Jika kamu memanglah orang yang tepat untuk diriku, kenapa kamu justru menjauh?
Kenapa setelah kau mendekatiku, kau justru menjauh?
Tidak bisakah kita kembali seperti dulu? Menghabiskan waktu bersama dengan penuh canda tawa diantara kita.
Kenapa kamu berubah? Kamu berubah karena kemauanmu, karena diriku, atau karena orang lain?
Bisakah kau peka akan perasaanku yang seakan tidak bisa berpaling lagi kepada siapapun?
Bisaka kau sadar, jika di sini ada seseorang yang selalu menantimu untuk kembali?
***
"Hai, boleh kenalan?" Tanya seorang pria yang tidak kuketahui siapa dirinya yang tiba tiba duduk di bangku kosong yang berada di sampingku. Aku menolehkan kepalaku dan menatap ragu pria yang menjulurkan tangannya padaku itu.
Orang jaman sekarang memang sulit untuk dipercaya bukan? Modus kejahatan bisa dilakukan dengan cara apa saja.
"Hey, siapa nama lo? Tenang gue nggak punya niatan jahat kok, lagipula juga ini masih di lingkungan sekolah" ucap pria itu memecahkan lamunanku. Oh sial, sepertinya dia tau jika aku berprasangka buruk padanya. Mungkin itu masih belum seberapa, karena lebih sialnya saat aku menatap wajahnya, senyumannya itu seakan membuatku jatuh cinta padanya hanya dalam sekali tatap.
"Hey, kok ngelamun lagi?" Tanyanya sembari mengibas ngibaskan telapak tangannya di hadapan wajahku. Setelahnya kurasakan wajahku memanas. Aku pun dengan perlahan mulai menggerakan tanganku menjabat tangannya untuk berkenalan.
Dan di hari itu lah aku dengannya mulai berkenalan dan saling mengenal.
Dia adalah Calvin Adra. Kakak kelasku yang sebenarnya umurnya hanya berbeda beberapa bulan dariku karena dulu ia harus mengulang kembali masa taman kanak kanaknya. Meskipun begitu, aku tetap saja harus memanggilnya dengan sebutan kakak selama di lingkungan sekolah, karena biar bagaimana pun dia tetap seorang kakak kelasku.
"Kak" panggilku dan ia menoleh kepadaku. Seperti biasanya, lengkap dengan senyuman manisnya ia berjalan mendekat ke arahku.
"Nanti sore jalan yuk" ajaknya setelah mensejajarkan wajahnya di hadapanku. Tidak bisa dipungkiri jika ia lebih tinggi dariku meskipun umur kamu hanya berbeda beberapa bulan.
"Jalan? Hmm, boleh deh kayaknya nanti sore jadwalku kosong nggak ada les apa apa" sahutku karena memang seperti itu lah kenyataannya.
"Oke, aku jemput di rumah kamu ya" ucapnya sembari mengelus pelan puncak kepalaku.
"Nggak ngerepotin nih kak?" Tanyaku karena jujur saja aku selalu merasa tidak enak hati padanya yang sering mengantar dan menjemputku baik saat kmi berangkat ke sekolah maupun saat kami pergi berkencan, ah bahkan aku tidak yakin saat saat itu bisa dikatakan berkencan atau sekedar hang out dan menghabiskan waktu bersama.
"Ck, udah deh buang jauh jauh perasaan nggak enak kamu sama aku. Santai aja mah kalo sama aku" sahutnya dan seperti biasanya juga aku hanya mengangguk meskipun sebenarnya hatiku sendiri tidak menyetujuinya.
"Udah mau bel, balik ke kelas sana. See you nanti sore" ucapnya dan melangkah menjauh kembali ke kelasnya setelah diriku telah tidak berada pada batas pandangannya.
Kelas kami memang berada di jalur yang berbeda, dan kami selalu bertemu di taman yang berada teoat di tengah tengah sekokah kami.
Lama kelamaan entah mengapa kami jadi sering pergi bersama bahkan menghabiskan waktu dengannya.
Namun aku bukanlah tipikal orang yang dapat dengan mudah bercanda dengan orang lain meskipun kami sudah cukup dekat.
Aku sendiri adalah tipikal orang 'jaim' yang jika diajak berbicara akan sedikit jutek. Dan sayangnya aku masih belum bisa menghilangkan sifatku yang satu itu.
Semua kebiasaan itu terus berlangsung hingga satu tahun lamanya. Dan sayangnya satu tahun berlalu itu menandakan Calvin yang tentunya akan memilih kampus yang akan menjadi tempat pendidikannya yang selanjutnya.
Ia masih berada di satu kota yang sama denganku. Hanya saja kampusnya memiliki jarak yang cukup jauh dengan sekolahku berada. Dan dirinya sendiri juga sudah cukup lelah dengan urusan dan tugas tugas kampusnya yang menumpuk.
Namhn meskipun seperti itu ia tetap saja sering menghubungiku meskipun hanya sekedar mengirim pesan singkat atau mengucapkan selamat malam.
Namun semua itu akhir akhir ini terasa berubah. Semakin lama ia semakin jarang menghubungiku. Jujur aku sendiri tidak tau kenapa dirinya seperti itu karena seingatku terakhir kali kami bertelefon semua masih baik baik saja.
Aku tidak ingin beropini. Karena aku yakin jika aku beropini di saat saat seperti ini, opini yang ku keluarkan hanyalah opini opini yang mengarah ke prasangka burukku padanya.
Aku bingung aku harus melakukan apa.
Mungkin mudah jika aku harus melupakannya. Namun sayang rasa sayang ini terlalu dalam hingga aku tidak rela meninggalkannya.
Hidupku terasa sepi saat ia mulai tidak pernah membalas pesanku. Rasanya ada suatu hal yang janggal dan kurang saat tidak mendapatinya di sisiku.
.
Hari ini aku harus pergi ke sebuah toko yang jaraknya lumayan jauh dari rumahku sehingga aku harus menggunakan bus umum. Aku harus membeli beberapa peralatan dan bahan yang kubutuhkan untuk tugas akhirku di masa SMA.
Entah perasaanku saja atau memang benar, namun rasanya semua ini begitu cepat. Rasanya baru kemarin aku menduduki bangku kelas dua belas, dan sekarang aku sudah harus mengerjakan tugas akhir saja.
Aku pun mendudukan diriku di salah satu tempat duduk bus yang paling belakang. Kebetulan bus yang ku tumpangi kali ini nampak lenggang, hanya beberapa orang saja yang berada di sini.
Aku pun akhirnya memutuskan untuk mengecek ponselku yang sudah beberapa hari ini tidak kubuka sama sekali karena kesibukan masa masa akhir sekolah menengah ke atas ini.
Mataku membulat seketika ketika melihat sebuah pesan singkat dari sesorang yang sangat tidak ku duga sebelumnya. Ya.. aku yakin kalian bisa menebaknya. Pesan itu berasal dari Calvin.
'Mari kita akhiri hubungan ini. We can not be in the same relationship with each other's different feelings. Harusnya kamu bilang sama aku dari awal kalau kamu memang nggak serius sama aku. I think you should say everything from the beginning rather than hurt me slowly with your indifference.'
Setetes cairan bening pun otomatis keluar dari sudut mataku.
Kini aku berpikir. Entah apakah saat itu adalah hari tersialku karena aku harus tertangkap basah beberapa kali melamun di hadapannya serta hari dimana aku bertemu dengannya. Atau seharusnya bersyukur karena aku dapat bertemu pria seperti dirinya yang mengajarkan padaku jika gengsi bukanlah hal yang baik dalam sebuah hubungan.
Mungkin waktu itu seharusnya aku sadar diri dan mengubah sifatku itu. Atau.. mungkin seharusnya ia sedikit peka akan perasaanku maka semua akan baik baik saja dan tidak berakhir seperti ini.
Namun kurasa tidak ada gunanya menyesal. Semua telah terjadi dan semua hanya menjadi kenangan semata.
Mungkin aku harus benar benar melupakannya, karena saat aku kembali membuka pesan itu aku baru menyadari jika pesan itu terkirim tepat satu hari setelah aku benar benar mengesampingkan ponselku demi mengerjakan tugas tugas yang menumpuk.
Dan sepertinya dari situ aku sadar. Kita memang tidak pernah ditakdirkan bersama. Mungkin hubungan kami hanyalah sebuah pemanis hidup masing masing.
End.
Prestige will only damage a relationship. If you want this relationship to continue, throw away the prestige.