1

18 0 0
                                    

Jangankan menunggu berjam-jam. Untuk menunggu bertahun-tahun lamanya pun aku sanggup...

Kedengarannya menyedihkan tetapi wanita pada hakikatnya harus sabar menunggu. Memang tidak jarang ada wanita yang berani mengutarakan lebih dulu perasaanya kepada lelaki yang dicintai. Namun bagiku lebih baik menunggu daripada kehilangan dia selamanya karena ketidaksabaranku.

"Are you sure ?" Mata Kiki yang sipit itu terbelalak menatapku tajam seakan menegaskan bahwa aku sudah tidak waras.

Aku hanya membisu. Mataku tidak lepas memandang ke arahnya dari lantai 2 Hartono Mall. Melihatnya lalu lalang seperti setrikaan, ingin rasanya aku membantunya, setidaknya sekedar merapikan kostum yang dia kenakan untuk tampil siang itu. Tapi aku yakin walaupun dia anak umi yang manja, tetapi dia sudah terbiasa mandiri. Dia bisa melakukan semuanya sendiri.

Kembali terdengar suara kiki menggumam "kalau aku sih bakal minder dan mundur."

Aku hanya tersenyum. Seharusnya memang begitu. Seharusnya aku tidak berharap banyak untuk memilikinya yang masuk dalam deretan mahasiswa ganteng di universitas terbaik di Indonesia ini.

"Yuk turun."

Kiki hanya diam dan menuruti keinginanku saja.

Aku bersandar di dinding outlet Levi's yang berada tepat di sisi kiri panggung. Dari sini sosoknya terlihat sangat jelas, matanya, hidungnya, mulutnya, dan senyumnya yang menyebalkan itu. Sangat menggemaskan. Aku tidak ingin mengganggunya. Aku hanya ingin melihat sosoknya.

Riuh suara penonton bertepuk tangan setelah melihat penampilan dari kelompok penabuh rapai, merupakan alat musik khas Aceh yang bentuknya mirip rebana. Tetapi tidak denganku. Aku hanya tersenyum dan berlalu sesaat setelah dia dan teman-temannya selesai menabuh rapai sambil mengangkat tangannya ke atas seakan melesat bagaikan roket.

Sesampainya di kamar kosanku yang bernuansa hitam dan merah, aku langsung merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Hari ini sangat melelahkan. Menunggu itu sangat melelahkan.

Tuing... Tuing...

Suara iphoneku terdengar lantang di tengah kesunyian malam. Berat rasanya tangan ini mengambil iphoneku yang kutaruh di atas meja di sebelah tempat tidurku. Aku tahu itu pasti pesan darinya. Setelah mengumpulkan tenaga aku ambil iphoneku dan membuka pesannya.

K :Sorry abang gak lihat tadi kamu ngechatttt. Tadi nonton tah ?

Sesungguhnya aku tidak ingin membalas pesannya. Jari-jari ini sangat berat untuk sekedar mengetuk layar iphone menuliskan kata demi kata. Satu jam kemudian setelah aku mengistirahatkan tubuh dan pikiranku akhirnya aku membalas pesannya.

Selalu seperti itu. Waktu seakan tidak berjalan dan menunggu sudah menjadi sahabat bagiku. Sabar adalah kata kunci dari setiap perjalanan hidupku setelah mengenalnya, dia, Karim.

Aku masih ingat persis saat pertama kali aku melihatnya dua tahun yang lalu. Saat itu dia mengenakan kaos kuning yang dipadukan dengan celana pendek warna coklat, ditambah dengan sentuhan sandal jepit lengkap dengan tas rapai yang disampirkan di bahunya. Sosoknya yang berbeda dibandingkan dengan mahasiswa teknik pada umumnya yang dekil sangat bisa dipastikan kalau dia bukan mahasiswa di jurusanku. Wajahnya pun terlihat bingung. Nampak sekali ini kali pertama dia berada di gedung ini, di kampusku.

"Karim ?" Sapaku dengan nada sinis. Sebenarnya aku bukan tipe orang yang tidak ramah. Tapi aku akan menjadi sangat judes jika aku tidak suka.

Sehari sebelumnya aku memang menghubunginya untuk bisa datang ke kampusku untuk mengiringi kelompok tari di jurusanku latihan rutin. Tapi respon dari dia sangat menyebalkan. Baru kali itu aku membenci orang sebelum aku kenal dan bertemu dengan sosoknya.

Aku terbangun dari tidurku dan menggeliat. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 9. Aku membuka pintu kamar perlahan. Mataku menyipit karena sinar matahari sangat terang menembus seantero kosanku. Aku mengambil handuk dan kusampirkan di bahu. Sebelum akhirnya masuk ke kamar mandi, aku duduk dulu sofa kecil yang ada di kamarku. Seperti biasa kegiatan pagiku sebelum melakukan kegiatan apapun itu adalah membuka Instagram.

Ku lihat ada story Karim. Nama Karim selalu muncul di barisan pertama. Entah karena selalu ku buka atau memang dia baru buat story. Kulihat story-nya sangat banyak. Dari latarnya terlihat dia sedang melakukan perjalanan menggunakan kereta api ke arah Jakarta. Aku familiar sekali dengan pemandangan sepanjang perjalanan Jogja-Jakarta.

Ku lihat satu per satu story-nya. Aku gelisah. Semakin ku lihat semakin gelisah. Seperti dia ingin menemui seseorang yang sangat dia cintai. Aku sedikit banyak mengenalnya. Satu-satunya wanita yang sangat dicintainya adalah uminya. Tapi setiap kata yang dia rangkai membuatku gelisah. Cemburu. Seakan dia ingin menemui wanita yang ingin dia nikahi.

Aku mencoba bersikap tegar walau air mata ini sudah mengalir membasahi pipiku. Aku larut dalam rasa penasaran. Aku ingin meyakinkan kalau benar dia ingin menemui uminya, bukan yang lain. Aku kirim pesan singkat untuk Karim. Alih-alih langsung bertanya mau ketemu siapa aku malah bikin rumus sendiri untuk prolog.

A : Kalau waktu tempuh abang sekitar 8 jam, setiap 10 menit abang bikin story. 1 jam = 60 menit berarti 8 jam = 480 menit. Jumlah story abang sampai tujuan = 48. Abang ini mau ketemu siapa sih ???

Bukannya dibalas, Karim captured pesan singkat dariku dan dijadikan story. Tetapi aku menjadi yakin kalau dia benar ingin menemui uminya.

Sesampainya di Jakarta akhirnya dia membalas pesanku.

K : Sudah nooooo gak spam lagi.

A : Gapapa spam kalau ketemu umi. Kalau ketemu yang lain langsung aku block hehe

K : Hahahahahaha....

Aku tersenyum. Ku letakkan iphoneku di atas meja. Aku matikan lampu kamar dan menarik selimutku. Ku pejamkan mataku berharap, dan berharap...

Ais : "I Don't Wanna Wait in Vain..."Where stories live. Discover now