Bab 1

13 2 0
                                    

Di suatu pagi yang cerah, Hillary sedang membantu Elizabeth, kakaknya, yang sedang mencuci piring di dapur.

"Kakak, aku ingin memiliki piano baru.." ujar Hillary sambil menarik baju kakaknya.

"Apa? Piano ibu kan ada." jawab Elizabeth tanpa memandang Hillary.

"Piano itu terlalu tua untukku.." kata Hillary sambil menunduk dan memainkan kukunya. Elizabeth tidak menjawab pernyataan Hillary yang terakhir.

"Apakah ayah akan membawakan kita oleh-oleh yang mewah?" tanya Hillary basa-basi.

Elizabeth menyerngit, "Asal kau tahu, ayah melakukan perdagangan ke kota seberang karena dagangan di kota ini tidak laku. Apa kau tidak terpikir bila di sana bisa saja tambah tidak laku?"

"Kalau laku?"

"Itu urusanmu.." jawab Elizabeth singkat. Hillary berlari ke taman rumahnya, di sana ada Bibi Heny.

"Bibi Heny!!" sapa Hillary penuh keceriaan.

"Hai!!" jawab Bibi Heny.

"Ayo kita ke makam ibu." ajak Hillary sambil menarik tangan Bibi Heny. Bibi Heny melihat mobil tua milik adik iparnya, ayah Hillary, tiba di depan gerbang.

"Lihat siapa di sana, Hillary!" ujar Bibi Heny pada Hillary sambil menunjuk ayahnya.

"AYAH!!!" teriak Hillary gembira, membuat Elizabeth keluar dari dalam rumah.

"Tapi, ayah bilang ayah akan pulang 5 hari lagi.." kata Elizabeth sambil memeluk ayahnya.

"Dagangan ayah laris sekali, dan sekarang sudah habis. Makanya ayah pulang. Nanti siang, ayo kita ke makam ibu!" ajak ayahnya. Tiba-tiba, raut wajah Bibi Heny terlihat tidak nyaman. Hanya Hillary yang sadar dengan hal itu.

"Ada apa, Bibi?" tanya Hillary kepada Bibi Heny.

"Sepertinya kita tidak perlu mengunjungi makam ibumu kali ini." jawab Bibi Hillary dengan senyuman yang palsu. Hillary mengangkat alisnya dan bertanya, "Memangnya kenapa? Sepertinya tidak ada yang salah dengan kali ini.."

"Apa ada yang perlu dibicarakan, Kakak?" tanya ayah Hillary dengan wajah tak yakin.

"Haha... Tidak ada apa-apa. Semuanya baik-baik saja..." ujar Bibi Heny dan langsung masuk ke dalam rumah. Hillary, Elizabeth, dan ayahnya hanya melihatinya dengan heran.

"Ayah, apakah ayah membawakan oleh-oleh untuk kami?" tanya Hillary malu-malu.
Wajah ayahnya menjadi sedih, "Jangan bilang kamu merindukan oleh-oleh, bukan ayah!"

Hillary menjawab, "Ayah, aku tidak sedang bercanda. Hanya saja, aku menginginkan...."

"Biola!" jawab ayahnya semangat. "Ayah membawa biola untuk kalian!" lanjut ayahnya sambil berjalan menuju mobil tuanya untuk mengambilkan biola untuk mereka.

Hillary mulai cemberut, "Ayah!! Aku tidak bilang ingin biola!" ayah Hillary langsung membatu, "Ta..tapi biola itu menyenangkan. Kalau saja kau latihan dan memainkannya di..."

"Aku ingin piano.." ujar Hillary dengan suara kecil, malu-malu. Ayah Hillary heran, "Kau bisa memainkan piano milik ibumu, kan?"

"Hanya saja..., piano itu terlalu tua untukku, bukan?" tanya Hillary untuk meyakinkan. Elizabeth megambil biola dari tangan ayahnya, "Terima kasih, ayah. Lagi pula, ibu tidak akan melarangmu menggunakannya, bukan?"

"Ayah senang sekali kamu mau belajar piano, seperti kamu akan meneruskan ibumu." kata ayah Hillary, "Tapi tidak dengan menggantikan posisi ibumu. Piano tua itu seperti kehadiran ibu sendiri. Walaupun tidak di sentuh."

"Kita bisa menambah piano tanpa membuangnya, kan?" Hillary kembali memastikan. Ayahnya tak bisa marah, "Bagaimana perasaanmu bila ayah mengadopsi anak untuk menggantikanmu dan mengabaikanmu?"

"Sangat menyedihkan." ayah Hillary tersenyum, "begitu juga dengan ibumu. Ayo kita masuk ke dalam."

Hillary dan ayahnya masuk ke dalam rumah. Dari kejauhan, seseorang mengintip rumah mereka. Tak tahu apa rencananya.

Di dalam, Bibi Heny sedang memasak sup labu kesukaan Hillary dan ibunya.

"Kakak mengingatkanku pada Ella saja." ujar ayah Hillary sambil tersenyum.

"Mungkin Ella akan hadir di sini dengan sup labu yang kubuat dengan penuh cinta." canda Bini Heny membuat seisi rumah terasa hangat.

"Tapi, kenapa ibu meninggal?" tanya Hillary tiba-tiba membuat seluruh isi rumah hening. Tak ada satupun yang menjawab pertanyaan Hillary. Namun, Hillary malah merasa diabaikan, "Aku bertanya.." suara Hillary mengecil.

"Ibumu meninggal di tempat lain, bukan di sekitar kita." jawab ayahnya datar.

"Lalu, apa isi kuburan ibu?" lanjut Hillary.

"Hanya dibuat untuk melayat ibu. Tak berisi.." sahut Elizabeth. Hillary menyerngit, "Kenapa kalian tidak memberi tahu aku sama sekali?" tak ada satupun yang menjawab Hillary.

"Aku ingin memulai hidup yang baru. Kalian tahu maksudku, kan?" tanya ayah Hillary. Bibi Heny tersenyum lebar, "Kita sudah memulai yang baru, kan? Kita sudah bahagia!" Bibi Heny tertawa lebar.

"Aku akan menikah." tegas ayah Hillary sambil menegakkan tubuhnya. Bibi Heny membatu, "Me.., menikah? Dengan siapa?" tanya Bibi Heny kaget.

"Marina. Dia adalah wanita dari keluarga baik. Tapi, aku tidak akan melupakan kalian dan Ella. Hanya saja.., tidak enak bila aku terus menjadi duda seperti ini." penjelasan ayah Hillary. Hillary langsung berlari ke kamarnya tanpa menghabiskan makanannya.

"HILLARY!!" teriak ayahnya. Elizabeth berdiri dari meja makan, "Ayah memang salah."

"Kau selalu mengambil keputusan seorang diri, Peter." lanjut Bibi Heny dan berjalan meninggalkan ayah Hillary.

"Ini demi kita, keluarga!" sahut ayah Hillary. Bibi Heny menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah ayah Hillary, "Demi dirimu, tepatnya.."

Ayah Hillary ditinggal seorang diri di ruang makan. Ia mencoba mengoreksi diri, sekaligus emosi.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 10, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

HillaryWhere stories live. Discover now