2

36 2 2
                                    

"If you ever find yourself stuck in the middle of the sea
I'll sail the world to find you
If you ever find yourself lost in the dark and you can't see
I'll be the light to guide you
Find out what we're made of
When we are called to help our friends in need". Alunan suara gitar dan suara indah yang dinyanyikan oleh seorang perempuan terdengar di telinga Syafa. Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore. Seharusnya pukul 3 tadi semua anak-anak telah pulang dan yang mengikuti ekstrakulikuler diharuskan untuk pulang jam 4 sore. Syafa mengikuti ekstrakulikuler photography. Syafa baru saja keluar dari ruangan photography dan berjalan di koridor sekolah sambil membawa kamera miliknya. Tak sengaja ia mendengar suara alunan gitar beserta suara nyanyian seorang perempuan. Syafa mengikuti arah suara itu, dan sampailah ia di aula. Di aula, memang terdapat banyak kaca. Sehingga, orang diluar dapat melihat apa yang didalam. Syafa melihatnya dari luar. Ia melihat seorang perempuan sedang memainkan gitar akustik.

"You can count on me like 1, 2, 3
I'll be there
And I know when I need it
I can count on you like 4, 3, 2
And you'll be there
'cause that's what friends are supposed to do oh yeah
ooooooh, oooohhh yeah yeah". Orang itu meletakkan gitar di tempat seharusnya, lalu mengambil buku dan pena dari dalam tasnya. Ia merobek bukunya agar bisa mendapatkan sehelai kertas dan mulai membiarkan pena itu mencoret-coret kertasnya. Dari luar, Syafa memerhatikannya dengan sangat dalam. Ia masih memerhatikan orang itu dengan seksama. Orang itu terus menulis, dan terus menulis di kertasnya. Semakin lama menulis, orang itu malah mengeluarkan air matanya. Semakin lama semakin deras membasahi pipinya.

Syafa segera mengambil foto orang itu yang telah ia ambil tadi. Ya, Syafa memang sempat memotret orang itu saat sedang memainkan gitar. Dengan cepat, Syafa juga mengambil pena dari dalam tasnya dan menuliskan sesuatu dibalik foto itu. Selesai menulis, ia memasukkan foto itu melalui cela dari pintu bagian bawah dan berjalan pergi meninggalkan aula.

Dinka menghapus air matanya yang sudah bergerak bebas membasahi kedua pipinya dan segera keluar dari ruang aula. Ya, yang di ruang aula tadi adalah Dinka. Saat ia membuka pintu, muncul potretan foto dirinya yang sedang bermain gitar. Ia membalikkan kertasnya. "Gue tau kita baru kenal, tapi jangan nangi mulu. Gue gak tega ngeliatnya -Tempe Bacem" bacanya dalam hati. Dinka tertawa membaca tulisan "Tempe Bacem". Setidaknya dia merasa terhibur. Walaupun hanya sementara.

"27 Oktober 2019. Hari yang baru setelah hari yang menyedihkan. I hope today is more perfect than yesterday" ucap Dinka pelan sambil membuka pintu balkon kamarnya. Ia duduk di kursi dan melihat bintang-bintang yang masih bertebaran di langit malam. Dinka mengambil kertas dan pena yang memang selalu ia sediakan di balkon. Ia duduk menghadap ke arah bintang dan bulan berada. Dan ia mulai menuliskan yang ingin ia sampaikan kepada orang orang di sekitarnya tapi tidak berani karna takut tak ada yang percaya dengannya. "Sesungguhnya nanti aku akan menang darimu Avy, yang baik akan slalu menang. Walaupun sekarang aku tak memiliki teman perempuan lagi, aku masih memiliki teman laki-laki ku yang setia kepadaku. Sekarang, kamu sedang menjadi bunga mawar. Selalu disukai karna parasmu yang indah, dan aku sedang menjadi daun yang berada di sekitarmu, hanya bisa pasrah dengan keadaan yang aku lalui. Tapi suatu hari nanti, saat kamu masih menjadi mawar, aku akan jadi bunga edelweiss yang kuat dan disukai dengan semua orang karena hal yang baik. Bukan buruk." Lagi-lagi Dinka membiarkan tiap butir air mata jatuh dipipi indah yang ia miliki. Setelah puas menulis, ia meletakkan penanya dan memasukkan kertas itu ke dalam kotak. Tertulis di depan kotak itu "Curhatan Pia". Pia adalah nama panggilan Dinka dirumah yang diambil dari nama "Fia", tetapi Dinka lebik suka mengganti huruf "F" menjadi "P". Katanya ciri khas orang Indonesia.

"Masih jam setengah 3 pagi gini gue mau ngapain coba" ujarnya kesal. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya di meja yang berbentuk bulat dan dibuat dengan bahan kaca di balkon. Dinka kembali melihat bulan. "Sekarang gue jadi bulan. Nanti gue pasti jadi matahari, tapi gue harus bisa jadi bintang. Gue yakin gue bisa" ucap Dinka sambil tersenyum manis. Dinka membaringkan tubuhnya di sofa balkon kamarnya itu. Beberapa lama kemudian, terdengar alarm berbunyi dari dalam kamar Dinka. Dinka mulai membuka matanya dan melihat matahari sudah hampir muncul. "Astagfirullah gue ketiduran" batin Dinka sambil berlari mematikan alarmnya yang masih berbunyi dan segera mandi.

Di sekolah, Dinka berjalan melewati koridor sekolahnya. Ia mendengarkan lagu rap di earphonenya. Tak sengaja, ia juga menge-rap di koridor. Sesungguhnya Dinka lebih menyukai lagu rap dari pada lagu korea. Ya, Dinka slalu beda diantara cewek-cewek di sekolahnya. Tiba-tiba dari belakang ada yang menepuk pundaknya. "Pagi pagi udah ngerap aja lu" ucap Maulana sambil merangkul pundak Dinka. "Gue tau gue pinter ngerap udah lu gak usah iri mau" Dinka mengucapkan kalimat itu sambil memasang wajah sombongnya. "Tae banteng" Maulana menoyor kepala Dinka dan tertawa. Diikuti dengan tawa Dinka yang juga ikut meledak. Selama perjalanan, Dinka dan Maulana terus bercanda tawa sampai akhirnya Maulana melontarkan satu pertanyaan yang berhasil membuat Dinka skakmat. "Eh Din, temen-temen lu yang cewek itu pada kemana?" Maulana bertanya dengan wajah polosnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 23, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pena dan KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang