Bab 2-Breathe in, Eren. Breathe in

537 46 5
                                    


Kadang, sebuah kejadian bisa terasa begitu cepat. Terlalu cepat malah, sehingga kau bisa berada di suatu tempat tanpa pernah menyadari apa yang kaulakukan hingga bisa berada di tempat itu.

Setidaknya, itulah yang Eren rasakan.

Ia tidak tahu bagaimana dirinya bisa terhipnotis oleh orang yang bahkan namanya baru ia ketahui beberapa waktu yang lalu. Eren bertanya-tanya kenapa racun itu menyebar begitu cepat sampai ke nadi-nadinya.

Eren hanya ingat kalau Levi Ackerman mengampu mata kuliah kalkulus–pelajaran yang berada di deret teratas daftar hitamnya–dan demi apapun ia sama sekali tidak menyadari kalau orang itu adalah orang yang sama dengan sosok yang ditemuinya di DnA.

"Eren Jaeger." Tidak bertanya, hanya menegaskan ulang. "Datang ke kantorku dalam waktu lima menit."

Mungkin karena nilai-nilainya tidak pernah di atas batas kelulusan. Armin menenangkannya, bilang kalau Eren tidak boleh kelewat tegang–yang dengan kurang ajar disahut Connie dengan "mananya yang menegang?"–lalu menganjurkan si sobat lama untuk bicara hanya saat ditanya. Jangan membantah berlebihan, katanya, atau nilai 'F' akan bertengger indah di sudut lembar kerja.

"Hanya antisipasi kalau-kalau dia tipikal dosen yang tidak suka dibantah," kilahnya.

Eren tahu. Hanya dengan melihat sorot mata itu saja ia mengerti kalau Levi Ackerman bukan orang yang bisa diajak bermain-main. Segalanya harus tepat. Sempurna. Salah sedikit saja bisa fatal.

Memilih untuk tidak ambil resiko (baca: mengorbankan teman), Eren memutuskan untuk berjalan sendirian ke kantor Levi. Tidak mudah, sebenarnya. Berkali-kali harus berhenti untuk bertanya–kadang malah dimarahi karena mahasiswa tingkat atas dikira petugas kebersihan–dan terpaksa membelok ke toilet karena kebelet buang air kecil.

Tidak lucu kan kalau tiba-tiba celananya basah lantaran kencing yang tak tersalurkan?

Ia tiba tepat di depan kantor dosen dua menit lebih cepat dari yang diminta. Setelah ragu-ragu selama beberapa saat, ia mengetuk pintu.

"Masuk."

Wajah mendahului kaki. Separuh ketakutan, Eren melongokkan wajah dari celah pintu–mendapati Levi dan Erwin Smith sedang duduk di sofa panjang, berbincang dengan dua cangkir kopi di meja masing-masing.

Eren merasa perlu menginterupsi. "Em, permisi."

Dua pasang mata menoleh. Yang satu tanpa ekspresi, satunya lagi keheranan.

Erwin bertanya, "Ada keperluan dengan siapa?"

"Profesor Ackerman," Eren menjawab lemah. "Maaf."

Levi menyesap kopinya sampai habis, lalu mengecek jam tangan. "Tumben kau tepat waktu."

Semburat merah menjalar di pipi Eren. Bahkan kebiasaannya saja dikenali sedemikian rupa oleh Levi. "Jadi... ada apa?"

Erwin bangkit dari bangkunya. "Kurasa aku harus pergi. Pembicaraan ini kita lanjutkan nanti malam." Ia melenggang pergi, tersenyum ramah pada Eren sebelum menghilang di balik pintu.

Levi tidak menjawab. Fokusnya sudah tertuju pada mahasiswa di hadapan. "Nilaimu parah."

Eren baru menyadari lembar jawaban miliknya di atas meja. Ia menggaruk pipi. "Er, maaf."

"Maaf saja tidak cukup." Kaki dan tangan Levi disilangkan. "Nilaimu itu termasuk yang terburuk di kelas. Kau tidak belajar?"

"Belajar, sir, tapi kalkulus sama sekali bukan bidangku." Eren mengeluh. Ingin menambahkan 'aljabar saja tidak pernah kukuasai sepenuhnya', tapi keburu ingat dengan pesan Armin.

[COMMISSION] SCAR-RivaEreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang