aku sayangi dan orang-orang yang menyayangiku.
...
Jam menunjukkan pukul 3 pagi. Dan keadaan disana masih berantakan. Helikopter tak henti-hentinya datang membawa para penduduk. Tangisan dan jeritan masih terdengar disana sini. Para anggota PMI berlalu-lalang membawa korban. Suara sirine membuat suasana saat itu semakin mencekam. Tak sedikit pula korban yang tidak tertolong nyawanya. Aima terlelap dalam dekapan ibu.
"Ibu istirahat saja, biar Aima aku yang jaga." kataku.
"Ibu khawatir bapakmu, Ra." jawab ibu.
"Jangan khawatir, bu. Bapak pasti baik-baik saja." kataku. Tak lama kemudian, ibu tertidur dalam posisi duduk bersandar dengan Aima yang masih dalam pelukannya. Aku mencium kening ibu. Sedih rasanya menatap wajah ibu yang sudah tak lagi muda, ada kerutan halus di sudut mata dan bibirnya. Nara sayang sama ibu.

Pagi ini, udara terasa dingin menusuk. Matahari tak menampakkan wujudnya, seakan turut sedih atas kejadian yang menimpa kotaku. Gerimis halus mengguyur tempat pengungsian. Menyisakan kubangan lumpur di sudut-sudut tenda.
"Selamat pagi, kak Isa." sapaku.
"Selamat pagi." balasnya. Kami saling melempar senyum.
"Kamu sudah sarapan?" tanya kak Isa.
"Belum kak." jawabku.
"Ini, silahkan ambil." kata kak Isa sambil menunjuk beberapa nasi bungkus di atas meja.
"Terimakasih ya kak." kataku. Aku mengambil 4 nasi bungkus untuk aku, bapak, Aima, dan ibu. Aku kembali menuju tenda. Sesampainya di tenda, ibu buru-buru menghampiriku.
"Ra, bapakmu kok belum kembali ya? Ibu khawatir." kata ibu.
"Jangan khawatir, bu. Ayo duduk dulu, ini Nara bawakan makanan, pasti ibu lapar kan? Kasian juga Aima." balasku.
"Ra, ibu beneran khawatir ini sama bapakmu, takut kenapa-kenapa."
"Ibu tenang dulu ya, ibu makan dulu, biar Nara yang cari bapak. Ibu tunggu disini ya." jawabku. Segera ku cari bapak, setelah berjalan sekitar 5 tenda, aku melihat bapak yang sedang mengobrol dengan Pak Anwar. Mereka tampak sedih. Aku pun menghampiri mereka.
"Pak." kataku sambil memegang pundak bapak.
"Eh iya, Ra. Sedang apa disini?" tanyanya.
"Bapak dicari ibu, katanya khawatir takut bapak kenapa-kenapa." jawabku. Tak lama kemudian Pak Anwar pamit karena ada tugas yang harus ia selesaikan. Bapak menggandeng tanganku, kami berjalan menuju tenda. Beberapa kali kutatap wajah bapak. Wajah yang letih penuh syarat.
Sesampainya di tenda, bapak segera memeluk ibu.
"Bapak baik-baik saja, bu. Jangan khawatir." kata bapak. Ibu membalasnya dengan senyuman. Setelah itu, kami makan nasi bungkus bersama-sama. Meskipun hanya sebungkus nasi dengan tempe dan oseng kangkung, hari itu adalah hari terhangat menurutku. Meski gerimis halus masih saja jatuh, meski dingin masih saja menusuk, hari itu setidaknya aku masih merasakan kebahagiaan sederhana yang kurasa cukup.

...

Dua jam berlalu, datang seorang lelaki yang tergesa-gesa, lengkap dengan bercak-bercak lumpur di pakaiannya.
"Pak Dani." dengan wajah khawatir, pria itu memanggil bapak. Bapak langsung mengangguk, seakan mengerti maksud dari pria tersebut.
"Bu, bapak pamit dulu ya, ada satu hal yang harus bapak selesaikan." kata bapak.
"Bapak harus kembali lagi ya, pak." jawab ibu.
"Iya bu, bapak akan kembali lagi." balas bapak dengan senyuman tulus. Aima memeluk bapak, aku pun begitu.
"Hati-hati ya pak," kataku. "Nara sayang bapak." lanjutku dengan nada berbisik. Bapak mencium keningku, lalu segera menyusul rekannya. Aku memandang bahu bapak yang semakin lama hilang ditelan kerumunan manusia.
"Bapak itu orang yang kuat, Ra. Ibu tau bapakmu lelah, tapi ia masih memaksa dirinya untuk menolong orang lain." tutur ibu.

NarayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang