Jong dae menyeruput lattenya. Kemudian menatap wanita yang duduk di depannya itu. "Aku tidak mengerti kenapa setiap kali kamu datang ke seminar, lalu menjadi orang pertama yang bertanya kepadaku sebelum waktu di persilahkan untuk taya jawab. Tapi begitu aku menjelaskan tentang pertanyaanmu itu. Tiba-tiba kamu menghilang begitu saja."
"Aku hanya tidak ingin mendengar kelanjutannya." Balas Soo hee datar.
Kening Jong dae terlipat. Satu menit sebelumnya ia melihat keceriaan di wajah wanita itu. Akan tetapi sekarang kesedihan beberapa hari lalu itu kembali muncul. "Jika tidak ingin mendengar kelanjutannya, kenapa kamu bertanya?"
"Hanya penasaran." Jawab Soo hee.
"Wae?" Tanya Jong dae lebih hati-hati agar wanita di hadapannya itu tidak melarikan diri lagi.
Soo hee memegangi dadanya. Ia menatap Jong dae nanar, "museowo. Aku tidak ingin di katakan gila. Tapi aku merasa, aku benar-benar sudah gila." Di gigit bibir bawahnya pelan. Supaya ia tidak menangis,"aku berusaha untuk menghilangkan, tapi ia tetap datang. Ini begitu menyiksaku. Tiba-tiba aku ingin berteriak, ingin menghancurkan semua benda di sekitarku. Na eottokhae, jeongmal aphayo."
"Eonni!" Seru Somi, sedari tadi ia terus memperhatikan kearah dua orang yang telihat tegang itu. Namun, begitu Soo hee mulai menangis dan berusaha menyakiti dirinya. Sedikit cemas bercampur takut, di hampirinya wanita itu.
"Waegerae eonni?"
Isakan Soo hee semakin membesar. Untung saja cafe sepi. Jadi mereka tidak perlu mencari sebuah alasan mengapa wanita pemilik cafe itu menangis.
Dari tempatnya. Jong dae masih menunggu kelanjutan dari perkataan Soo hee. Sebenarnya ia juga panik ketika wanita itu menangis. Tapi ia tidak ingin menunjukkannya. Dengan alasan agar Soo hee menjelaskan semua masalah yang di deritanya. Itulah pekerjaan seorang psikolog.
"Biarkan saja dia." Ucap Jong dae kepada gadis di samping Soo hee. Gadis itu terlihat begitu khawatir. "Aku akan mengurusnya."
"Tapi..."
Jong dae tersenyum, lalu menarik napas. "dia sedang berusaha menenangkan diri. Jadi biarkan saja dia seperti itu. Ketika sudah merasa baik. Ia akan berhenti."
Walaupun sedikit ragu untuk meninggalkan Soo hee. Akhirnya Somi mengangguk dan kembali pergi menuju tempat kasir.
Ponsel yang ada di saku celananya bergetar. Di lihatnya layar persegi itu, Hana. Ia melupakan temannya. Saat ia meninggalkan wanita itu untuk membeli minuman. Tanpa sengaja ia bertemu dengab Soo hee. "Ada apa?"
"Di mana kamu sekarang?"
"Masih membeli minuman." Balas Jong dae, sekilas ia menatap Soo hee yang sudah berhenti menangis. "Ne, aku akan segera ke sana."
"Mian." Ujar Soo hee sembari menghapus sisa-sisa air matanya. "Aku tidak bermaksud..."
"Kamu tidak gila." Potong Jong dae membuat mata Soo hee terbuka lebar. "Mungkin ada sesuatu yang sedang kamu pikirkan."
"Sesuatu, tapi apa?"
"Itu hanya kamu sendiri yang tahu. Kemarahanmu, rasa sakit yang kamu derita. Semua itu memiliki alasan. Jika kamu mau, aku akan membantu." Tawar Jong dae. Berharap wanita itu mengatakan 'iya'. Namun ia salah. Soo hee diam tak berkata sepatah kata pun. "Kalau kamu sudah memikirkannya, hubungi saja aku." Lanjutnya dengan meletakkan kartu nama di depan Soo hee. Lalu ia bangkit, "aku permisi dulu."
***
Sesampainya di ruang kerjanya. Jong dae membongkar semua buku yang memiliki penjelasan mengenai penyakit Soo hee. Ia tidak yakin dengan perkataannya siang tadi dengan mengatakan semua yang di alami wanita itu memiliki sebuah alasan.
"Apa yang kamu cari?" Tanya Hana, ikut berjongkok di samping Jong dae. Ruangan itu benar-benar telah berubah seperti kapal pecah. Sangat berantakan.
Jong dae menggeram frustasi. "OCD."
"Mwo? Aku tidak melihat ada pasien mengalami gangguan itu hari ini." Ujar Hana, ia pun mulai mencari buku yang di butuhkan Jong dae. "Apa jangan-jangan kamu sedang ingin belajar lagi."
"Memang belum, tapi nanti kamu akan melihatnya. Sudah puluhan orang yang ku tangani. OCD yang di alaminya benar-benar berbeda." Keluh Jong dae.
Kemudian ia bangkit dan mengambil tumpukan buku lagi."Mungkin itu bukan OCD."
Tangan Jong dae berhenti membuka helaian kertas. Ia melirik Hana yang mengedikkan bahu. "Aku juga pernah berpikir seperti itu. Akan tetapi ia pernah mengatakan jika dia merasa kehilangan dan ia juga seperti menahan rasa sakit."
"Wuah." Kagum Hana. "Ini benar-benar sulit. OCD yang ku tangani selalu berkaitan dengan broken home, kesalahan atau kehilangan masa kanak-kanak. Apa jangan-jangan dia depresi."
"Depresi?"
Hana mengangguk,"gejala ini biasanya di sebabkan oleh seseorang di masa lalunya. Bisa di katakan ia kehilangan orang tersebut."
Cukup lama Jong dae menatap wajah Hana. Ia bersyukur bisa mendapatkan seorang teman yang memikili hoby dan keinginan yang sama untuk membantu orang-orang di sekeliling mereka. Apalagi ketika ia merasa putus asa, Hana akan membantunya kembali bangkit."Wae?" Alis Hana terangkat. "Apa kamu mulai menyukaiku?"
Sontak Jong dae tertawa lepas, di capainya puncak kepala Hana. Kemudian mengacak-acak poni wanita itu pelan. "Gomawo sudah membantuku."
"Memangnya siapa yang mengalami gangguan ini?" Tanya Hana ingin tahu. Jong dae melanjutkan pekerjaanya mengacak-acak semua buku di hadapannya itu.
Kemudian Jong dae berkata. "Seorang wanita, dia cantik, terlihat sangat sabar, senyumnya begitu indah. Tapi mata cantiknya di penuhi kesedihan."
Kontan tenggorokan Hana terasa kering. Entah pria itu mengatakan dengan tulus atau tidak. Tapi ia bisa melihat sebuah senyuman panuh makna yang di ciptakan Jong dae.
Apa kamu mulai menyukai seseorang?
Bersambung....
***
Maaf jika ada typo.
Nggak dapet ide buat nih cerita. Tapi aku tetap berusaha untuk membuat ceritanya. Karena menurutku, aku harus tetap menyelesaikannya.
Jangan lupa vote dan commentnya ya!!!
Baca juga cerita ku yang lain. 'Falling in Love'. Siapa tahu kalian suka^^.
Salam manis,
SulisTia
KAMU SEDANG MEMBACA
PROMISE
RomanceMerasa sakit yang luar biasa. Merasa ada sesuatu yang mengganjal. Merasa sulit untuk bernapas. Merasa ada yang hilang. Merasa aku akan gila.