[4]

406 39 5
                                    



Kurapatkan syal hijau toska membungkus leher. Dengan langkah setengah berlari menuju bangunan berlantai di depan taman. Aku mendorong pintu kaca tebalnya, memberi senyuman kepada perempuan berparas Asia dibalik meja resepsionis. Kemudian aku masuk kedalam lift, menekan tombol berangka 30. Mataku hampir tertutup ketika bunyi ting dari pintu lift yang membuka membuyarkan rasa kantukku.

Hanya terdapat satu ruangan apartemen di lantai ini. Beberapa ruangan lainnya merupakan ruang rapat atau pertemuan. Aku membuka pintu apartemen dengan bersemangat dan melangkah masuk kedalamnya. Seorang pria jangkung tengah berdiri menatap petang yang hampir tiba. Dia menyesap segelas wine di genggamannya dengan tenang. Helaian surai coklat berantakannya yang mulai memanjang menari dipermainkan sang angin.

"Balkon ini strategis sekali," ujarku di sampingnya. Dia menyeringai lebar. "Tak heran, kau selalu datang padaku tepat waktu."

"Percaya diri sekali, Miss Watson."

"Mencoba mengelak, eh, Mister Felton?" balasku sarkas penuh seringai.

Tom menatapku dengan seksama. Dia meletakkan gelas yang telah lenyap isinya diatas meja.

"Kau mulai menyeringai sepertiku, Watson. Sangat Felton sekali."

Aku tertawa renyah dengan pipi bersemu merah.

"Apa Albert sudah pergi?"

"Jangan bertanya bila kau telah mengetahuinya." Tak tahan, aku memutar bola mata.

"Hei, aku baru saja selesai mandi dan melihat kursi yang kalian tempati telah kosong menyisakan dua buah gelas kertas." Jelas Tom defensif. Dia mulai jahil lagi.

"Satu gelas kertas kosong dan satunya masih penuh, tepatnya."

Tom mengangkat sebelah alisnya, "Lalu?"

"Albert pergi sekitar lima belas menit lalu," jawabku.

"Aku tahu." Tom berujar tanpa dosa.

Mataku melotot, dia sedang mempermainkanku ternyata. Tanganku sudah mengepal ingin menonjok wajah runcingnya, serta mematahkan hidung mancungnya. Namun, Tom dengan sigap menarikku kedalam pelukannya.

Hangat. 

Aku tidak pernah merasa aman dan senyaman ini bila pria selain Tom atau ayahku yang memelukku. Kuhirup dalam, aroma citrus susu, faforitku di lekukan leher Tom. Kami bertahan pada posisi yang sama hingga beberapa menit. Tanganku mengalung lehernya, agak berjinjit karena tinggiku hanya sebatas dagu lelaki bermata biru-silver itu.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Kau benar, aku sudah tahu defnisi bahagia itu, Tom." Aku berbicara  setelah beberapa saat.

Tom mengendurkan pelukannya, ia menatapku penasaran.

"Apa jawabannya?" Tom menatap ke dalam bola mataku.

"Papa pernah bilang, rasa bahagia akan membuncah di dadamu ketika kamu berusaha membagi hal-hal bahagia dengan seseorang yang dipilih oleh hatimu. Aku merasakannya hanya ketika bersamamu. Seperti ini. Itu defenisi bahagia menurutku. Aku mencintaimu, suamiku. Terima kasih, sudah bersabar selama ini."

Tom masih terpaku menatapku. Dia tersenyum, senyum yang sebenarnya. Senyuman yang dia tunjukkan hanya untukku. Kutatap manik biru keperakan itu, menenangkan.

Tom membawaku kedalam ciuman manisnya dengan penuh rasa. Memabukkanku hingga tak ingin melepasnya, bila saja kami tak kehabisan pasokan udara. Alis kami bersentuhan mengeliminasi jarak diantara kami membuatku merasa seolah aku dan Tom bernafas dengan satu hidung yang sama.

"Aku tahu, ini akan terjadi cepat atau lambat. Untuk itulah, aku selalu mengatakan kepada diriku sendiri supaya bersabar. Sekaligus membantumu berani meninggalkan masa lalu," ucap Tom, matanya berbinar penuh makna khusus yang aku pun tak mungkin sanggup menolaknya.

"Aku siap, Tom."

"Siap apa?" Tom menampilkan senyuman miringnya yang sialan-menambah ketampanannya.

Jadi, aku menangkup kedua pipinya lembut. Mengecup sebentar ujung hidungnya. Aku sungguh menyesal karena selama kami menikah, belum pernah sekalipun aku menjadi istri yang baik buat dia.

"Aku siap. Aku siap melahirkan Feltson junior untukmu."

"Sebelum itu, kita tentu harus membuatnya, Nyonya Feltson!" Tom menggendongku secara cepat membawaku ke tempat ternyaman untuk mereguk hal terindah di dunia.

Ditemani bintang-bintang yang menghias langit kelam, memantul menampilkan cahaya gemerlapan beradu dengan lampu kota di atas liquid memanjang yang membelah kota Melbourne. Sungai yarra, sebagai latar tempat cinta kami yang tengah dituai madunya.


_

luv,

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

luv,

Be Brave [FELTSON]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang