dua

74 6 2
                                    

Ini dia. Inilah perasaan tidak enak yang mengganjal hatinya selama hari ini.

Mata Glenn semakin membuyar terhadap jalanan yang sedang ia perhatikan karena air mata yang terus keluar dari dalam matanya.

Ia mengusapnya dengan kasar memakai tangan kanannya sehingga ia menyetir hanya menggunakan tangan kiri.

Ia hanya ingin cepat melihat pacarnya yang ada di rumah sakit itu.

Gwen masih bisa terselamatkan, lain lagi dengan Pak Asep yang tewas seketika setelah kejadian itu.

Glenn langsung meninggalkan mobilnya di tempat valet dan melempar kunci mobilnya pada orang yang melayani pelayanan valet tersebut, merasa akan terlalu lama jika ia harus mencari parkir sendiri.

"Permisi, saya mau bertemu dengan pasien bernama Gwendolyn Wicaksono." Glenn berkata dengan cepat pada resepsionis di rumah sakit tersebut sambil sesekali terisak.

"Lantai 5, Ruang Anggrek nomor 18." Wanita resepsionis itu berkata dengan sopan juga senyuman.

"Terima kasih."

Ia langsung melesat ke lift dan memasukki lift yang padat itu.

Melihat ada juga yang ke lantai yang sama dengannya, ia tidak perlu menekan tombol lantai di lift.

Bisakah lift ini bergerak lebih cepat? Bahkan kukang bisa berjalan lebih cepat daripada kecepatan lift ini. Glenn membatin dengan kesal sambil menggoyang-goyangkan badannya tidak sabaran.

Ting!

Mereka tiba di lantai 5.

Glenn langsung menyeruduk keluar sambil bergumam "permisi" kepada semua orang yang ia seruduk.

Ia memindai floor plan yang ada di tembok depan lift tadi, mencari Ruang Anggrek.

Saat menemukannya, ia langsung berlari kesana dan memindai nomor kamar.

15, 16, 17, 18!

Ia ingin langsung saja masuk tapi ia mengetuk pintu dahulu, berusaha untuk sopan.

Tidak ada yang menjawab.

Saat ia ingin mengetuk lagi, ia mendengar percakapan dari dalam.

Nggak boleh nguping, woy! Dosa. Dosa lu udah seberat Patung Liberty, masih mau ditambahin lagi? Masuk neraka mampus lu.

Tapi bagian ingin tahu dalam dirinya mengambil alih dan ia akhirnya menguping percakapan orang yang ada di dalam.

Persetan dengan dosa. Aku perlu tahu apa yang mereka bicarakan.

Ia menekankan telinganya pada daun pintu agar bisa mendengar lebih jelas.

"Apa maksud Anda anak saya mengalami amnesia sebagian?" Seorang perempuan menanyakan kepada lawan bicaranya dengan murka.

Suaranya mirip ibu Gwen. Glenn mengerutkan dahinya.

Atau mungkin...

Lawan bicaranya menghela napas.

"Maaf, bu. Kami telah mencoba semua yang kami bisa. Ingatannya tidak bisa pulih. Jika anak ibu beruntung, lambat laun ia akan mengingat semuanya lagi, tapi kemungkinannya sangat kecil." Lawan bicaranya berkata.

Mungkin seorang dokter.

Tunggu sebentar. Mata Glenn mebelalak. Kalau itu seorang dokter dan yang tadi bicara adalah ibu Gwen berarti...

Lutut Glenn seketika melemah. Ia tidak bisa lagi menguping percakapan di dalam. Yang dapat ia dengar hanyalah samar-samar teriakan ibu Gwen.

Apakah dia akan mengingatku saat sadar nanti?

Glenn tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Ia mengetuk pintu agak keras agar dapat terdengar oleh kedua orang di dalam.

Selang beberapa lama, sang dokter keluar meninggalkan ruangan tersebut diantar ibu Gwen.

Air muka ibu Gwen langsung berubah menjadi kaget melihat pacar anaknya berada dihadapannya sekarang, "Loh, Glenn?"

Wajah ibu Gwen polos tanpa make-up. Tidak biasanya beliau terlihat acak-acakan seperti ini.

"Hai, tante." Glenn memberi senyum yang agak dipaksakan. Bukan karena ia memiliki hubungan tidak baik dengan orang tua Gwen, hanya saja, suasana sekarang sedang kurang mendukung untuknya untuk tersenyum manis seperti biasanya.

"K-kamu ngapain ke sini?" Ibu Gwen memaksakan tertawa yang terdengar garing.

"Gwen beneran..." Glenn merasa tidak sanggup melanjutkan kalimatnya itu, tapi ia harus melanjutkannya untuk mengkonfirmasi hal tersebut, "a-amnesia, tante?"

"Dia-" ibu Gwen berhenti sejenak lalu tak lama kemudian, ia langsung menangis dengan kencang.

"Iya, Glenn. Dia amnesia sebagian dan kemungkinan tidak akan pulih. Tante bahkan tidak tahu apakah dia mengingat tante, atau Om Herman, atau kamu." Ia lanjut menangis.

Tak sadar, pipi Glenn tiba-tiba terasa basah lagi.

Ia terus mengusapnya dengan kasar tapi pipinya seperti menolak untuk kering dan air matanya turun terus, menolak untuk berhenti.

Sialan kau air mata.

"Aku," ia terisak lagi, "boleh masuk, tante?"

"Oh, iya maaf, iya gak apa-apa, kamu masuk aja. Mau tante tinggal dulu berdua?" Beliau terisak dengan kencang.

"Gak apa-apa, tante?"

Ia tersenyum hangat, "Iya kok, gak apa-apa. Tante percaya sama kamu."

Glenn membalas tersenyum sedikit lalu ibu Gwen menepuk bahu Glenn sebagai penyemangat sekaligus penguatan diri untuk Glenn dan menutup pintu kamar saat pacar anak bungsunya itu sudah di dalam.

Glenn menarik napas panjang sebelum mendekati ranjang pacarnya tersebut.

Ia duduk di kursi yang sudah ada di sebelah ranjang rumah sakit itu.

Ia tersenyum sedih sambil mengusap lingkaran-lingkaran kecil di punggung tangan Gwen yang terasa dingin.

Ia ingin bicara kepada Gwen tapi ia sendiri bingung ingin berkata apa.

Akhirnya mereka hanya diam dalam keheningan yang nyaman sekaligus mencekam.

Suara napas Gwen lewat selang oksigen terkalahkan oleh bunyi mesin pendeteksi jantung yang terus menerus berbunyi disamping kepala Gwen.

Bau antiseptik khas rumah sakit terus menerus menyerang penciuman Glenn.

Ia merasa ingin marah. Tapi entah kepada siapa ia harus melampiaskan amarahnya itu. Ia juga bingung, atas alasan apa dia ingin marah?

Ia hanya bingung mengapa semua perempuan yang dicintainya harus selalu mengalami amnesia?

Ia lelah menghadapi penyakit ini.

Ia lelah harus membantu mereka ingat orang-orang disekitar mereka lagi.

Ia lelah harus selalu mengingatkan orang tentang dirinya.

Ia lelah mengingat-ingat kejadian 3 tahun lalu.

Gwen & Glenn [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang