Maret 2014,
Mencari Alterio diantara ratusan lautan manusia seharusnya bukan menjadi hal yang sulit. Mengingat tubuhnya yang menjulang tinggi dan fashionnya yang terkesan nyentrik. Jaket kulit hitam pudar diatas kaus oblong putih dengan jutaan lubang terbakar percikan api rokok, celana jins yang robeknya tidak wajar dan sepatu kets merah marun yang entah kenapa talinya tidak pernah diikat. Ditambah tindik-tindik yang menghiasi kedua telinganya. Dia akan sangat menarik perhatian diantara manusia-manusia berjas dan berdasi. Namun, sudah 15 menit Adibrata kakak Alterio, mondar-mandir didepan toko roti tempat janjian mereka, mencarinya. Padahal sebelumnya dia mendapat pesan bahwa Alterio sudah sampai dan menunggunya.
"Gila nih bocah." Gumam Adibrata sembari melirik jam tangannya. "10 menit nggak muncul tu kepala, gue tinggal." Gumamnya kembali. Dia kembali berjalan disekitaran toko roti itu. Mencoba menyelipkan tubuh kurusnya diantara kerumunan yang ada. Dia baru saja ingin menaiki bangku yang biasa ada di pinggir trotoar, saat dia melihat sekelebat rambut hitam berjambul sedang berjongkok ditengah-tengah trotoar yang penuh akan manusia. "Ini bocah gila beneran." Gerutu Adibrata sambil berjalan menuju pria tersebut.
"Heh bocah." Kata Adibrata dingin dengan tangan menyilang didepan dada saat dia sampai didepan pria yang berjongkok tersebut. Pria dengan jaket itu mendongak dan menaikkan satu alisnya kearahnya. "Eh brat." Katanya sambil berdiri dan berjalan melewati Adibrata. Adibrata membuka dan menutup mulutnya kembali dengan wajah gelagapan saat dia dilewati begitu saja. Buru-buru dia mengekor dibelakang pria jangkung tersebut. "Don't 'eh brat' me." Gerutunya setelah dia berhasil menyamai jalannya dengan pria tersebut. "Ok." Hanyalah satu-satunya jawaban yang dia dapatkan. Dia hanya mengelus dadanya dan kembali mengikuti pria itu yang kini masuk kedalam toko roti.
Mereka duduk di dekat jendela dibagian belakang toko roti yang merangkap cafe tersebut.
"Gue pesenin lava cake es krimnya strawberry sama iced americano tapi esnya dikit aja. Eh sama tisu. Yang banyak ya tisunya." Kata pria tersebut tanpa mendongak sedikitpun. "Untung masih sedarah, kalo nggak udah dari dulu gue buang lo Al." Kata Adibrata yang berjalan menuju kasir. Sedangkan pria tersebut; Alterio, hanya mendengus.
Beberapa menit kemudian, Adibrata kembali dengan nampan berisi minuman pesanan mereka. Dia menaruh nampan itu diatas meja dan duduk dihadapan Alterio. Dia memberikan iced americano tersebut kepadanya. "Nih minum. Lava cakenya nunggu 10 menit. Terus nih tisu." Kata Adibrata yang kemudian memberikan sekotak tisu dihadapan Alterio. "Buat apa sih tisu banyak-banyak?" dia bertanya, tetapi Alterio tak menjawabnya.
"Makasih." Alterio berkata sebelum menarik mungkin 10 lembar tisu dan meletakannya diatas meja secara menumpuk sedangkan Adibrata hanya memperhatikannya dengan bingung. Lalu Alterio menarik tangannya dari bawah meja dan menaruh seonggok daging merah muda diatas tisu yang sudah ditumpuknya.
"Apaan tuh Al?!" Teriak Adibrata yang menjauhkan badannya dari meja. Untung saja cafe tersebut sedang sepi, hanya ada seorang pelanggan lain dan si penjaga kasir yang terkaget mendengar teriakan Adibrata. "Berisik." Kata Alterio yang kemudian membungkus daging itu secara hati-hati dengan tisu. "Tadi nunggu lama. Mampir minimarket beli rokok. Pas mau balik liat merah-merah ditengah jalan. Gue deketin ternyata anak burung. Untuk nggak keinjek. Nggak tahu ceritanya bisa ditengah jalan gitu. Jatuh kali ya." Jelas Alterio sambil menyeruput minumannya. "Bilang dari tadi. Terus mau lo apain itu anak burung?" tanya Adibrata yang hanya dijawab dengan kedikan bahu oleh Alterio. "Mau cari sarang burung dipohon deket-deket sini. Kalo nggak ada gue bawa pulang." Jawab Alterio pada akhirnya.
"Serah deh. Jadi ngapain ngajak ketemuan? Tadi gue dah mau pulang jadi gagal kan." Kata Adibrata yang sekarang menyantap cheesecake pesanannya yang baru saja datang. Alterio hanya diam dan tidak menjawab pertanyaan kakaknya. Adibrata mengernyitkan dahinya dan memandang Alterio dengan tajam. "Pasti ada masalah. Cepet cerita." Adibrata menyandarkan punggungnya pada kursi. Alterio mendecih. "Ck. Nggak ada. Cuma mau tanya keadaan mama aja. Belum sempet pulang kerumah. Tugas kuliah numpuk." Alterio menhabiskan sisa lava cakenya. "Baik sih. Tiap hari masih nanyain lo mulu. Minggu pulang napa." Alterio hanya memutar bola matanya dan beranjak berdiri dari tempat duduknya.
Adibrata menelengkan kepalanya "Mau kemana?" tanyanya. "Ngrokok sekalian cari sarang burung nih piyik." Jawab Alterio yang menyodorkan anak burung yang dibungkus tisu tadi kepada Adibrata yang secara refleks menjauhkan tubuhnya. Alterio tersenyum miring dan hendak berjalan saat lonceng yang terpasang dipintu toko roti itu berbunyi. Pintu itu terbuka dan menampakan seorang perempuan dengan rambut hitam sebahu mengenakkan blouse biru muda yang pas dibadannya, dipadukan dengan celana jins warna hitam dan tas tenteng abu-abu. Dia berjalan sambil tertawa. Matanya menyipit membentuk bulan sabit dan bibirnya yang bergincu merah tersenyum menampilkan deretan gigi-giginya yang putih. Tawanya halus dan ringan. Seperti buih-buih ombak yang pecah saat menghantam pantai dan menyapu kakimu dengan lembut
Untuk bilang Alterio terpesona itu salah. Dia benar-benar terpana. Pupil matanya melebar membuat coklatnya semakin kentara. Dan jantungnya bekerja dua kali lebih cepat dari biasanya. Butuh sedikit kesadaran di otaknya untuk tidak meremas anak burung di genggamannya. Hanya 4 detik yang dibutuhkan perempuan itu untuk menaklukkan Alterio.
Adibrata terlihat bingung saat menyaksikan adiknya yang tiba-tiba berhenti dengan ekspresi wajah yang tidak bisa dibaca.
"Nggak jadi ngrokoknya?" dia bertanya.
"Brat.."
"Apaan?" desis Adibrata.
"Kayaknya gue baru aja jatuh cinta."
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Halo! jd kemarin ceritanya aku hapus ya soalnya ada beberapa bagian yang aku edit. anyway yang ini udah bener kok. terimakasih sudah membaca! jangan lupa comment dan upvote ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
3 Derajat Kebebasan
Fiksi RemajaTiga hati dapat bergerak secara bebas ke tiga arah dalam suatu ruang. Suatu angka minimum yang dapat menentukan koordinat posisi hati itu seharusnya berada. Akan tetapi, hati manusia pasti pernah salah. Sebebas-bebasnya hati itu dapat bergerak, ti...