[3]

422 42 3
                                    

Kau penyebab sekaratku berkepanjangan,

Tapi hasratku padamu membuat kau kumaafkan.

Kaulah sang matahari sementara aku bintang malam,

Cahayamu menyurutkan kerlipku yg kelam.

Nyala lilin iri padamu,

Bunga mawar merekah dalam namamu.

(Nizami, dalam buku Laila Majnun)

- Be Brave-


Bukankah itu yang dinamakan cinta? Ketika seseorang yang terbiasa mengisi hari-harimu menghilang. Pergi dengan tiba-tiba. Kemudian rasa kehilangan memasukimu tanpa ijin. Membawa kesakitan.

Sore itu langit jingga tertutup awan kelabu. Aku menatap Albert sendu. Dengan suara parau. Albert berucap tentang perihal kepergiannya besok, kembali ke Indonesia. Negara asalnya. Puncaknya, kami tak menghabisi sore seperti biasa, bernyanyi dibawah langit atau melepas emosi sambil memandang ranting-ranting mapple.

Albert menggenggam tanganku erat, aku menunduk menyembunyikan air mata. Gerimis meruntuhkan pertahananku. Kulepas air mata turun membelah kedua pipiku. Beku. Setidaknya gerimis akan menyamarkan lelehan air mata di wajahku.

Besoknya, hariku tak sama seperti biasanya. Aku dan Albert hilang komunikasi seperti tak pernah saling mengenal.

Albert telah meninggalkan Melbourne. Isakan tertahan keluar dari bibir pucatku. Demam belum meninggalkan tubuhku. Gerimis di padang ilalang kemarin mempengaruhi antibodi tubuhku yang memang lemah. Kutatap sepotong kertas kecil yang kemarin sore Albert berikan sebelum dia pargi. Diantara butiran gerimis lembut.

Dan aku bertekad menunggu.

Bukankah itu yang dinamakan cinta? Sebuah mahakarya sempurna dari Tuhan yang di letakkan dalam rongga perut--hati. Ketika sebuah hati merasa pantas untuk memiliki walau tertahan dalam ucapan dan waktu.

Angin menyapu lembut rambutku yang tergerai. Kenangan hanya untuk dikenang 'kan?

"Emma,"

Aku menoleh.

Seorang pria berwajah ceria sedang menatapku. Manik emeraldnya, surai hitam klimis. Tubuhnya semakin tinggi. Wajah tampannya semakin dewasa .


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Albert!" Aku berseru  keras dan melompat ke pelukannya.

Aku segera melepas pelukanku, Albert menatapku terkejut. Ya, pasti karena senyuman tersungging di bibirku.

Sudut bibirku tertarik kesamping.  Kupersilahkan dia duduk disampingku. Hampir saja dia menduduki gelas kertas milik Tom.

"Kamu banyak berubah, Em." Albert berujar.

"Pubertas, Al," ucapku terkekeh.

"Hm. Sepertinya, aku harus berterima kasih kepada 'si pubertas', karena aku seolah melihat seorang Dewi," Imbuh Albert penuh penekanan.

Aku pasti merona sekarang.  "Menurutmu?" tanyaku berpura-pura serius menyebabkan kami tertawa bersama.

Mengais satu persatu kenangan yang sempat menggantung beberapa saat kemarin.

"Jadi, kamu kemana saja selama ini? Jujur, aku tak menyangka kita bisa berjumpa lagi," ucapku. Cappucino latte telah tandas dalam gelas kertasku.

Albert membersihkan tenggorokannya, "Indonesia ... dua tahun di Indoesia. Kemudian aku kembali ke Belgia." 

Aku mengangguk, meskipun Albert tidak melihatnya karena dia sedang sibuk menatap tumpukan dedaunan di sudut taman.

"Apa kabar, Em?"

Aku menatap Albert sebentar. Dia tersenyum kikuk.

"Aku pikir, kau tidak berminat menanyakan kabar." Aku memanyunkan bibir. Berpura-pura kesal.

Albert terkekeh pelan, "Sesuai dugaan. Tidak ada alasan untuk tidak menanyakan kabarmu, Em."

"Aku baik. Bagaimana denganmu?"

"Tak pernah lebih baik dari sekarang."

"Apa kabar Diandra?" Albert menatapku cepat yang kubalas dengan senyuman.

"Kau tahu?" tanya Albert, nada suaranya jelas berubah.

"Siapa yang tidak tahu tentang pernikahan termewah abad ini, huh?" tukasku, "apalagi yang menikah itu merupakan seorang pengusaha tampan yang terkenal." Imbuhku cepat penuh seringaian.

Melihat tampang Albert, membuatku ingin tertawa keras sekarang. Apakah dia merasa sebersalah itu.

"Maaf ... Em, aku--"

"Aku turut bahagia, Al," ucapku tulus, memotong kalimat Albert. Dia menatapku masih dengan raut wajah terkejutnya.

Aku tersenyum. "Sahabat tidak akan pernah merasa kecewa kepada sahabatnya, hanya sedikit kesal. Apapun keadaannya." Jelasku, sebenarnya aku tidak suka melihat wajah Albert yang seperti itu.

"Terimakasih telah menungguku." Albert membuka suara setelah kami terdiam untuk beberapa lama.

"No problem, Al. Aku senang bisa menunggu."

Albert mendesah. "Tapi kita bahkan tak pernah bertukar surat atau apapun."

"Jadi, kau mau aku marah?" Aku terkekeh. 

Albert menggeleng.

"Aku hanya ingin menepati janji, Al."

"Aku, minta maaf ...."

"Ya, Al. Aku hanya menunggumu melepasku," ungkapku. "Agar hutang ini terbalas."

"Aku ... melepasmu, Em. Aku baru sadar betapa egoisnya aku mengekangmu dengan sesuatu yang semu. Bahkan aku pun tak tahu apa namanya." Suaranya bergetar.

"Thank you, Al, for being here."

Albert tersenyum. "Yea. Aku pamit, Em. Aku harap kau akansering berkunjung ke rumahku, bulan depan istriku akan melahirkan."

Aku mengangguk. "Tentu saja, aku tidak mau ketinggalan acara. Sudah cukup kalian menikah tanpa diriku." Kekehku.

Albert mengangguk kuat, matanya berbinar cerah. Dia memelukku kemudian pamit pergi.


_

luv,

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

luv,

Be Brave [FELTSON]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang