Note: beda part beda cerita ya
***
Peka? Haha apa itu masih berlaku di dunia ini? Kurasa kata 'peka' itu hanya didapatkan oleh orang orang yang benar benar beruntung.
Entah, sejak kejadian itu aku merasa tidak memiliki harapan lagi. Harapan itu serasa pupus dan hancur begitu saja. Memangnya aku siapa huh? Aku hanyalah seseorang yang berharap lebih kepada suatu hal yang tidak mungkin terjadi.
Seorang bermimpi tinggi tanpa kejelasan tercapai tidaknya semua yang kuinginkan.
Dia, Alfen Pratama. Seseorang yang sudah ku idolakan sejak lama, atau bahkan mungkin sebelum dia terkenal di sekolah sekarang. Aku benci posisiku sekarang. Posisi dimana aku yang awalnya jauh darinya menjadi semakin jauh seolah dunia ini melarang kami bersama.
Aku sendiri masih ingat pertemuan pertama kami. Saat itu aku masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Aku sedang bermain main di sekitaran rumahku dan tiba tiba ia melewatiku dengan sepedanya yang berwarna biru. Dan aku rasa, sejak saat itu adalah awal mula aku mulai menyukainya.
Bukannya aku tidak berusaha mendekat kepadanya. Aku telah berusaha mendekat pada dirinya saat aku baru mengetahui kami bersekolah di sekolah yang sama.
Saat sekolah dasar dulu ia adalah anak yang sangat pendiam sehingga ia tidak terlalu dikenal banyak orang.
Haha, aku jadi mengingat masa masa paling bahagiaku bersamanya dulu. Ketika kelas enam aku satu kelas dengannya, dan mungkin katena memang aku yang ke GRan saja jika aku berjodoh dengannya.
Saat itu kami bisa akrab dengan sendirinya. Bahkan bisa menghabiskan waktu istirahat bersama. Bahkan hal yang sangat kusukai dari masa masa itu adalah, ia selalu menyempatkan waktu untuk mampir ke rumahku ketika ia sedang bersepeda.
Tapi di tahun yang sama juga, aku merasakan hal menyedihkan. Hari itu, tiba tiba Alfen datang dan mengatakan jika ia harus pindah ke kota sebelah. Perasaanku sangatlah sedih saat itu. Namun di hari yang sama juga, ia membuat jantungku berdetak dengan tidak normal.
Hari itu bisa dibilang hari paling menyenangkan sekaligus hari paling menyedihkan bagiku. Karena apa? Karen hari itu juga ia memelukku sebagai salam perpisahannya.
Hal yang paling tidak kusangka adalah, ia kembali ke kota yang sama denganku. Bahkan kami bersekolah di sekolah yang sama saat SMA.
Awalnya kupikir semua akan sama seperti dulu. Namun ternyata khayalan memang tidak akan pernah sesuai dengan kenyataan.
Ia menjadi salah satu siswa populer saat SMA, entah karena alasan apa. Sampai sekarang aku juga tidak tau apakah ia tau aku bersekolah di sekolah yang sama dengannya atu tidak. Atau mungkin dia pura pura tidak tau? Entahlah, aku tidak mau berpikir negatif tentangnya.
.
Huft. Hari Senin, hari yang paling dibenci banyak orang dan tidak terkecuali aku.
Dengan langkah malas aku berjalan menuju kelasku yang berada di lantai tiga. Bayangkan saja gais, aku harus menaiki tangga tangga laknat itu satu persatu. Se.ti.ap ha.ri
Yang benar saja. Bahkan tak jarang beberapa guru lebih memilih belajar di lab karena letaknya ada di laantai dasar. Mungkin mereka sendiri juga malas menaiki tangga.
Tanpa sengaja aku menabrak orang yang aku yakin kalian bisa tebak karena aku rasa ini sudah terlalu mainstream.
Jawabannya adalah, Rea
Kalian tau siapa Rea? Rea itu orang yang sedang dekat dengan Alfen akhir akhir ini. Dan jujur saja jika memandang Rea dari jauh kurasa dia bukan orang baik baik.
"Ck, jalan pake mata dong" tuh kan, aku bilang juga apa.
"Ya maaf dong, orang lagian lo juga yang jalan nggak pake mata" sahutku tak kalah sewot. Jelas saja, siapa yang suka melihat orang yang mereka sukai dekat dengan cewek lain? Aku rasa tidak ada.
Dengan tatapan tajam ia berjalan melaluiku dan akupun hanya menatapnya santai. Memang dia siapa?
Akhirnya aku lebih memilih untuk tetap berjalan ke kelasku dengan santai seolah tidak terjadi apa apa. Ya.. hal itu bisa dibilang terlalu sepele jika terlalu dibesar besarkan.
Tapi lama lama aku merasakan moodku kembali memburuk saat melihat Rea kini telah berjalan beriringan bersama Alfen. Dan lebih parahnya Alfen menggandeng tangan Rea bung, baca dengan baik MENGGANDENG TANGAN REA. Siapa juga yang hatinya tidak panas melihat mereka seperti itu.
Memangnya saat kami dekat waktu SD dulu Alfen tidak peka apa jika aku suka padanya? Tapi kalau dia nggak peka an, berarti dia dong yang ngejar Rea? Ugh ini semua membuat hatuku sakit dan kepalaku pusing melihatnya.
Aku benci saat saat seperti ini, saat saat dimana aku tidak bisa mendapatkan apa yang ku inginkan.
.
Sore ini aku berjalan menyusuri taman yang berada di kompleks perumahanku. Entah apa yang membuat kakiku tergerak untuk berjalan ke sini. Tapi yang jelas aku butuh hal hal seperti ini untuk me-refresh otakku yang sedang kacau akhir akhir ini.
Kenapa seseorang harus merasakan jatuh cinta? Bisakah aku membuang itu semua dari kehidupanku? Itu semua membuatku semakin sakit!
Memiliki perasaan yang sama?
Cinta abadi?
B*llsh*t
Bagiku itu hanyalah sebuah cerita indah dalan dongeng.
Kalau tidak salah aku juga satu sekolah dengan Rea saat SD, tapi sepertinya saat SMP tidak.
A-atau Rea mengikuti Alfen pindah?
Sudalah, itu juga bukan urusanku kan?
Saat aku duduk di salah satu bangku taman, aku merasa ada seseorang yang juga duduk di sampingku. Aku menoleh dan mendapati dia sedang menatapku juga dengan senyumannya. Senyuman yang tidak pernah berubah semenjak terakhir aku menatapnya.
"Hai Drey, long time no see" aku masih diam tak bergeming dan tetap memandangi wajahnya.
"Jangan bengong aja lo, ebtar kesambet tau rasa lo" ucapnya sambik terkekeh dan membuatku terkekeh juga. Ia tidak pernah berubah. Sama seperti Alfen tiga setengah tahun yang lalu.
"Lo SMA masuk mana?" Tanyanya santai yang membuatku melongo tidak percaya.
"Kenapa?" Tanyanya lagi, pasti kali ini karena melihat raut aneh wajahku.
"Gue satu sekolah sama lo, dan lo nggak tau?" Ia pun terkejut mendengar perkataanku.
"Lo kok nggak bikang sih?"
Akupun membalasnya dengan cibiran "lo sih keasikan sana Rea mulu"
"Lo cemburu?" Tanyanya yan entah mengapa kali ini raut wajahnya serius.
"Buat apa gue cemburu" elakku sambil memalingkan wajahku.
"Nggak usah bohong Drey. Dan satu lagi, gue mau minta maaf" mendengar permintaan maafnya itupun aku menoleh ke arahnya.
"Minta maaf buat apa?"
"Harusnya gue lebih gentel waktu itu"
"Harusnya gue nggak nyatain perasaan lo pake surat sialan itu""Surat?" Aku semakin bingung, surat apa yang ia maksud? Kulihat ia menghela nafasnya kasar.
"Gue juga mau minta maaf buat itu"
"Surat itu ternyata nggak pernah sampe ke elo, dan gue baru tau dan sadar ketika hati gue udah milik orang lain"
"Gue minta maaf sekali lagi karena kita cuma bisa sahabatan. Plis janji lo jadi sahabat gue ya" aku mengangguk meskipun dengan ragu karena bagaimana caranya aku bisa memiliki hubungan hanya sebatas sahabat dengan orang yang ku cintai?
"Maaf karena gue nggak pernah peka sama perasan lo ke gue yang gue yakini udah sejak kita habisin waktu waktu kita sama sama dulu. Dan gue bakal inget satu hal"
"Kalo kita pernah mencintai satu sama lain"
End.