Kembali kepada Dzat yang satu

19 1 0
                                    

Sang surya sudah terasa panas menyengat kulit, material bangunan sudah sejak kemarin berdatangan . Telah sejam yang lalu Kyai Farid meletakkan batu pertama pada pembuatan bangunan untuk pondok pesantren itu, sementara Gufron dan Jabir belum muncul sejak pagi tadi. Sepertinya pekerjaan merubah bentuk kubah dengan disesuaikan anggaran yang ada sangat menguras otak, tenaga dan waktunya.

"Tantri, coba tanyakan pada Umi apa makan siang untuk tukang dan yang lainnya sudah siap?" ujar Kyai Farid pada putrinya.

"Baik Abah."

Tantri pun segera berjalan menuju dapur, sejak pagi dia bersama uminya serta jamaah muslimat telah menyiapkan hidangan untuk sarapan orang-orang yang membuat pondasi bangunan. Dengan adanya gotong royong tersebut tak terasa sudah hampir seperempat pondasi yang sudah dikerjakan. Semangat pak Budi yang membara tersebut menjadi teladan bagi umat muslim Dusun Kencana Wungu tersebut. Mereka saling bahu-membahu dengan niatan tulus tanpa pamrih dan keegoisan yang tak beralasan.

"Abah, Umi tadi berpesan agar Abah pulang dulu sebentar." Ujar Tantri dengan wajah yang berseri-seri."Ya sudah kalau begitu kamu bereskan dulu kertas-kertas rincian barang ini. Abah akan menemui Umi." Kyai Farid lalu melangkahkan kakinya untuk pulang. Sesampainya di halaman rumah beliau tertegun melihat dua belas ekor kambing jantan dan betina. Dan seratus ekor ayam kampung yang sudah berada dalam kurungan.

"Umi, darimana ayam dan kambing-kambing ini?" Kyai Farid dengan sedikit keheranan memandang pada isterinya.

"Alhamdulillah Abah, tadi pastor Julius datang kemari dan menyumbangkan semua ini untuk hidangan orang-orang yang membangun pesantren dan masjid katanya." Ujar umi Siti Hajar sambil tersenyum.

"Alhamdulillah ya Robb." Kyai Farid pun mengusapkan kedua tangan ke wajahnya.

Hari itu bertambah lah kebahagiaan warga dusun Kencana Wungu. Kepedulian masyarakat yang begitu besar terhadap pembangunan rumah ibadah dan sarana pendidikan agama tersebut menjadikan sungai-sungai kedamaian mengalir kembali dari batu-batu cadas yang menyelimuti hati. Kokohnya perbedaan sedikit demi sedikit terkikis oleh badai keikhlasan yang memancar dari pemahaman dan hidayah yang diberikan Tuhan semesta alam. Kidung penyerahan diri dan kedamaian senantiasa mengalun merdu di antara hembusan angin yang menerpa wajah-wajah yang gembira tersebut.

Tuhan, betapa besar rahmat-Mu

Sampai-sampai mataku ini silau karena cahaya rahmat itu,

Tak ada satupun mahluk yang luput dari karunia-Mu,

Meski mereka kufur sekalipun kepada-Mu.

Tuhan, Engkau merahmati mahluk-Mu dengan cara yang Engkau tentukan,

Dengan sesuatu yang Engkau halalkan dalam kitab-kitab-Mu,

Dan juga dengan yang Engkau haramkan darinya.

Tuhan, aku memahami sedalam yang Engkau ajarkan,

Tak ada yang sia-sia dari segala rencana-Mu,

Tak ada yang hina dari segala ciptaan-Mu,

Kecuali perbandingannya adalah Engkau,

Duhai Dzat yang Maha Suci dan tak tertandingi.

Tuhan, aku tau seluruh isi bumi dan langit tunduk pada-Mu

Termasuk ulat-ulat yang Engkau rahmati dari bangkai-bangkai

pasti berserah diri pada-Mu,

entah dengan terpaksa atau dengan ikhlas,

karena ku mengerti, tak bergerak sesuatupun di semesta alam ini

Bidadari Menara KetujuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang