Surya mulai menepi di penghujung hari. Titik-titik merah mulai merata di hamparan mega-mega senja. Kemegahan cahaya matahari telah jatuh ke dalam hati mengukir waktu. Para petani baru saja menuai padi di sawah mereka, pulang bersama gabah-gabah yang diletakkan di punggung kuda. Kuda memang masih menjadi salah satu kendaraan tradisional yang masih dipertahankan oleh masyarakat setempat meskipun jumlahnya sudah jauh berbeda dengan saat-saat tahun tujuh puluhan. Kehidupan masyarakat yang sebagian makmur dengan hasil persawahan memang merupakan anugerah tersendiri. Namun, di sudut-sudut desa masih ada saja kehidupan yang serba kekurangan. Sawah yang membentang luas nan hijau bagaikan surga dunia yang dapat memenuhi usus-usus pemiliknya. Sawah yang luas itu juga dapat menjadi mimpi-mimpi indah bagi kaum-kaum yang serba kekurangan dalam kesehariannya. Dan beruntunglah bagi mereka yang hatinya selalu penuh dengan syukur meskipun raganya terbelenggu kelaparan.
Malam pun semakin larut dalam cengkraman sepi yang membeku di antara embun-embun bening. Langgar wetan yang beberapa saat lalu ramai digunakan untuk acara doa bersama kini nampak lengang. Hanya ada sebuah lampu kaleng yang menerangi sebagian ruangannya. Di sudut kanan ruangan terlihat samar-samar sebuah lemari berisi mushaf-mushaf dan juga beberapa kitab yang biasa digunakan Kyai Farid untuk mengajar santrinya yang sudah mumpuni. Sedangkan di sudut kiri nampak sosok insan yang tenggelam dalam medan tafakkurnya. Kekosongan jiwa telah berganti pemahaman akan jati diri kehambaan, keegoan diri telah berganti rasa syukur yang mengalir bersama nafas kearifannya. Raganya tetap berada ditempatnya, namun batinnya telah keluar menembus hijab-hijab yang mengotori jiwanya. Dan kini ia tidak memandang lagi pada dirinya, tidak memandang pada alam di sekelilingnya, dan tidak memandang kehidupan yang serba mendua. Jiwanya telah mati dari kepekaan kelima indera. Jiwanya tak terlena lagi dengan pahala dan buaian dosa. Jiwanya tak memandang pada surga dan neraka. Jiwanya tak tenggelam dalam malam yang semakin larut itu, juga kepada terangnya sinar matahari yang akan hadir esok hari. Karena jiwanya telah kembali padaNya, yang selalu besertanya pada awal sampai pada akhirnya.
"Tantri, coba kamu lihat di langgar apa abahmu masih di sana. Malam ini abahmu ada janji sama Haji Saiful. Coba ingatkan jika abahmu lupa." kata Umi sambil melipat pakaian.
"Baik, Umi." Tantri yang mulanya berbaring di kamarnya kini melangkahkan kakinya menuju langgar yang tak berapa jauh dari rumah itu.
Sesampainya di langgar ia tak langsung mendekati abahnya, ia hanya menunggu di belakang abahnya dengan jarak beberapa depa saja. "Pulanglah Nak, sebentar lagi abah juga akan pulang." Ujar Kyai Farid tiba-tiba dan agak mengagetkan Tantri.
"Baiklah Bah, tapi apakah Tantri boleh bertanya sesuatu sama abah?" Dengan agak gugup gadis itu mendekati abahnya.
"Suatu saat engkau akan mengerti anakku. Ketika hatimu sudah terbebas dari keinginan-keinginan dunia yang selalu menipu. Saat batinmu telah terbebas dari buaian perasaan nikmat dan pahit, saat batinmu telah terbebas dari kebahagiaan dan juga kedukaan."
Mendengar jawaban dari pertanyaan yang belum sempat terucap itu, Tantri pun hanya berdiam diri dan berusaha meresapinya dalam hati. Kejadian yang ganjil di luar batas kemampuan manusia biasa dari abahnya membuat dia selalu berfikir. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Jika Dia telah memberikan pemahaman kepada orang yang dipilihNya takkan ada seorang pun yang dapat mengingkarinya termasuk malaikat-malaikatNya. Maha Besar Allah, Guru di atas guru yang ilmuNya meliputi segala ciptaanNya.
Tak berapa lama kemudian, haji Saiful datang mengendarai motor kesayangannya. Kyai Farid yang sudah menunggunya pun menyongsong tamunya itu di depan pintu.
"Assalamualaikum Kyai." sapa haji Saiful sambil mengulurkan tangannya.
"Waalaikum salam warohmatullah, mari masuk. Silahkan duduk." mereka pun duduk saling berhadapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Menara Ketujuh
SpiritüelIslam itu adalah pegangan dan merupakan keadaan, oleh karena itu biarkan mereka tersenyum dengan perjalanan mereka menuju keadaan ini.