Chapter 02 : Seperti Rumput Liar

19 2 1
                                    

Sudah lebih satu bulan semenjak lelaki tua itu meninggal dunia. Ketiga anak lelaki itu, kini hidup luntang lantung di tengah kota. Rumah yang di tempati mereka dulu, telah diambil alih oleh pihak kerajaan dalam membangun pos penjaga batas wilayah.

Mereka tak lepas dari hinaan para penduduk kota. Bahkan terkadang barang mereka di curi oleh pencuri yang sudah lama beroperasi di kota. Hal ini memancing Dian untuk hidup sebagai pencuri. Namun hal ini ditentang oleh Negai dan Ernest. Setelah waktu berlalu, Dian yang sempat menjadi pencuri, kini telah beralih profesi.

Kini Negai dan Ernest hidup dengan menjual sapu lidi yang mereka buat sendiri. Dengan bekal dari hutan yang dibawa Dian. Dalam sehari mereka bisa menjual 3 sampai 6 ikat sapu. Dengan penghasilan seperti itu, setidaknya mereka bisa makan 2 kali sehari.

Saat malam, mereka bertiga suka mengendap ke teras rumah orang kaya. Dengan mengandalkan selimut bekas, mereka tidur dengan penuh kekhawatiran akan esok hari. Akankah esok mereka akan kelaparan? Ataukah esok dagangan mereka tidak akan laku? Berbagai kekhawatiran itu melintasi pikiran Negai.

Dian mencubit pipi Negai.

"Tidak perlu merenung seperti itu, Negai. Besok pasti baik baik saja. Ya kan Ernest?"

Ucapan Dian itu menimbulkan senyuman di wajah Negai dan Ernest.

Keesokan harinya, ketiga anak itu bangun kesiangan. Alhasil, pemilik rumah yang mengetahui kalau ada gelandangan yang tidur di terasnya tanpa izin. Dengan sekuat tenaga ia menendangan tubuh ketiga anak itu. Dian yang bereaksi cepat berusaha melindungi keduanya.

"Cepat pergi Negai! Bawa barang barang kita!"

Secepat apapun seoranng anak bergerak. Tak akan lebih cepat dibandingkan orang dewasa.

Barang barang mereka dirusak oleh para pelayan dari pemilik rumah. Mereka bertiga terkepung dan tak bisa lari lagi. Barang barang yang telah dirusak itu, dilemparkan ke wajah Negai.

"Kalian! Dasar tikus got! Kalian tidak tahu betapa capeknya aku harus membersihkan teras rumah ini! Sekarang pergi kalian! Sekali lagi kalian tidur tanpa izin di sini, kalian akan aku masukkan ke penjara!"

"Kalau begitu kami minta izin untuk tidur di sini!" Negai balas berteriak.

"Begitu cara kalian minta izin hah?! Emangnya apa keuntunganku membiarkan kalian tidur di teras ku? Malah membuatku sakit mata!" Ucap pemilik rumah itu.

Dian tak pernah melihat Negai begitu marah. Ernest saat itu malah sangat ketakutan, Namun ia terus mengajak Negai untuk cepat pergi dari rumah itu. Dengan perasaan yang hancur, ketiganya pergi. Ini bukan yang pertama kalinya.

Namun kali ini, mereka tidak bisa berjualan lagi. Barang dagangan mereka telah rusak. Kapak yang merupakan peninggalan dari lelaki tua itu juga telah rusak. Dengan perut yang kosong, langkah mereka linglung. Cuaca yang dingin tak menentu itu, membuat mereka semakin lemah.

"Kita istirahat di sana saja dulu" Negai menunjuk ke arah dinding sebuah bangunan.

Ketiga anak itu perlahan menyandarkan badan mereka. Suara perut mereka saling menyahut satu sama lain. Tiba tiba saja Ernest menangis. Pelan namun begitu syahdu.

"Daripada menangis, lebih baik kita tidur saja dulu, Ernest."

Ernest kemudian memalingkan wajahnya ke Dian setelah menghapus air matanya.

"Emangnya apa yang akan berubah kalau kita hanya tidur?!"

Ucapan Ernest itu tak mendapatkan balasan. Lalu Ernest pun kembali menyandarkan tubuhnya.

"Kalau begini terus, kita benar benar seperti rumput liar." ucap Ernest.

"Rumput liar, kah? Kenapa seperti itu Ernest?" tanya Dian.

"Kita hidup tapi tidak diperlakukan seperti manusia. Perlakuan yang kita terima lebih seperti rumput liar yang terinjak dengan leluasa oleh manusia. Tidak ada yang peduli pada beberapa rumput liar, kan? Karena rumput liar itu tidak ada nilainya sama sekali. Sama seperti kita." Ernest tersenyum. Namun air matanya mengalir perlahan.

Negai merangkul Ernest dan Dian.

"Kita memang seperti rumput liar. Tidak berharga bagi mereka. Tapi karena kita seperti rumput liar lah, pasti kita akan bertahan hidup dimanapun kita berada." Negai tersenyum.

Senyumannya itu seolah sumber energi positif yang mengisi ulang tenaga Dian dan Ernest. Ya, Dian maupun Ernest sudah menganggap kalau Negai adalah sosok abang sekaligus mentari bagi mereka. Walau mereka tidak pernah mengatakannya secara langsung.

Sejak saat itu, mereka tak mau lagi mengeluh tentang keadaan mereka yang serba susah. Terus dan terus berupaya agar tidar kelaparan. Terus dan terus berupaya agar tidak kedinginan. Terus dan terus berupaya untuk menahan diri agar tidak marah walau di hina dan dicaci oleh para bangsawan. Selama 5 tahun lamanya, mereka terus hidup seperti rumput liar.

Wishes Of KingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang