SPY (Part 1)

871 53 5
                                    


     Tanganku masih sibuk menekan tombol-tombol alphabet yang ada di permukaan keyboard pc ketika sepintas muncul sebuah gambar seseorang dengan sepasang mata hitam bulat kecil, sepasang alis yang terlihat seperti bentangan sayap elang: mereka hitam, rapi, dan meruncing keluar, begitu indah, garis hidung sempurna dan proporsional, bibir mempesona dengan gradasi merah bata, garis rahang yang tertutupi oleh pipi yang gembul. Seketika jari jemariku berhenti bekerja dan kedua mataku terpaku pada gambar yang tidak kunjung menghilang dari layar pc. Beberapa kali terpikir olehku, apakah aku tengah salah menekan tombol-tombol itu, atau ada seseorang berprofesi sama yang ingin mengganggu pekerjaanku dengan mengirim gambar seperti ini.

     Beberapa menit tertegun karena gambar "menakjubkan" yang menjengkelkan dan cukup membuang menit-menit berhargaku, tanganku refleks terpacu untuk mencari: mencari ID seseorang yang mungkin sengaja melakukan hal ini padaku—karena aku tak mungkin salah mengerjakan pekerjaanku. Sementara aku mencoba dengan keras merunut kode-kode dan memutar ingatanku yang sudah terbiasa dengan hal ini, gambar itu masih terpampang manis di layar pc milikku seolah mengejek. Ini hari sial, pikirku. ID itu belum terlacak dengan kemampuanku yang cukup professional dan karena gambar itu muncul di sana, itu membuatku tak dapat melanjutkan pekerjaanku.

     "Apa sebenarnya yang orang ini inginkan? Apa dia ingin pamer?" gumamku geram.

     Aku mengerti betapa banyak hacker yang ingin mencobai kemampuanku, tapi tak ada satupun dari mereka yang berhasil mengungguli bahkan menjebol situs yang sudah kuretas. Tentu saja, situs-situs itu tidak berhubungan dengan politik, hukum negara, dan segala macam yang membosankan. Aku main aman, meski yang kulakukan takkan lepas dari kata aman suatu saat nanti. Mengapa tidak? Aku menyukai pekerjaan seperti ini. Siapa yang menyangka bahwa banyak orang yang tertarik pada hal ini namun mereka tidak bisa melakukannya. Lalu itu akan menjadi sebuah peluang yang menjanjikan. Aku mengambil celah yang benar.

     Terlahir sebagai seorang hacker membuatku begitu jauh dari kehidupan sosial. Aku tak tahu mengapa hal itu menjadi sangat mungkin terjadi ketika pada umurku yang beranjak tiga tahun aku masih bermain boneka dengan teman-teman sebaya. Dan itu semua moksa saat aku mulai menyentuh pc dalam pelajaran komputer di Sekolah Dasar. Awalnya, aku hanya berkutat pada Microsoft word yang diajarkan secara sederhana. Namun kemudian, semakin sering pc pc itu kusentuh, tanganku mulai merasakan keingintahuan hingga sampailah ia pada laman situs sekolah yang dikelola guru komputer. Karena keingintahuan berbalik menjadi pedang tajam yang tak bisa kukendalikan, entah bagaimana dan apa yang kulakukan, situs sekolah itu lenyap tanpa bisa terlacak lagi.

     Seluruh guru dan staf sekolah mendadak panic ketika hal itu terjadi. Mereka mencari-cari sebab mengapa situs sekolah hilang dan saling menuduh satu sama lain. Hari itu kacau. Aku yang ketakutan hanya bisa menyembunyikan diriku dari orang-orang tanpa menyadari potensi besar yang ada di dalam diriku. Ayah dan ibuku berulang kali bertanya apa yang terjadi, namun yang kukatakan hanyalah sebuah kalimat yang menyatakan bahwa aku tak ingin sekolah lagi. Aku menghindari tatapan-tatapan curiga dan tak tahan dengan yang seperti itu. Kadang mereka hanya menatap, tapi hal itu kian menjadi tekanan bagiku seolah tuduhan-tuduhan dijatuhkan padaku.

     Dua bulan berlalu sejak itu, dan aku benar-benar tidak kembali ke sekolah. Yang kulakukan setiap hari setelahnya adalah membuat, menulis, dan mengingat kode-kode yang disebut rumus oleh kebanyakan orang. Tidak ada satu pun orang yang mengajariku tentang hal itu, bahkan pelajaran tentang Microsoft word sudah berlalu begitu saja. Kedua orangtuaku tak pernah mengetahui hal ini dan aku bersikap hanya sesuai dengan keadaanku: anti-sosial, tanpa menunjukkan gelagat mengerjakan sesuatu. Surgaku berada di sebuah ruang persegi yang berisikan sebuah ranjang, sebuah lemari, sebuah meja rias milik ibu beberapa belas tahun lalu, dan sebuah pigura berisikan foto keluarga kecil kami. Di sanalah aku menghabiskan waktu menghafal dan merangkai rumus seperti menyambung ujung ribuan benang yang terputus dengan sengaja.

     Ingatan-ingatan ini selalu berputar tanpa terduga, seperti saat ini, ketika aku merasa kesulitan melacak ID yang sepertinya sengaja mengganggu pekerjaanku. Aku kesal, bagaimanapun sulitnya ID itu terlacak, yang membuatku begitu marah adalah gambar yang terpampang di layar pc-ku seolah berseru 'skakmat'. Nyaris frustasi, aku memukul keyboard pc dengan kasar dan berteriak melepas kemarahan. Itu hanya sebuah gambar "indah" seorang laki-laki, namun di balik semuanya, ada beberapa kemungkinan buruk yang menyertai: pertama, gambar itu dikunci dari sisi mana saja. Jika aku berusaha membobol kunci-kunci itu dengan sembrono karena terlampau frustasi, maka bisa jadi aku berhasil. Namun takkan ada yang bisa menduga apa yang ada di balik gambar itu, mungkin saja setelah berhasil kuretas, ada sebuah virus yang akan menyerang pc-ku, membuatnya eror dan tak berfungsi, lalu aku tamat. Kedua, ia adalah seorang hackers yang secara terang-terangan menyulut perang, menguji seberapa pandainya aku, dan tengah berusaha membuatku mengakui bahwa ia lebih unggul dariku. Jika memang kemungkinan kedua itulah yang terjadi, maka aku akan dengan senang hati menerima tantangan itu. Namun yang kusesalkan adalah mengapa di saat ada pekerjaan penting seperti ini ia memukul genderang dan mengibarkan benderanya. Sial.

     Satu jam terbuang, sungguh-sungguh terbuang karena ID tak bertanggungjawab itu. Namun hal ini akan segera berakhir. Setelah satu jam, aku akhirnya berhasil membuka satu gembok dengan kode yang pas: aku tahu, ia tak lebih pandai dariku. Satu pemecahan kode kunci itu mengubah gambar "indah" laki-laki yang terpampang di pc-ku menjadi sebuah kata dengan tiga huruf dan dua fonem penyusun: L E E. Salah satu sudut bibirku terangkat ke atas, tersenyum licik karena ternyata tak hanya gambar yang berubah menjadi rangkaian alphabet, tetapi juga notif percakapan yang tiba-tiba muncul.

     "Kau mencoba main-main denganku?" ujarku membuka percakapan.

     Tentu saja aku akan memancing ia agar menjawab pertanyaanku. Dengan jawabannya itu aku bisa melacak asal negara dengan bahasa. Ya, kode nama LEE asing di sini. Juga, aku tak pernah ingin repot menghafal ciri khas nama-nama orang dari berbagai negara meski aku bisa. Dan ia bekerja. Di balik kode nama yang muncul dan terus mengunci ID itu, aku melihat ia mengetik dengan cepat hingga beberapa rumus kode terlewatkan olehku. Kode-kode yang digunakannya bertumpuk dengan pekerjaanku, gilanya lagi ia benar-benar bekerja dengan benar: percakapan yang dikirimnya terkunci dan aku lagi-lagi dibuat kesulitan olehnya.

     "Menjauhlah darilingkaran yang sudah berada dalam jangkauanku. Aku memberimu peringatan," ujarL E E dalam komentarnya.


~ continue part 2

[2017] SPY ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang