Kepedihan di antara kelam

33 0 0
                                    

Senja telah mengukir kejayaannya di ufuk barat. Di antara warna pelangi yang merekah seperempat lingkaran singgasananya terbangun. Rinai hujan di pucuk-pucuk pinus menjadi rahmat bagi semut merah yang lama merindukan air dari langit. Wajah hutan pinus yang berdebu perlahan tersaput tetesan air dari pasukan awan sore itu. Namun, istana senja dengan mahligai mega-meganya tetap menawan tak terkalahkan.

"Tantri! Tantri," dari dalam bilik bambu yang reot samar-samar terdengar seorang wanita kurus yang sudah setengah baya memanggil anak gadisnya.

"Ya, Bu," jawabnya singkat. Lalu gadis kecil berumur enam belas tahun itu melangkah menuju bilik ibunya, "Ada apa Ibu memanggil saya?"

"Duduklah di sini, Nduk." kata wanita setengah baya itu sambil memandang tepian ranjang bambu tempatnya terbaring lemah.

Tantri adalah anak semata wayang bagi bu Diah yang sudah satu tahun ini terbaring lemah karena penyakit jantung. Kemiskinan yang membelenggu kehidupannya memaksanya harus terkurung di dalam bilik bambu itu tanpa dapat berbuat banyak. Untuk menghidupi anak semata wayangnya pun dia sudah tak mampu. Padahal mencari nafkah untuk puterinya itu harusnya sudah menjadi tanggung jawabnya setelah setengah tahun yang lalu pak Rahman suaminya meninggal karena jatuh dari pohon aren saat ia hendak mengambil hasil deresan-nya.

"Nduk, apakah kamu sudah selesai mencari kayu bakar untuk pesanan Pak Karman?"

"Sudah Bu, alhamdulillah masih ada juga persediaan jika nanti ada tetangga yang memesan kayu bakar lagi."

"Terimakasih Nduk, kamu anak yang sangat berbakti. Maafin Ibu, karena Ibu tidak bisa berbuat yang terbaik untuk kehidupanmu. Semoga Allah menempatkanmu di tempat yang mulia di sisiNya karena baktimu pada orang tua." ujar bu Diah sambil meneteskan air matanya.

Gadis kecil itu pun kembali terkenang masa-masa indah saat ayahnya masih hidup, dia leluasa untuk bermain bersama teman-teman sebayanya. Tapi, semua itu kini hanya tinggal sebuah jejak kenangan yang hanya dapat diselipkan dalam hatinya. Saat ini dia dihadapkan dengan kehidupan yang keras, ia harus mencari kayu bakar setiap hari untuk sekedar dapat membeli beras dan ikan asin. Malam harinya dia mesti belajar ngaji pada seorang ustadz di mushola timur atau orang sekitar situ menyebutnya langgar wetan. "Tantri, Tuhan tidak akan memberi cobaan pada hambaNya melainkan Dia sudah memperhitungkan kemampuan hambaNya itu." pesan Kyainya itulah yang selalu menguatkan hatinya untuk menjalani kerasnya hidup dalam kemiskinan. Apalagi di zaman edan ini susah mencari kerja bagi wanita yang hanya tamatan MTs seperti Tantri. Kehidupan yang miskin itu tak membuatnya terpuruk, malah di sela-sela malam dia masih sempat terbangun sekedar untuk bersujud pada Sang Pencipta.

"Bu, jangan pernah berkata itu lagi. Tantri tidak merasa disusahkan oleh Ibu, ya semoga kedepannya kita dapat hidup lebih mapan dari sekarang ini. Bukankah Dia Maha Kaya yang kekayaanNya meliputi seluruhnya?"

"Benar Nak, tak ada satu pun mahluk di bumi ini yang terlewatkan dari menerima rahmat-Nya."

Bilik itu kembali sunyi, ada beberapa tetes air mata di pipi ibu dan anak itu. Kemiskinan telah menyeret mereka dalam kepedihan relung hati. Namun, jauh di dasar jiwa mereka masih tersimpan semangat dalam melewati duri-duri perjuangan untuk mempertahankan hidup. Peluh telah berpadu dengan doa, lelah telah bersatu dengan ikhtiar.

Perlahan malam telah merayapi tanah jawa, gedung-gedung pemerintahan di kota nampak terang dengan aneka macam bohlam. Ruangan tanpa penghuni di malam hari pun tak lepas dari cahaya yang begitu terang, tetapi tidak dalam gubuk kecil itu karena yang ada hanyalah sebuah pelita yang mulai redup kehabisan minyak.

Di dalam langgar pun hanya ada dua buah lampu petromak yang digunakan menerangi ayat-ayat suci Al Qur'an ketika santri-santri itu belajar untuk membacanya. Seorang Kyai yang sudah sepuh tampak membaca ayat-ayat Al Qur'an dengan tenang. Jenggot dan kumisnya yang sudah memutih dengan surban yang dikalungkan seolah berpadu mendukung kearifannya. Suaranya masih nyaring ketika ia mulai membaca ayat-ayat suci tersebut. Makhraj dan tajwidnya juga terdengar fasih, hati akan menjadi bergetar saat melafadzkan firman Allah itu. Pengajian itu di bagi menjadi sembilan kelompok dimana tiap kelompok itu terdiri dari lima sampai tujuh santri yang dipimpin serta diajar langsung oleh santri yang dianggap sudah mumpuni dalam ilmu baca Al Qur'an dan juga ilmu-ilmu lain yang diajarkan oleh sang Kyai. Jadi tampak jelas sekali di dalam surau tersebut meskipun sederhana system organisasinya sudah terlihat jelas.

Bidadari Menara KetujuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang